Minggu, 09 Maret 2014

Perempuan dan Negara

Perempuan dan Negara

Moh Yamin  ;   Dosen dan Peneliti
di Universitas Lambung Mangkurat (Unlam), Banjarmasin
SINAR HARAPAN,  08 Maret 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                                                                             
Berdirinya sebuah negara dan bangsa tidak bisa lepas dari peran kaum wanita. Persoalannya adalah apakah selama ini wanita selalu mendapatkan ruang penghormatan yang sangat tinggi dari kaum pria?

Sejarah perjalanan bangsa ini kemudian menjadi cerminan cukup kuat, memang wanita selalu dipandang sebelah mata. Seberapa pun perjuangan kaum wanita dalam membangun bangsa ini, hal tersebut dianggap angin lalu.

Kita semua, kemungkinan besar, masih ingat pada Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), yang muncul di era kepemimpinan Soekarno.

Sayap kekuataan politik terkuat Seokarno saat itu berada di dua kubu, yakni Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Gerwani. Oleh sebab itu, Soeharto kemudian harus menghancurkan dua kubu tersebut. Akhirnya, Gerwani menjadi salah satu yang dipreteli kekuatan politiknya.

Sejarah kelam saat itu menegaskan secara telanjang bulat, Soeharto menyamakan Gerwani sebagai wanita penghibur, pelacur, orang yang bejat dan keji, tidak bertuhan, dan lain seterusnya. Bahkan yang lebih mengerikan, mereka diberitakan sebagai kelompok yang ikut menganiaya para jenderal sebelum dibunuh di Lubang Buaya.

Aksi pembentukan opini buruk sedemikian digelar melalui koran-koran militer, serta koran pendukung lainnya yang dikendalikan Soeharto. Memang sangat luar biasa kesuksesan opini miring tersebut. Hasilnya, wanita yang tergabung dalam Gerwani dibantai habis-habisan oleh “masyarakat”.

Dari sinilah, kekuasaan Soekarno mulai mengalami kerapuhan. Profesor Dr Saskia Eleonora Wieringa dalam bukunya Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia (1999) mengatakan, wanita atau yang tergabung dalam Gerwani sudah menjadi korban politik kekuasaan Soeharto yang berkeinginan kuat naik singgasana kepresidenan .

Gerwani harus menjadi tumbal keganasan Soeharto yang sudah lebih bernafsu menjadi penguasa Indonesia. Inilah kenyataan sejarah politik saat itu. Perempuan sudah dipolitisasi sedemikian rupa untuk sebuah kepentingan sesaat dan jangka pendek.

Padahal sekali lagi, Gerwani tidaklah seburuk yang distigmakan Seoharto. Hanya karena sebuah pencapaian politik kekuasaan untuk meraih sebuah jabatan, segala cara kemudian dilakukan. Inilah sesungguhnya persoalan sangat mendasar, yang menjadi akar.

Oleh sebab itu, wanita—sekali lagi dalam kondisi dan situasi apa pun—selalu diperalat pria untuk tujuan yang tidak lagi bernilai dan berguna bagi sesama. Perempuan terus-menerus dijadikan media melancarkan serta memuluskan agenda kepentingan tertentu dari pria, kendati tidak semua pria berpandangan buruk sedemikian.

Akan tetapi, terlepas apakah masih ada kaum pria yang bersikap baik kepada kaum wanita, sesungguhnya wanita tetap berada dalam ancaman.

Pertanyaannya, haruskah wanita tidak boleh berpolitik, dilarang menjadi aktivis politik sebagai bagian dari keterlibatannya membangun bangsa dan negara? Apakah wanita akan selalu menjadi kelompok terpinggirkan dalam dunia politik? Diakui maupun tidak, kendati saat ini sudah banyak wanita yang masuk dunia politik praktis—menjadi anggota dewan baik di daerah maupun pusat—ternyata kiprah mereka tidak pernah terdengar.

Mereka seolah hanya menjadi pelengkap untuk mengisi kursi-kursi yang kosong pada setiap sidang. Memang keadaannya berbeda saat di era Soekarno dan pasca-Reformasi. Namun pertanyaan selanjutnya, mengapa hal demikian bisa terjadi?

Sikap Remeh

Diakui maupun tidak, masih banyak pria yang selalu meremehkan kinerja wanita dalam konteks apa pun. Fatimah Mernissi dalam bukunya Women and Islam: An Historical and Theological Enquiry mengatakan, pria selalu menjadikan ayat-ayat Tuhan sebagai alat merendahkan wanita.

Kaum pria selalu melihat wanita sebagai pihak yang lemah di depan agama dan Tuhan. Inilah yang menjadikan wanita tidak bisa melakukan hal apa pun untuk membelanya.

Sikap meremehkan dan merendahkan dari pria begitu dominan, dengan menjadikan ayat-ayat Tuhan sebagai senjata ampuhnya. Pandangan misoginis sangat dominan. Wajar bila wanita selalu berada di pihak salah, kendati sudah melakukan yang benar.

Hal yang salah menurut wanita belum tentu salah bagi pria, begitu juga sebaliknya. Paradigma pria selalu mencari menang sendiri dengan tidak pernah menyadari kesalahan yang diperbuatnya.

Cara pandang demikian juga terjadi dalam dunia kemasyarakatan dan politik. Di masyarakat, wanita sangat rentan menjadi permainan kaum pria. Sementara itu, dalam dunia politik pun, wanita berpotensi sebagai kambing hitam. Ini merupakan ironi.

Lantas, di manakah peran yang seharusnya layak dilakukan kaum wanita. Apakah hanya menyerah kepada keadaan yang memang sudah dibangun atas tradisi ortodoks sebagai kelompok subordinat, pihak yang berada dalam kekuasaan kaum pria?

Sudah saatnya membalik cara berpikir demikian seratus delapan puluh derajat. Perempuan juga berhak menentukan pilihannya secara bebas, selama hal tersebut memiliki kontribusi bagi kepentingan bersama di atas segala-galanya. Jalan hidup dan kehidupan yang diraih membawa kemaslahatan bagi semua.

Perempuan janganlah bernasib saat Gerwani pernah dipolitisasi. Jangan pula seperti mereka yang menjadi wakil rakyat (baca: realitas), tetapi tidak bisa melakukan apa-apa untuk perubahan hidup dan kehidupan bagi wanita Indonesia.

Perempuan sebagai bagian kehidupan bernegara ikut bertanggung jawab membawa negeri ini menjadi lebih bermartabat dan beradab. Perempuan, bukan hanya kaum pria, juga bertanggung jawab besar dalam menyongsong dinamika kebangsaan serta kenegaraan yang konstruktif, sekaligus dinamis di masa mendatang. Inilah tantangan ke depan para wanita Indonesia saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar