Mewaspadai
Spekulan Elektoral
Bambang
Arianto ; Direktur
Eksekutif dan Peneliti Politik Bulaksumur Empat Jogjakarta
|
JAWA
POS, 01 Maret 2014
TENGGANG waktu
yang tersisa menjelang kontestasi pemilu 2014 akan dimanfaatkan oleh figur
politik untuk menggaet atensi publik. Baik melalui mesin partai politik
maupun hubungan personal. Mereka berusaha menyemai ketidakkenalan kepada
publik dengan berbagai cara. Apalagi figur politik saban hari menjadi lebih
penting ketimbang partai politik. Fenomena ini merupakan konsekuensi logis
dari modernisasi kampanye politik.
Refleksi wajah
figur politik turut mengomfirmasi wajah partai politik. Mengutip Richard Katz
dan Peter Mair dalam The Evolution of Party Organization in Europe (1994),
parpol memiliki tiga wajah: party in
public office, party on the ground, dan party central office. Artinya, wajah partai politik idealnya
dapat diukur dari aktivitas kader-elite politik baik di parlemen, di akar
rumput, dan di tataran pusat. Parameter ini menjadi mesin pendeteksi
keberhasilan parpol, apakah telah dan berhasil mengagregasi kepentingan
rakyat atau hanya menjual janji kosong.
Salah satu
wajah parpol yang acap kali menjadi sorotan publik terdapat pada tataran
parlemen. Hal ini merupakan pertimbangan dari semakin menurunnya
produktivitas legislasi, yang akhirnya menjadi bahan kritik publik. DPR
periode 2009-2014 dan elite parpol ibarat bayi kembar siam, berkelamin ganda
namun berwajah sama. Kinerja yang diraih minim prestasi dan bersumbu pendek.
Buruknya kinerja DPR membuat publik berharap calon legislator periode
2014-2019 akan lebih baik. Namun, faktanya, ada 502 (89,6 persen) anggota DPR
periode 2009-2014 yang kembali mencalonkan diri dalam pemilu legislatif.
Legislator Hitam
Parpol seakan
acuh tak acuh dengan kritik publik. Buktinya, parpol tetap saja memaksakan
legislator dengan track record hitam. Bila kita telisik, ada nama Sutan
Bhatoegana (Demokrat) yang diindikasikan tersandung kasus Rudi Rubiandini.
Setyo Novanto (Golkar) yang terseret kasus dugaan Pekan Olahraga Nasional
Riau. Chairun Nisa (Golkar) yang terjerat kasus dugaan suap pemilihan bupati
Gunung Mas. Aziz Syamsudin (Golkar) yang terlibat dalam simulator SIM. Fahri
Hamzah (PKS) yang disebut-sebut akan mendorong pelemahan KPK melalui RUU
KUHAP. Bahkan, ada pula caleg eks narapidana, yakni Nazaruddin Sjamsudin
(PBB). Ironisnya, legislator hitam tetap diberi nomor urut jadi sehingga
secara psikologis tingkat keterpilihannya lebih besar.
Bukan itu saja,
para legislator tidak tanggung-tangung menggelontorkan dana belasan miliar
rupiah guna menggaet atensi pemilih. Dana ini digunakan untuk membiayai
atribut dan pelaksanaan kampanye serta mahar untuk partai politik. Misalnya,
calon legislator Jakarta III nomor urut 1, Aryo P.S. Djojohadikusumo, mengaku
menyiapkan dana Rp 6 miliar. Begitupun, calon incumbent Bambang Soesatyo
telah menyiapkan dana kampanye Rp 2 miliar untuk bertarung mewakili Golkar
dapil Jawa Tengah VII. Namun, dalam laporan dana kampanye Golkar ke KPU,
Bambang menyetorkan Rp 150 juta.
Ada pula calon
legislator yang dikabarkan menyetor dana hingga Rp 11 miliar hanya untuk bisa
masuk dalam daftar calon tetap. Ini didasari oleh pernyataan Pusat Pelaporan
dan Analisis Transaksi Keuangan yang mendeteksi aliran dana Rp 11 miliar dari
rekening calon anggota legislator ke rekening Atut Chosiyah yang ketika itu
menjabat ketua Golkar Banten. Dana tersebut, kabarnya, akan digunakan sebagai
mahar agar pengusaha ini bisa bertarung di Banten dan mendapat nomor urut
satu.
Spekulan Elektoral
Jadi, para
legislator tersebut layak disebut sebagai spekulan elektoral. Spekulan yang
berusaha memainkan logika bisnis dalam kultur politik. Logika untung rugi
akan mengedepan. Artinya, ketika para spekulan elektoral tersebut terpilih,
bisa dipastikan mereka akan segera berevolusi menjadi agensi dan rente
ekonomi demi mengganti dana yang telah digelontorkan dalam elektoral 2014.
Dengan semakin
banyaknya para spekulan elektoral dalam ritual pemilu 2014, eksesnya dapat
mengancam masa depan demokrasi. Sebab, dengan kekuatan politik yang dimiliki
legislatif, akan makin terbuka kesempatan untuk menjarah uang negara. Apalagi
korupsi dapat terjadi pada semua level dalam penganggaran sejak perencanaan
sampai pada pembayaran dana-dana publik (Garamfali: 1997).
Para spekulan
elektoral tersebut akan berupaya menjarah semua alokasi proyek-proyek yang
dibiayai dengan anggaran negara. Sebab, apa pun yang dibuat eksekutif dalam
proses anggaran pada akhirnya tergantung pada legislatif. Sebab, legislatif
mempunyai kekuasan untuk mengesahkan atau menolak usul anggaran yang diajukan
eksekutif. Hampir meratanya para spekulan elektoral menggelontorkan dana
miliaran rupiah menjadi pertanda semakin mahalnya harga demokrasi elektoral
2014.
Penghargaan The Best and The Next Legislator Award
2014 dalam rangka Hari Pers Nasional dan HUT ke-67 Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI) sedianya dapat menyemai lahirnya legislator yang
berintegritas dan bukan para spekulan elektoral. Publik harus mewaspadai
spekulan elektoral dalam elektoral 2014. Caranya cerdas memilah dan memilih
legislator yang memberikan bukti, bukan hanya janji hiperrealitas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar