Perempuan
dan Negara
Moh Yamin ;
Dosen dan Peneliti
di
Universitas Lambung Mangkurat (Unlam), Banjarmasin
|
SINAR
HARAPAN, 08 Maret 2014
Berdirinya
sebuah negara dan bangsa tidak bisa lepas dari peran kaum wanita.
Persoalannya adalah apakah selama ini wanita selalu mendapatkan ruang
penghormatan yang sangat tinggi dari kaum pria?
Sejarah
perjalanan bangsa ini kemudian menjadi cerminan cukup kuat, memang wanita
selalu dipandang sebelah mata. Seberapa pun perjuangan kaum wanita dalam
membangun bangsa ini, hal tersebut dianggap angin lalu.
Kita
semua, kemungkinan besar, masih ingat pada Gerakan Wanita Indonesia
(Gerwani), yang muncul di era kepemimpinan Soekarno.
Sayap
kekuataan politik terkuat Seokarno saat itu berada di dua kubu, yakni Partai
Komunis Indonesia (PKI) dan Gerwani. Oleh sebab itu, Soeharto kemudian harus
menghancurkan dua kubu tersebut. Akhirnya, Gerwani menjadi salah satu yang
dipreteli kekuatan politiknya.
Sejarah
kelam saat itu menegaskan secara telanjang bulat, Soeharto menyamakan Gerwani
sebagai wanita penghibur, pelacur, orang yang bejat dan keji, tidak bertuhan,
dan lain seterusnya. Bahkan yang lebih mengerikan, mereka diberitakan sebagai
kelompok yang ikut menganiaya para jenderal sebelum dibunuh di Lubang Buaya.
Aksi
pembentukan opini buruk sedemikian digelar melalui koran-koran militer, serta
koran pendukung lainnya yang dikendalikan Soeharto. Memang sangat luar biasa
kesuksesan opini miring tersebut. Hasilnya, wanita yang tergabung dalam
Gerwani dibantai habis-habisan oleh “masyarakat”.
Dari
sinilah, kekuasaan Soekarno mulai mengalami kerapuhan. Profesor Dr Saskia
Eleonora Wieringa dalam bukunya Penghancuran
Gerakan Perempuan di Indonesia (1999) mengatakan, wanita atau yang
tergabung dalam Gerwani sudah menjadi korban politik kekuasaan Soeharto yang
berkeinginan kuat naik singgasana kepresidenan .
Gerwani
harus menjadi tumbal keganasan Soeharto yang sudah lebih bernafsu menjadi
penguasa Indonesia. Inilah kenyataan sejarah politik saat itu. Perempuan
sudah dipolitisasi sedemikian rupa untuk sebuah kepentingan sesaat dan jangka
pendek.
Padahal
sekali lagi, Gerwani tidaklah seburuk yang distigmakan Seoharto. Hanya karena
sebuah pencapaian politik kekuasaan untuk meraih sebuah jabatan, segala cara
kemudian dilakukan. Inilah sesungguhnya persoalan sangat mendasar, yang
menjadi akar.
Oleh
sebab itu, wanita—sekali lagi dalam kondisi dan situasi apa pun—selalu
diperalat pria untuk tujuan yang tidak lagi bernilai dan berguna bagi sesama.
Perempuan terus-menerus dijadikan media melancarkan serta memuluskan agenda
kepentingan tertentu dari pria, kendati tidak semua pria berpandangan buruk
sedemikian.
Akan
tetapi, terlepas apakah masih ada kaum pria yang bersikap baik kepada kaum
wanita, sesungguhnya wanita tetap berada dalam ancaman.
Pertanyaannya,
haruskah wanita tidak boleh berpolitik, dilarang menjadi aktivis politik
sebagai bagian dari keterlibatannya membangun bangsa dan negara? Apakah
wanita akan selalu menjadi kelompok terpinggirkan dalam dunia politik? Diakui
maupun tidak, kendati saat ini sudah banyak wanita yang masuk dunia politik
praktis—menjadi anggota dewan baik di daerah maupun pusat—ternyata kiprah
mereka tidak pernah terdengar.
Mereka
seolah hanya menjadi pelengkap untuk mengisi kursi-kursi yang kosong pada
setiap sidang. Memang keadaannya berbeda saat di era Soekarno dan
pasca-Reformasi. Namun pertanyaan selanjutnya, mengapa hal demikian bisa
terjadi?
Sikap Remeh
Diakui
maupun tidak, masih banyak pria yang selalu meremehkan kinerja wanita dalam
konteks apa pun. Fatimah Mernissi dalam bukunya Women and Islam: An Historical and Theological Enquiry
mengatakan, pria selalu menjadikan ayat-ayat Tuhan sebagai alat merendahkan
wanita.
Kaum
pria selalu melihat wanita sebagai pihak yang lemah di depan agama dan Tuhan.
Inilah yang menjadikan wanita tidak bisa melakukan hal apa pun untuk
membelanya.
Sikap
meremehkan dan merendahkan dari pria begitu dominan, dengan menjadikan
ayat-ayat Tuhan sebagai senjata ampuhnya. Pandangan misoginis sangat dominan.
Wajar bila wanita selalu berada di pihak salah, kendati sudah melakukan yang
benar.
Hal yang
salah menurut wanita belum tentu salah bagi pria, begitu juga sebaliknya.
Paradigma pria selalu mencari menang sendiri dengan tidak pernah menyadari
kesalahan yang diperbuatnya.
Cara
pandang demikian juga terjadi dalam dunia kemasyarakatan dan politik. Di
masyarakat, wanita sangat rentan menjadi permainan kaum pria. Sementara itu,
dalam dunia politik pun, wanita berpotensi sebagai kambing hitam. Ini
merupakan ironi.
Lantas,
di manakah peran yang seharusnya layak dilakukan kaum wanita. Apakah hanya
menyerah kepada keadaan yang memang sudah dibangun atas tradisi ortodoks
sebagai kelompok subordinat, pihak yang berada dalam kekuasaan kaum pria?
Sudah
saatnya membalik cara berpikir demikian seratus delapan puluh derajat.
Perempuan juga berhak menentukan pilihannya secara bebas, selama hal tersebut
memiliki kontribusi bagi kepentingan bersama di atas segala-galanya. Jalan
hidup dan kehidupan yang diraih membawa kemaslahatan bagi semua.
Perempuan
janganlah bernasib saat Gerwani pernah dipolitisasi. Jangan pula seperti
mereka yang menjadi wakil rakyat (baca: realitas), tetapi tidak bisa
melakukan apa-apa untuk perubahan hidup dan kehidupan bagi wanita Indonesia.
Perempuan
sebagai bagian kehidupan bernegara ikut bertanggung jawab membawa negeri ini
menjadi lebih bermartabat dan beradab. Perempuan, bukan hanya kaum pria, juga
bertanggung jawab besar dalam menyongsong dinamika kebangsaan serta
kenegaraan yang konstruktif, sekaligus dinamis di masa mendatang. Inilah
tantangan ke depan para wanita Indonesia saat ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar