Suara
Acep Iwan Saidi ; Ketua Forum
Studi Kebudayaan, ITB
|
KOMPAS,
22 Maret 2014
SECARA
etimologis, kata suara berasal dari bahasa Sanskerta, swara. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, suara diartikan sebagai bunyi yang keluar dari mulut
manusia, binatang, perkakas, dan sebagainya.
Di
samping itu, suara bisa bersifat filosofis. John Cage, seorang musisi
kontemporer, menyebut keheningan sebagai musik, sebagai suara. Jauh sebelum
Cage, manusia sebenarnya sudah meyakini adanya sebuah suara lain yang subtil
di dalam diri, yakni suara hati, suara sunyi.
Mengacu
kepada semiotika Charles Sanders Peirce (dalam T L Short, 2007), suara bisa
disebut tanda yang mengirim pesan tertentu. Secara spesifik, di sini suara
dapat terkategori sebagai indeks, yakni tanda yang menunjuk pada referen
tertentu.
Pintu
yang dibanting, misalnya, bisa merupakan indeks kemarahan seseorang yang
membantingnya. Berdasarkan taksonominya, mula-mula suara pintu yang dibanting
dengan pesan demikian disebut qualisign, yakni tanda pada tahap dugaan (belum
terwujud). Saat didekati, ketika terlihat seorang laki-laki muncul dengan
wajah ketus dari balik pintu tadi, kemarahan sebagai pesan tanda jadi sinsign
(peristiwa sebagai proses mewujudkan). Terakhir, saat kita masuk ke dalam
ruangan, mendapati seorang perempuan menangis, dan mengatakan ia baru saja
bertengkar dengan suaminya, suara pintu dibanting sebagai tanda kemarahan
menjadi legisign (terwujud, definitif).
Sejarah suara
Usia
suara sebagai tanda sudah sangat tua, sejak manusia pertama diciptakan.
Mekanisme pengenalan dunia yang
diajarkan Tuhan kepada Adam bukankah juga melalui suara. Adam mengeja
benda-benda yang diperlihatkan Tuhan kepadanya.
Firman
Tuhan itu sendiri pada mulanya adalah suara. Jibril tak membawa wahyu Tuhan
kepada Muhammad dalam bentuk tertulis (kitab), tetapi dengan suara (lisan)
meski isi pesannya perintah untuk membaca.
Walter J
Ong, dalam Orality and Literacy (1982), menjelaskan, sebelum mengenal
tulisan, yakni ketika masih dalam tradisi lisan primer, manusia hidup dalam
suara. Jika kepada manusia lisan primer disampaikan kata politik, misalnya,
tidak akan pernah muncul dalam imajinasi mereka rangkaian huruf
p-o-l-i-t-i-k. Yang akan mereka bayangkan adalah perilaku manusia yang sering
dengan segala cara merebut kekuasaan—jika fenomena politiknya seperti di
Indonesia. Politik adalah medan liar bagi mata pencaharian.
Dengan
kata lain, bagi masyarakat lisan primer, suara adalah fenomena atau peristiwa
itu sendiri. Suara adalah energi kehidupan.
Khusus
dalam bidang politik, suara sebagai energi sedemikian nyata, masih terus
bertahan hingga kini. Demokrasi, yang mendalilkan rakyat sebagai rohnya,
sebenarnya bukan rakyat dalam pengertian ’tubuh yang berjiwa’, melainkan
sebagai bahasa. Dengan kata lain, yang diambil dari ”tubuh rakyat” adalah
bahasanya, suaranya. Putusan akhir demokrasi adalah suara terbanyak.
Karena
itu, yang diperebutkan dalam demokrasi adalah suara. Siapa mendapat suara
terbanyak dari rakyat, dialah pemenangnya. Kekuatan suara dalam demokrasi
adalah jumlah (kuantitas). Ia tidak ditentukan oleh sumber (subyek) pemberi
suara (kualitas). Kalkulasi suara terbanyak rakyat sedemikian lantas
dimistifikasi—jika tidak mau disebut dipolitisasi—sebagai suara Tuhan (vox populi vox dei). Mistifikasi ini
kemudian berlanjut pada pendefinisian partai politik sebagai representasi
rakyat. Tak pelak suara partai politik dianggap sebagai suara Tuhan.
Kini
kita sedang masuk dalam siklus lima tahunan perebutan suara secara eksplisit,
yakni kampanye pemilu. Sebagai kompetisi perebutan suara, kampanye selalu
identik kegaduhan. Karena pada dasarnya rakyat tak suka situasi ini, usaha
meredam kampanye pun dilakukan, antara lain dengan aturan pembatasan waktu,
ruang, dan penjadwalan untuk setiap kontestan.
Selain
itu, melalui bahasa, yakni dengan berbagai penamaan, seperti kampanye damai,
kampanye berintegritas, dan kampanye berkualitas. Namun, karena obyek
kampanye adalah suara, kebisingan dus keliaran tidak pernah terhindarkan.
Inilah pesta demokrasi: pesta suara.
Matinya suara
Lantas,
kapan suara itu mereda? Dalam sejarah peradaban manusia, suara mulai
mengendur ketika manusia mulai mengenal tulisan. Apa yang diproduksi mulut
berpindah ke tangan dan alat tulis. Pemindahan ini juga diajarkan di lembaga
pendidikan. Di SD, pelajaran menulis dibarengi ajaran membaca dalam hati.
Kelas tidak boleh bising. Siswa harus fokus urusan masing-masing. Suara
kelompok (kelas) diredam atau teredam jadi suara individu. Tidak ada
kepentingan kelompok, yang tersisa adalah kepentingan individu.
Sejarah
itu kiranya berbanding lurus dengan alur silsilah suara dalam demokrasi kita.
Suara rakyat hilang ketika telah dikalkulasi di atas kertas. Hal ini dimulai
ketika rakyat mencoblos gambar di tempat pemilihan suara. Sejatinya pemilu
adalah proses menjadikan suara rakyat jadi suara Tuhan. Namun, setelah pemilu
dan kalkulasi suara selesai dilaksanakan, terjadi pembalikan alur. Suara
rakyat yang telah dijumlahkan sehingga jadi suara Tuhan itu justru mencair
jadi suara partai sebagai institusi, bahkan tidak jarang menjadi suara
individu di dalam partai.
Jika
sudah begitu—dan kita bersaksi sejauh ini memang selalu begitu—rakyat dan
Tuhan hanya akan diposisikan menjadi penonton yang berada di luar panggung.
Sebagai penonton, rakyat dan Tuhan hanyalah pemilik suara, yang
berteriak-teriak, yang bising, yang karena itu tidak perlu didengar.
Tentu ke
depan hal demikian tidak boleh lagi terjadi. Karena itu, kita harus mengawal
suara yang akan diberikan pada 9 April nanti, minimal sampai lima tahun
berikutnya. Jangan sampai subyek rakyat lenyap tepat ketika ia menyelinap ke
bilik suara. Jangan sampai pemilu kali ini kembali menjadi ajang penghilangan
suara, menjadi pesta perpisahan dengan rakyat dan Tuhan! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar