Integrasi
Pengurangan Risiko Bencana
Musyafak ; Esais dan
Asisten Peneliti di Balai Litbang Kemenag Semarang
|
MEDIA
INDONESIA, 24 Maret 2014
BARANGKALI sebagian besar dari kita
tidak lagi terkejut ketika bencana melanda berbagai daerah di pelosok negeri.
Bencana telah menjadi peristiwa yang rutin dan biasa. Di tengah kerutinan
bencana seperti sekarang, apakah kita semakin siap dan sigap menanggapi
bencana sehingga risikonya bisa ditekan? Kita masih saja tergagap ketika
melihat tanda-tanda datangnya bencana. Risiko bencana selalu besar,
mengorbankan banyak jiwa selain kerugian harta benda. Layanan publik macet,
termasuk anak-anak sekolah yang digadang-gadang kelak akan memperbaiki
infrastruktur lingkungan terpaksa diliburkan.
Kerentanan dan kapasitas
masyarakat mesti dipandang sebagai entry
point dalam memahami risiko bencana. Sebagaimana dikatakan Nurhady
Sirimorok dan Puthut EA (2010: 3), bila suatu ancaman lingkungan bertemu
dengan kerentanan dan rendahnya kapasitas manusia, barulah akan timbul
bencana serta korban dan kerusakan di belakangnya.
Meski pemerintah masih kesulitan
merumuskan cara efektif untuk mencegah dan menanggulangi bencana, paling
tidak kita punya strategi untuk mengurangi risiko bencana yang hadir bak
pelanggan. Mau tidak mau, agenda nasional Pengurangan Risiko Bencana (PRB)
merupakan tanggung jawab bersama.
Komunitas sekolah
Salah satu elemen masya rakat
yang sangat strategis mengimplementasikan PRB ialah komunitas sekolah.
Lembaga pendidikan memiliki mekanisme dan fasilitas untuk mengajarkan
pengetahuan kebencanaan kepada peserta didiknya. Sejak 2010 Mendiknas
(sekarang Mendikbud) melihat peluang tersebut sehingga terbitlah Surat Edaran
Nomor 70a/MPN/SE/2010 tentang Pengarusutamaan PRB di Sekolah.
Pengintegrasian
pendidikan dalam agenda penanggulangan bencana dirasa perlu, bahkan mendesak.
Visi pengarusutamaan PRB di sekolah ialah mewujudkan budaya sadar bencana,
kesiapsiagaan, keselamatan, dan ketangguhan di tingkat sekolah. Di satu sisi,
budaya sadar menjadi modal pencegahan bencana, dan di lain sisi mengurangi
potensi kerugiannya.
Mengapa komunitas sekolah? Tim
Gugus Tugas Pengarusutamaan PRB dalam Sisdiknas (2010:14) mengemukakan tiga
alasan. Pertama, siswa merupakan anggota masyarakat yang rentan terhadap
bencana alam. Kedua, komunitas sekolah merupakan agen sekaligus komunikator
untuk menyebarluaskan pengetahuan tentang pendidikan bencana kepada orangtua
dan lingkungannya. Ketiga, siswa merupakan aset masa depan dalam pembangunan
bangsa sehingga harus dilindungi dari berbagai ancaman bencana.
Implementasi pengarusutamaan PRB
di sekolah memang bukan tanpa masalah. Birokrasi, kurikulum, kompetensi guru,
dan media pembelajaran kerap menjadi hambatan. Anwar Jimpe Rachman, melalui
buku berjudul Hidup di Atas Patahan: Pengalaman Kelola Bencana di Tiga
Kabupaten (Bengkulu Utara, Sinjai, Maluku Tenggara) (2012) mengisahkan
pengalamannya berjuang dalam melaksanakan program PRB di sekolah. Salah satu
hambatan yang dialaminya ialah kalangan lingkaran elite-birokrasi. Tingginya
ego sektoral dan kuatnya syahwat kepentingan di kalangan aparatur elite
pemerintahan membuat program PRB tergembosi.
Hambatan di lini birokrasi itu
sedikit teringankan setelah pelajaran PRB masuk ke sekolah-sekolah sebagai
muatan lokal, seperti terlaksana di Bengkulu Utara. Masuknya PRB sebagai
muatan lokal lebih merupakan jerih payah para aktivis lingkungan, guru, dan
kepala sekolah yang berani menerabas kebekuan birokrasi. Akan tetapi,
persoalan tidak selesai di situ, kurang jelasnya kurikulum membuat para guru
kebingungan mengajarkan pengetahuan kebencanaan di dalam proses pembelajaran.
Pengalaman di tiga kabupaten
tersebut patut dijadikan refleksi bagi strategi pengimplementasian PRB di
sekolah agar semakin optimal. Pertama, penguatan jaringan sekolah dengan
pemerintah dan komunitas-komunitas yang berkecimpung di bidang
lingkungankebencanaan. Kedua, sekolahsekolah mesti memberanikan diri untuk
mengupayakan masuknya pendi dikan kebenca naan sebagai muatan lokal.
Jika
belum cukup, atau sebaliknya menemui jalan buntu, sekolah bisa membentuk
kegiatan ekstrakurikuler pecinta alam yang belajar langsung dari alam. Bisa pula
membentuk korps sukarela (KSR) yang sewaktu-waktu diterjunkan sebagai relawan
ketika terjadi bencana untuk menyelamatkan atau mengevakuasi korban ataupun
mengelola bantuan.
Aplikasi kurikulum
Pengintegrasian PRB di dalam
kurikulum satuan pendidikan formal sekurang-kurangnya bisa dilakukan dengan
cara menyisipkan materi kebencanaan di dalam ilmu alam atau ilmu sosial.
Keberhasilan pe nyisipan semacam itu sangat bergantung pada kemampuan guru
melalui metode pembelajaran yang mampu mentransfer teori sekaligus dikuatkan
dengan praktik langsung di alam.
Tim Gugus Tugas Pengarusutamaan
PRB dalam Sisdiknas mengemukakan dua garis besar materi yang harus ada dalam
pendidikan kebencanaan. Pertama, pengetahuan dan praktik tahap-tahap
penanggulangan bencana. Itu meliputi kondisi prabencana, saat terjadi
bencana, dan pascabencana. Penjabaran materi di tingkat sekolah perlu
diselaraskan dengan kemampuan kognitif dan perkembangan fisik peserta didik.
Kedua, pengembangan budaya sadar bencana. Pengetahuan dan sikap siswa mesti
diorientasikan untuk mampu memahami jenis-jenis dan sumber bencana, sejarah
bencana, serta kerawanan dan kapasitas komunitas sekolah.
Materi kebencanaan antara satu
daerah dan daerah lain tidak bisa disamakan, tetapi perlu diselaraskan dengan
problem-problem bencana yang dihadapi keadaan alam atau lingkungan masyarakat
setempat. Taruhlah, di Bengkulu atau Maluku yang notabene rawan gempa dan
tsunami, materi keben canaannya harus dibe dakan dengan di Daerah Istimewa
Yogyakarta atau Jawa Tengah yang memiliki gunung berapi aktif (Gunung Merapi)
atau Sinabung di Sumatra Utara yang rawan meng alami erupsi bah kan letusan,
atau Jakarta yang menjadi langganan banjir. Namun, perlu materi umum yang
secara nasional dijadikan pengetahuan bersama di kalangan pelajar dengan
menimbang rasio bencana yang paling sering terjadi di berbagai daerah di
Indonesia, seperti banjir, tanah longsor dan topan.
Muara pendidikan PRB di sekolah
tidak lain ialah kesadaran tanggap bencana yang mengarah kepada dua aksi,
yakni pelestarian lingkungan serta penyelamatan diri ketika bencana dan
mitigasi serta pengelolaan bencana yang dilandasi empati etis kepada korban.
Masyarakat Indonesia hidup dalam
beragam kultur dan kaya akan tradisi yang di dalamnya memuat nilai-nilai
kearifan lokal. Modal kultural itu cukup potensial untuk dijadikan penopang
dalam upaya pengurangan risiko bencana. Banyak sekali kearifan lokal yang
merupakan jelmaan pengetahuan masyarakat dalam memahami dan menjaga
kelestarian lingkungan hidup. Misalnya, di daerah Kecamatan Dullah, Maluku
Tenggara, kebanyakan pekuburan terletak di pesisir pantai dan rimbun oleh
pohon-pohon bintangur (ngufar: bahasa setempat) atau
pohon-pohon kamboja. Adat permakaman itu diwariskan secara turun-temurun
bukan tanpa makna di baliknya.
Setiap ahli waris yang memakamkan keluarganya
diharuskan menanam satu pohon di area pekuburan. Pohon-pohon itulah yang
kemudian menjadi sabuk pantai untuk menahan gelombang laut sekaligus mencegah
abrasi (Rachman, 2012: 95). Contoh lain yang juga bisa ditemukan di banyak
daerah di Indonesia misalnya hukum adat terkait dengan tata guna tanah atau
hutan: ada tanah yang bisa dicocoktanami sepanjang tahun, tetapi ada juga
tanah yang hanya boleh ditanami dalam interval waktu tertentu; ada hutan yang
bisa dimanfaatkan sumber dayanya, ada pula hutan lindung yang tidak boleh
dieksploitasi.
Pendidikan PRB di sekolah perlu
memperhatikan kearifan-kearifan lokal yang hidup di masyarakat setempat.
Sekolah punya peran strategis untuk melestarikan pengetahuan lokal masyarakat
yang berhubungan dengan upaya pelestarian lingkungan. Di samping itu, sekolah
juga punya kekuatan untuk merevitalisasi tradisi lokal terkait dengan
penghayatan alam yang mulai ditinggalkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar