Duh,
Vonis MK tentang PK
Moh Mahfud MD ;
Guru Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN
SINDO, 08 Maret 2014
Saya
sedang dalam perjalanan dari Bengkulu menuju Musi Rawas bersama Bupati Dr
Ridwan Mukti, Kamis sore dua hari lalu, saat mendengar berita melalui
Twitter, ”Mahkamah Konstitusi (MK)
kembali keluarkan vonis mengejutkan”.
MK
mengabulkan permohonan Antasari Azhar agar upaya hukum peninjauan kembali
(PK) dapat diajukan lebih dari sekali, bahkan bisa berkali-kali. Saya belum
membaca vonis MK tentang alasan-alasan dan pembatasan atau syarat-syarat
untuk mengajukan PK lagi atas PK sebelumnya. Saya berpikir spontan saja
sebagai warga negara yang cemas atas masa depan dunia hukum begitu mendengar
ada vonis seperti itu.
Bagi
saya, vonis itu mengacaukan, bahkan membahayakan dunia hukum kita. Bagi yang
awam hukum perlu dijelaskan bahwa PK adalah pemeriksaan kembali oleh hakim
untuk dapat ditinjau kembali dengan putusan baru atas perkara yang sudah
diputus dan sudah berkekuatan hukum tetap (final and binding). PK adalah upaya hukum luar biasa atas perkara
yang sudah diperiksa dan diputus melalui tiga tingkatan sebelumnya yang
disediakan oleh hukum yakni pada tingkat pengadilan negeri (pertama), tingkat
pengadilan tinggi (banding), dan tingkat Mahkamah Agung (kasasi).
PK
merupakan upaya hukum luar biasa yang bisa diajukan terpidana jika, antara
lain, ada bukti baru (novum) atau
jika ternyata ada kekeliruan hakim dalam menerapkan hukum pada pengadilan
yang sudah memutuskannya secara final. Tetapi, dalam praktiknya, PK sering
dijadikan tingkatan pengadilan keempat setelah upaya kasasi. Dalam pengalaman
bahkan ada vonis pengabulan PK yang sedang dipersoalkan di Komisi Yudisial
karena orang yang mengajukan PK sedang buron.
Bagi
publik, putusan MK itu dapat mengacaukan dunia hukum karena beberapa hal.
Pertama, dengan pembukaan pintu bagi PK di atas PK itu, kepastian hukum
menjadi hilang karena orang yang sudah dihukum masih bisa dianggap belum
bersalah. Benar, proses PK tak bisa menangguhkan eksekusi, tetapi dalam
praktik banyak orang tidak dieksekusi dengan alasan menunggu putusan PK.
Kepastian
hukum, seperti yang dibangun dalam paradigma hukum progresif di MK, memang
harus diletakkan di bawah keadilan, tetapi kepastian hukum tidak selalu tidak
adil sebab kerapkali keadilan itu bisa ditemukan pada kepastian hukum. Selain
itu, pandangan hakim tentang keadilan juga bisa menjadi tidak adil menurut public common sense.
Hukum
progresif tidak pernah berhenti pada kunci mati ”kepastian hukum” atau
”keadilan” semata, tapi bisa bergerak sebagai pendulum antara keduanya pada
kasus-kasus konkret yang dihadapi penegak hukum, bukan mengunci pada hukum
abstrak yang bersifat erga omnes. Kedua, orang yang sudah selesai menjalani
hukuman karena PK pertamanya ditolak suatu saat, ketika para hakim yang
menanganinya sudah pensiun, dia bisa mengajukan PK lagi.
Bukan
hanya dengan mengajukan novum,
melainkan dengan alasan hakim yang memeriksanya dulu telah melakukan
kesalahan dalam menerapkan hukum. Bahaya ini bisa lebih jauh terjadi karena
jika PK di atas PK-nya dikabulkan, secara teoretis yang bersangkutan bisa
menuntut ganti rugi kepada negara dengan jumlah yang bisa tidak tanggung-tanggung.
Alasannya, negara telah menghukumnya dalam tindak pidana yang terbukti,
menurut hasil PK yang terakhir, tidak pernah dilakukannya.
Kalau
yang seperti ini dikolusikan antara terpidana, kuasa hukum, dan hakim seperti
yang disinyalir banyak terjadi selama ini, negara bisa dituntut triliunan
rupiah oleh banyak terpidana yang beramai-ramai mengajukan PK atas hukuman
yang telah, terlanjut, dan dijalaninya. Bisa juga vonis PK dibeli secara
kolutif, bukan untuk menuntut ganti rugi uang kepada negara, melainkan untuk
dijadikan tiket guna menduduki jabatan-jabatan publik karena berdasar PK
terakhir dirinya sudah bersih secara total dan sudah memenuhi syarat untuk
menjabat.
Bukan
tidak mungkin pengabulan PK itu dilakukan secara kolutif antara hakim dan
terpidana seperti yang banyak disinyalir dalam putusanputusan pengadilan
selama ini. Kalau asumsi yang dipergunakan MK misalnya selama ini pengadilan
sering sesat dan salah karena dimafiakan, pembukaan PK di atas PK bukanlah
solusi. Bisa saja kesesatan dan kolusi dilakukan juga pada tingkat PK di atas
PK itu.
Moralitas
penegak hukumlah sumber masalahnya. Saya termasuk yang bersimpati dan
berempati pada Antasari yang merasa dizalimi melalui rekayasa atas kasusnya.
Tetapi, kalau solusinya membuka PK di atas PK
atas UU yang bersifat erga omnes,
menurut saya, tidaklah tepat. Mudaratnya akan lebih banyak daripada
manfaatnya. Sebenarnya misalnya sesudah terjadi pergantian pemerintahan
melalui pemilu, Antasari bisa meminta amnesti dan rehabilitasi seperti yang
diberikan pemerintahan Habibie terhadap AM Fatwa, Sri Bintang Pamungkas, dan
lain-lain.
Banyak
Tuips yang bertanya kepada saya, apa yang harus dilakukan untuk
mengantisipasi persoalan ini. Ada juga yang berteriak agar MK dibubarkan saja
karena kehadirannya telah mengacaukan dunia hukum. Tentu saya tak setuju dengan
yang terakhir ini karena keberadaan MK merupakan perintah konstitusi, kecuali
kita bersepakat mengamandemen konstitusi. Sangat
merisaukan. Lalu? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar