Mengubah
Kultur Militeristik Polisi
Andy Suryadi ; Dosen Sejarah,
Pegiat di Pusat Kajian Kepolisian Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Universitas
Negeri Semarang (Unnes)
|
SUARA
MERDEKA 24 Maret 2014
TAHUN
2007, korps Bhayangkara dan masyarakat diguncang oleh peristiwa tragis. Wakil
Kepala Polwiltabes (kini Polrestabes) Semarang AKBPDrs H Lilik Purwanto SH
MHum tewas di kantornya setelah ditembak anak buahnya, Briptu Hance Christanto.
Diyakini
Hance kalap mengingat hendak dimutasi ke luar kota (Kendal) karena dianggap
sering bermasalah. Hasil pemeriksaan saat itu menyebutkan pelaku berada di
bawah pengaruh narkoba jenis MDMA sehingga berbuat nekat. Meski pelaku
akhirnya tewas di tangan personel resmob, kengerian dan kegetiran atas
peristiwa tersebut menghantui masyarakat.
Muncul
keprihatinan berkait kesehatan psikologi anggota Polri, terutama mereka yang
memegang senjata. Peristiwa tersebut seolah-olah menjadi cambuk bagi Polri,
dan sontak berbagai pemeriksaan psikologi, tes bebas narkoba, dan pengecekan
senjata dilakukan pada hampir seluruh markas kepolisian di Tanah Air.
Namun
budaya hangat-hangat tahi ayam masih menjadi penyakit, buktinya hampir tiap
tahun sejak itu bentrok antarpolisi bersenjata masih terjadi. Total sejak
2007, sudah tujuh peristiwa saling tembak antaraparat terungkap ke publik.
Itu belum ditambah aksi koboi polisi bersenjata terhadap warga sipil di
berbagai tempat umum semisal kafe, diskotek, dan jalanan.
Terkini,
pada Selasa (18/3/14), Kepala Detasemen Pelayanan Markas Polda Metro Jaya
AKBP Pamudji harus menghembuskan napas terakhir karena tembakan dua peluru di
kepala. Pelaku adalah anak buahnya, Brigadir Susanto. Peristiwa ini seperti
menjadi de javu kejadian di Semarang 7 tahun lalu.
Brigadir
Susanto tega menembak atasannya di kantor karena diyakini tidak terima
ditegur korban mengingat tak berseragam dinas di tempat tugas. Adapun pelaku
membantah menembak atasannya, dan menyatakan korban bunuh diri. Sontak
kengerian dan kekhawatiran kembali menggelayut di masyarakat, mendasarkan
minimal lima alasan.
Pertama;
jika hanya karena emosi sesaat atas teguran komandan, bagaimana responsnya
terhadap rakyat sipil yang lemah dan tak begitu paham peraturan? Kedua; bila
di markas polisi yang banyak saksi dan petugas jaga saja brutalisme bisa
terjadi, bagaimana di tempat umum atau lokasi sepi? Ketiga; fakta bahwa
pelaku membantah menembak korban juga pantas dikhawatirkan.
Bila ada
saksi objektif (pelaku dan korban sama-sama polisi) dengan bukti kuat, pelaku
berani membuat skenario pembenar, bagaimana bila korbannya rakyat sipil
dengan saksi rekan sekorpsnya, yang tentunya sulit objektif? Janganjangan
dugaan sebagian masyarakat selama ini benar adanya. Artinya, seringkali ada
korban tewas ditembak polisi bukan karena kejahatannya melainkan kemungkinan
karena tindak gegabah aparat.
Hanya
saja korban dikriminalisasikan. Keempat; melihat usia, keluarga, dan
pengalamannya, Brigadir Susanto tergolong anggota yang sudah matang dan
berpengalaman, tapi fakta menunjukkan ia mudah kalap. Bagaimana dengan polisi
muda yang belum mencapai tingkat kematangan emosional dan kemapanan keluarga?
Ubah Kultur
Kelima;
Brigadir Susanto petugas Detasemen Pelayanan Masyarakat, yang rutin
berhadapan dengan pengaduan/keluhan masyarakat. Secara logika mestinya
petugas di tempat itu dipilih memiliki kematangan mental dan sikap dalam
menghadapi masyarakat.
Jika itu
saja masih mudah kalap, bagaimana dengan polisi yang bertugas di unit/detasemen
lain? Masyarakat tentunya berharap ada langkah serius dari pimpinan Polri
untuk menjamin bahwa brutalisme antarpolisi, atau antara polisi dan rakyat
sipil tidak terulang.
Langkah
cepat beberapa polres/polsek yang melakukan tes psikologis dan pemeriksaan
senjata anggota begitu ada kejadian adalah langkah positif. Tapi budaya
seperti itu tidak selamanya efektif. Sebenarnya Polri ada agenda rutin
pemeriksaan kejiwaan pemegang senjata api tiap 6 bulan, tapi pelaksanaannya
acap tidak maksimal.
Andai
pemeriksaan rutin berkala tiap 6 bulan dianggap belum cukup semestinya ada
tindakan lain, misal tiap 3 bulan atau merekrut psikolog profesional dari
luar yang secara berkala melakukan pendampingan pada anggota polisi. Kabar
yang menyebutkan bahwa emosi Brigadir Susanto meluap karena kelelahan
mempersiapkan upacara pisah sambut kapolda baru mestinya disikapi serius.
Andai
itu benar, Polri harus mulai memperhitungkan beban kerja fisik dan mental
anggotanya, dan tidak menempatkan mereka seperti pasukan militer yang harus
selalu siap kapan pun dan di mana pun. Polri perlu makin memperkuat kultur
sipil, dan sebaliknya sedikit demi sedikit mengikis kultur militer. Polisi
berbeda dari militer yang berhadapan dengan musuh negara.
Polisi
dihadapkan pada persoalan sosial masyarakat yang lebih kompleks dan lebih
memerlukan sikap mental ketimbang fisik. Karena itu, perlu meninjau ulang
seremoni yang bernuansa militeristik dan melelahkan. Acara seperti pisah
sambut pimpinan polisi adalah hal rutin dan kerap dilakukan.
Lebih
baik kapolri mengeluarkan perintah untuk menyederhanakan upacara semacam itu.
Bila Jokowi-Ahok bisa menyederhanakan acara pelantikan wali kota dan pejabat
lainnya, mengapa pimpinan Polri tidak? Lebih-lebih bila kegiatan itu memukul
ketahanan fisik dan mental personel polisi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar