Konversi
ke Gas Bumi Harus Dieksekusi
Ridha Ababil ;
Praktisi Gas Bumi, Bekerja di PGN
|
MEDIA
INDONESIA, 12 Maret 2014
|
PEMERINTAH kembali mendengungkan
percepatan program konversi bahan bakar minyak (BBM) ke gas bumi. Menurut
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Susilo Siswoutomo,
Trans-Jakarta dan angkutan umum di Jabodetabek akan menjadi sasaran utama
penggunaan gas bumi. Pemerintah juga sedang menyusun surat keputusan bersama
menteri terkait, yang akan mewajibkan penggunaan gas bumi bagi kendaraan
umum. Targetnya, pada 2016 seluruh produsen otomotif, khususnya bus dan
angkutan umum, wajib memasang converter
kit pada kendaraan baru.
Dalam upaya mempercepat konversi
BBM ke gas bumi, Kementerian ESDM juga mendorong pembangunan stasiun
pengisian bahan bakar gas (SPBG) dengan melibatkan swasta. Sementara itu,
Kementerian Perindustrian tahun ini telah mengalokasikan anggaran hingga
Rp200 miliar untuk penyediaan convertir kit bagi angkutan umum. Dalam lima
tahun terakhir, total subsidi energi (BBM dan listrik) dalam APBN kita
mencapai Rp992,07 triliun. Dari angka subsidi tersebut, BBM menjadi penyedot
subsidi terbesar, yaitu senilai Rp640,05 triliun atau 65% dari total subsidi
energi. Tahun lalu, pemerintah sudah menaikkan harga BBM hingga 44% untuk
bensin dan 22% harga solar. Meski harganya naik, total subsidi untuk BBM
mencapai Rp210 triliun, lebih tinggi daripada rencana APBN 2013 sebesar Rp199
triliun. Mayoritas BBM subsidi tersebut digunakan untuk sektor transportasi,
baik kendaraan pribadi maupun angkutan umum, yang jumlahnya terus meningkat
setiap tahun.
Bila mencermati angka subsidi
yang semakin besar dan fakta bahwa produksi minyak bumi nasbilah juga turun,
kini di kisaran 810 ribu-850 ribu barel per hari, konversi BBM ke gas bumi
memiliki lawan yang sangat logis dan ekonomis. Pertama, sumber gas alam kita
sangat besar sehingga tidak bergantung pada impor. SKK Migas pun telah
berkomitmen untuk terus meningkatkan alokasi gas bagi domestik. Tahun ini,
alokasi gas domestik sebanyak 3.782 miliar british thermal unit per hari
(bbtud) atau 52,7% dari total produksi. Pada 2012, alokasi gas untuk domestik
sebesar 3.550 bbtud atau 49,5% dan naik menjadi 3.774 bbtud atau 52,1%
daripada produksi 2013.
Kedua, ketergantungan terhadap
BBM yang berbasis impor akan semakin memberatkan ekonomi nasional. Selama
2013, Kementerian ESDM menyatakan per hari nilai impor BBM kita mencapai rata-rata
Rp1,4 triliun. Akibat besarnya impor tersebut, defisit transaksi berjalan
semakin besar. Pada 2012 nilai defisit transaksi berjalan mencapai US$24
miliar dan 2013 naik ke US$30 miliar. Ketiga, penggunaan gas bumi akan
mendorong terciptanya efisiensi dan daya saing ekonomi nasional, mengingat
harga gas bumi hampir sepertiga dari BBM.
Harga gas lebih kompetitif
Untuk merespons kebijakan
konversi BBM ke gas bumi, PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk (PGN) terus
berusaha memperluas jangkauan dan jaringan pengguna gas bumi di Indonesia,
baik itu industri, komersial, transportasi, dan rumah tangga. Pelanggan rumah
tangga ialah mayoritas pelanggan utama PGN. Di sektor transportasi, tahun ini
PGN akan membangun sejumlah SPBG serta mobile
refueling unit (MRU) di Jabodetabek dan beberapa kota lainnya. Keberadaan
MRU di Monumen Nasional (Monas), Jakarta, terbukti secara efektif mampu
memberikan nilai tambah bagi angkutan umum seperti bajaj dan kendaraan dinas
yang telah menggunakan gas. Sopir bajaj yang biasanya dalam sehari
menghabiskan biaya BBM hingga Rp60 ribu kini hanya butuh Rp20 ribu.
Akan tetapi, program konversi
BBM ke gas bumi di sektor transportasi ini punya banyak tantangan yang harus
dieksekusi solusinya. Salah satunya yaitu terkait dengan harga jual gas
kepada konsumen. Ada dua faktor yang memengaruhi perhitungan harga yaitu,
berkaitan dengan perhitungan harga berdasarkan harga penugasan (penetapan
pemerintah) atau tanpa penugasan. Guna mempercepat perkembangan
infrastruktur, penetapan harga jual diharapkan mempertimbangkan faktor daya
beli, keekonomian hulu dan hilir, termasuk investor infrastruktur SPBG.
Dengan harga penetapan US$4,72 per mmbtu (sekitar Rp1.900 per liter setara
premium) ditambah biaya angkut dan margin saat ini, keekonomian harga jual
online SPBG termasuk pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB) 5% sebesar
Rp3.900 per liter setara premium (lsp).
Bila menggunakan hitungan harga
gas tanpa penugasan, konsumen harus membayar lebih mahal. Harga dasar gas PGN
ialah US$ 6,4/mmbtu atau sekitar Rp2.500 per liter setara premium. Sehingga
dengan metode perhitungan yang sama, harga akhir ke konsumen menjadi sekitar
Rp4.500 per lsp. Untuk MRU, beban dikeluarkan akan lebih besar lagi karena
dibutuhkan fasilitas yang lebih banyak lagi, sehingga harga jual
keekonomiannya Rp4.800 per lsp. Mengingat beban biaya di SPBG dan MRU yang
berbeda, serta menimbang keterbatasan lahan, MRU tetap dibutuhkan. Maka
alternatifnya ialah subsidi silang antara SPBG dan MRU harus dilakukan
sehingga pengguna gas mendapatkan harga yang sama pada saat mengisi di SPBG
atau MRU. Dengan asumsi rasio jumlah SPBG dan MRU pada satu wilayah 70%:30%,
berarti harga jual gas yang ideal sebesar Rp4.500 per liter.
Yang jelas, dengan dasar
perhitungan tadi, secara keekonomian harga a gas jauh lebih rendah ketimbang
BBM subsidi. Sektor transportasi dan pengguna kendaraan bisa menghemat hingga
38% untuk setiap liter setara premiumnya. Masalahnya, siapa yang akan
menggunakan gas jika konsumennya pun tak berkembang. Agar program konversi di
sektor transportasi ini berhasil, pemerintah rasanya dapat mengulang
kesuksesan ketika melakukan konversi dari minyak tanah ke elpiji.
Khusus untuk transportasi,
kebijakan itu bisa dimulai lewat agen tunggal pemegang merek (ATPM). Setiap
ATPM diwajibkan memasang converter kit
di setiap mobil baru yang akan dijual dan wajib menyediakan converter kit
bagi kendaraan yang sudah ada. Dengan tingkat penjualan mobil baru yang
mencapai 1,2 juta unit per tahun, jika semua terpasang converter kit sejak dari pabrik, potensi penggunaan gas akan
sangat besar. Selain itu, pemilik kendaraan lama juga perlu diberi insentif
untuk pembelian converter kit. Dengan harga per unit yang mencapai Rp15
juta-Rp17 juta, tentu akan sulit bagi masyarakat untuk secara sukarela membeli
converter kit. Langkah yang bisa
dilakukan misalnya dengan memberikan insentif bagi pembeli converter kit sehingga harganya
semakin terjangkau.
Kesuksesan konversi BBM ke gas
bumi tidak mungkin dicapai dalam sehari. Namun jika hal itu tidak segera dilakukan,
niscaya potensi ekonomi yang begitu besar di negeri ini tidak akan mampu
dinikmati dan memakmurkan masyarakat. Biaya energi yang tinggi akan
menggerogoti keuangan kita. Terbukti selama tiga tahun terakhir, nilai
defisit kita terus membengkak dengan defisit transaksi berjalan yang kian
melebar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar