Mengurangi
Risiko Dana Bansos
Enny Sri Hartati ; Peneliti
Institute for Development of Economics and Finance (Indef)
|
MEDIA
INDONESIA, 24 Maret 2014
“Untuk
mencegah praktik pergeseran anggaran itu, kriteria belanja bansos harus jelas
dan transparan. Anggaran bansos harus dikembalikan pada tujuan yang telah
tetapkan dalam PMK81/PMK.05/2012, yaitu untuk mengurangi dampak risiko
sosial, juga harus dapat meningkatkan kemampuan ekonomi dan kesejahteraan
masyarakat.”
SETIAP menjelang tahun politik
fenomena anggaran bantuan sosial (bansos) selalu ramai menjadi perdebatan
publik. Keributan itu tidak terlepas dari besaran alokasi dana bansos yang
kebetulan selalu meningkat setiap menjelang pemilihan umum (pemilu). Sebut
saja anggaran bansos 2008 sebesar Rp57,7 triliun melonjak menjadi Rp73,8
triliun pada 2009 dan kembali menurun menjadi Rp68,6 triliun pada 2010.
Demikian juga dana bansos pada
APBNP 2013 menjadi sebesar Rp82,5 triliun dan kembali naik drastis pada 2014.
Rilis Kementerian Keuangan per Februari 2014, menyebutkan bansos yang awalnya
hanya dianggarkan Rp55,86 triliun melonjak menjadi Rp91,8 triliun.
Padahal, sejatinya kenaikan
alokasi anggaran bansos semestinya disambut gembira dan mendapat apresiasi
publik. Minimal kenaikan anggaran bansos menunjukkan bukti perhatian
pemerintah untuk mengupayakan langkah mitigasi terhadap berbagai risiko
sosial yang dihadapi masyarakat. Apalagi selama 2013 masyarakat menghadapi
tekanan ekonomi akibat meroketnya inflasi. Ditambah lagi sejak awal tahun
bencana silih berganti menerpa berbagai daerah di Tanah Air. Sesuai Peraturan
Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81/PMK.05/2012, bantuan sosial adalah
pengeluaran berupa transfer uang, barang, atau jasa yang diberikan pemerintah
pusat/daerah kepada masyarakat guna melindungi masyarakat dari kemungkinan terjadinya
risiko sosial dan meningkatkan kemampuan ekonomi dan/atau kesejahteraan
masyarakat. Risiko sosial merupakan kejadian atau peristiwa yang dapat menimbulkan
potensi terjadinya kerentanan sosial yang ditanggung individu, keluarga,
kelompok, dan/atau masyarakat sebagai dampak krisis sosial, krisis ekonomi,
krisis politik, fenomena alam, dan bencana alam yang jika tidak diberikan
belanja bantuan sosial akan semakin terpuruk dan tidak dapat hidup dalam
kondisi wajar.
Dalam PMK tersebut jelas
disebutkan bahwa bantuan sosial baik melalui kementerian negara/lembaga
maupun melalui dana transfer daerah peruntukannya ialah (i) rehabilitasi
sosial, yaitu untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan seseorang yang
mengalami disfungsi sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara
wajar; (ii) perlindungan sosial, untuk mencegah dan menangani risiko dari
guncangan kerentanan sosial seseorang, keluarga, kelompok, dan/atau
masyarakat agar kelangsungan hidupnya dapat dipenuhi sesuai kebutuhan dasar
minimal; (iii) pemberdayaan sosial, memberdayakan warga negara yang mengalami
masalah sosial, sehingga mampu memenuhi kebutuhan dasarnya; (iv) jaminan
sosial, skema yang melembaga untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat
memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak; (v) penanggulangan kemiskinan,
kebijakan atau program agar masyarakat mempunyai sumber mata pencaharian dan
dapat memenuhi kebutuhannya secara layak; dan (vii) penanggulangan bencana,
di antaranya ialah kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan
rehabilitasi.
Sangat longgar
Sayangnya, regulasi dan
pengaturan yang mengikat pengelolaan belanja bansos sangat terbatas dan tidak
standar. Bahkan PMK hanya mensyaratkan pertanggungjawaban dana bansos oleh
kementerian terkait ke Kementerian Keuangan hanya memuat jumlah pagu bansos
yang disalurkan, realisasi bansos yang telah disalurkan, dan sisa dana bansos
yang di setorkan ke rekening kas umum negara dengan dilampiri bukti tanda
terima dan berita acara serah terima penyaluran. Artinya pengaturan alokasi
bansos ini sangat longgar dan tidak memiliki kriteria peruntukan yang jelas.
Rincian dana bansos yang tertuang dalam nota keuangan ialah untuk bantuan operasional
sekolah (BOS), bantuan siswa dan mahasiswa miskin (BSM), Jamkesmas, PNPM
Mandiri, Program Keluarga Harapan (PKH), dana cadangan penanggulangan bencana
alam, dan bantuan sosial lainnya. Namun, realisasi dana bansos sangat jauh
dari amanat dalam PMK tersebut. Rata-rata hampir 50% alokasi dana bansos
jenis program dan kegiatannya tidak jelas atau masuk dalam dana bansos
lainnya.
Ketidaktransparanan dan
ketidakjelasan kriteria alokasi bansos itu tentu berpeluang menimbulkan
potensi moral hazard mulai sisi penganggaran hingga penyaluran. Itu juga
menimbulkan ketiadaan standardisasi dalam hal pertanggungjawaban dan
pengawasan. Akan sangat sulit menentukan parameter untuk mengukur seberapa
efektif dan efisien dari bansos yang telah dilaksanakan. Fleksibilitas
peruntukan dana bansos itu berakibat paling rawan dicurangi atau
disalahgunakan. Akibatnya, banyak temuan KPK terhadap terjadinya penyimpangan
dan korupsi dana bansos. Lemahnya sisi regulasi dan ketiadaan aturan yang
standar dalam pedoman alokasi pengelolaan dana bansos menyebabkan beragam
interpretasi penggunaan dana bansos. Bahkan, baik kementerian teknis dan
pemerintah daerah de ngan mudah melakukan berbagai pengalihan dan pergeseran
anggaran bansos.
Alhasil tercatat terdapat 10
kementerian yang dana bansos 2014 melonjak tajam, di antaranya Kementerian
Kominfo, Kementerian Perhubungan, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian
Pemuda dan Olahraga, Kementerian ESDM, Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, Kementerian Kehutanan, Kementerian Koperasi dan UKM,
Kementerian Pertanian, dan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal.
Kesepuluh kementerian tersebut
yang juga notabene dipimpin menteri yang terafiliasi dengan partai politik.
Dengan demikian, sulit menafikan anggapan publik bahwa dana bansos ini bebas
dari kepentingan politis dan tidak terkait dengan kebijakan populis menjelang
pemilu. Politisasi berpeluang membangun popularitas pribadi dan kampanye
terselubung. Apalagi, dana bansos diberikan kepada individu atau kelompok
sehingga rentan disalurkan pada kelompok yang merupakan basis pendukung
menteri atau partai politik tertentu guna mendapat dukungan masyarakat. Tak
mengherankan jika sampai 28 Februari realisasi dana bansos sudah mencapai
Rp7,8 triliun.
Lonjakan dana bansos bahkan
ditengarai telah mengalami lonjakan sejak 2013. Beberapa contoh dana bantuan
sosial di kementerian yang dipimpin tokoh partai politik cenderung meningkat
menjelang tahun pemilihan umum. Bansos di Kementerian Agama tercatat sebesar
Rp8,731 triliun pada 2011, Rp8,814 triliun pada 2012, dan melonjak jadi
Rp11,28 triliun pada 2013. Lonjakan juga terjadi pada dana bansos Kementerian
Perumahan Rakyat yang pada 2011 sebesar Rp560 miliar, Rp1,795 triliun pada
2012, dan Rp2,224 triliun pada 2013. Dana bansos Kementerian Sosial meningkat
dari Rp2,324 triliun pada 2011, Rp2,713 triliun pada 2012, dan menjadi
Rp3,351 triliun pada 2013.
Ada pergeseran
Di samping pembengkakan dana
bansos yang terjadi pada beberapa kementerian teknis, pembengkakan bansos
2014 konon juga diakibatkan terjadinya pengalihan anggaran. Hal itu terlihat
pada perubahan alokasi belanja APBN per Februari 2014. Pagu APBN 2014 berubah
dan beberapa pos belanja mengalami perubahan yang signifikan. Setidaknya,
terdapat tiga pos belanja utama yang mengalami pergeseran. Belanja barang
dalam APBN 2014 yang semula mendapat alokasi sebesar Rp201,88 triliun, naik
6,2% menjadi Rp214,4 triliun. Apalagi belanja bansos mengalami kenaikan yang
signifikan hingga 64,34% menjadi RP91,8 triliun. Akibatnya, belanja modal
turun menjadi Rp184,2 triliun. Sebelumnya dalam APBN, belanja modal sebesar
Rp232,8 triliun.
Pergeseran tersebut memang tidak
mengakibatkan perubahan besarnya alokasi belanja. Anggaran belanja pemerintah
pusat tetap sesuai pagu dalam nota keuangan 2014 sebesar Rp1.249,9 triliun.
Namun, dalam Undang-Undang Keuangan Negara No 17 Tahun 2003 jelas diatur
bahwa belanja negara/belanja daerah dirinci sampai dengan unit organisasi,
fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Artinya, setiap pergeseran
anggaran antarunit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja harus
mendapat persetujuan DPR/DPRD walaupun dalam keadaan darurat
pemerintah/pemerintah daerah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia
anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBN
dan/atau disampaikan dalam la poran realisasi anggaran.
Pertanyaannya, seberapa darurat
pergeseran anggaran tersebut harus dilakukan? Kementerian Keuangan mengklaim
bahwa terdapat pergeseran anggaran akibat pembengkakan alokasi anggaran
jaminan sosial menjadi sebesar Rp19,9 triliun. Anggaran tersebut sebelumnya
dialokasikan pada belanja barang dipindah ke anggaran bansos. Tentu analogi
itu tidak masuk akal. Anggaran Jamkesmas sejak awal nomenklaturnya ialah
anggaran bansos. Langkah itu dikhawatirkan menjadi strategi dan justifikasi
pergeseran belanja modal dan belanja barang menjadi belanja bansos. Utamanya
pergeseran jenis belanja dengan alasan memiliki karakteristik belanja bansos.
Untuk mencegah praktik
pergeseran anggaran itu, kriteria belanja bansos harus jelas dan transparan.
Anggaran bansos harus dikembalikan pada tujuan yang telah tetapkan dalam
PMK81/PMK.05/2012, yaitu untuk mengurangi dampak risiko sosial, juga harus
dapat meningkatkan kemampuan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu,
syarat wajib dari kegiatan yang didanai dengan bansos ialah harus merupakan
program yang berkelanjutan dan memiliki target output dan outcome yang
jelas dan terukur. Dengan demikian, berbagai potensi moral hazard dan ditunggangi kepentingan politis dapat
diminimalkan. Untuk itu, dana bansos pada tahun politik ini seyogianya
ditunda dulu sampai pemilu selesai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar