Rabu, 18 September 2013

Sulitnya Mencari Tuhan di Tengah Keramaian

Sulitnya Mencari Tuhan di Tengah Keramaian
M Abrar Parinduri ;  Dosen Universitas Ibnu Chaldun Jakarta,
Wakil Sekretaris Majelis Pengurus Pusat Asosiasi Dosen Indonesia
OKEZONENEWS, 17 September 2013
  


Sepertinya rasa ke-Tuhanan dalam diri manusia hari ini berupa kelembutan, kasih sayang, keikhlasan dan kejujuran telah hilang dalam diri kita. Benarkah ini pertanda bahwa Tuhan telah sulit dicari dalam keramaian.

Hari ini hampir seluruh umat manusia mengalami "perang kosmik" (cosmic war) pada diri manusia-di mana kerinduan spiritual pada yang bersih dan suci sering kali dikuasai dan diperbudak dengan nafsu amarah yang membawa kepada kualitas hidup yang rendah. Sejalan dengan itu, menjelang akhir millennium kedua dan memasuki millennium ketiga kita melihat dengan jelas bahwa dunia yang kita kenal sedang sekarat (meminjam istilah Karen Amstrong). Selama beberapa dekade kita hidup dengan pengetahuan bahwa kita telah menciptakan senjata-senjata yang setiap saat bisa menyapu kehidupan manusia di bumi.

Perang dingin mungkin telah berakhir, namun tatanan dunia baru tampak tak kalah  mengerikan dibanding yang lama. Kita sedang menghadapi kemungkinan terjadinya bencana ekologis. Narkoba dan Virus AIDS mengancam menyebarkan wabah penyakit dengan proporsi yang tidak dapat dikendalikan. Dalam dua atau tiga generasi mendatang , jumlah penduduk akan menjadi terlalu besar bagi planet bumi. Ribuan orang berada di ambang ajal karena kelaparan dan kekeringan. Generasi-generasi sebelum kita telah merasakan bahwa akhir dunia sudah dekat, tetapi kita tampaknya sedang menghadapi masa depan yang tak terbayangkan. Lalu bagaimana kiranya pandangan kita tentang Tuhan akan bertahan dalam tahun-tahun mendatang.

Tuhan yang dimaksud penulis dalam hal ini adalah lebih kepada sifat-sifat ke-Tuhanan yakni pemurah, penyayang dan Tuhan yang kita kenal tidak pernah melakukan kesalahan dan pelanggaran. Sedangkan keramaian yang penulis maksud adalah manusia itu sendiri, baik ketika dia berada dirumah, ditempat kerja, di tempat umum ataupun di tengah-tengah masyarakat. Tuhan berbeda dengan manusia, karena manusia tidak pernah luput dari kesalahan dan dosa. Lantas yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, apakah manusia yang telah terlanjur melakukan kesalahan dan dosa tersebut dibiarkan begitu saja tanpa harus ada upaya untuk menyadarkannya sehingga lama-kelamaan ia akan kehilangan sifat ke-Tuhanan dalam dirinya? Dan bayangkan jika semua manusia mengalami hal yang sama (hilangnya sifat ke-Tuhanan dalam dirinya), maka bisa dipastikan kehidupan ini akan berjalan dengan liar dan buas karena tidak ada lagi norma-norma yang mengatur tatanan kehidupan sosial manusia.

Penyebab Sulitnya Mencari Tuhan di Keramaian

Selama 4.000 tahun gagasan tentang Tuhan telah mampu menjawab tuntunan zaman, tetapi rasanya pada abad kita ini, semakin banyak orang yang merasakannya tak lagi bermanfaat bagi mereka, dan ketika sebuah gagasan keagamaan kehilangan fungsi, ia pun akan terlupakan. Mungkin Tuhan memang merupakan gagasan masa silam. Ilmuwan Amerika, Peter Berger mencatat bahwa kita acap menggunakan standar ganda tatkala membandingkan masa lalu dengan masa kita sekarang ini. Jika masa lalu dianalisis dan direlatifkan, masa sekarang dipandang kebal terhadap proses itu dan kedudukan kita saat ini dimutlakkan.

Setidaknya ada 4 (empat) hal yang menyebabkan sulitnya mencari Tuhan di keramaian. Pertama, Manusia lebih suka terhadap hal yang instan. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa kecenderungan gaya hidup manusia hari ini memang lebih menyukai sesuatu yang instan dan cepat. Sebagai contoh sederhana, hampir semua makanan dan minuman yang merupakan kebutuhan pokok manusia kini sudah dikemas dalam kemasan instan dan bisa dinikmati  kapanpun kita mau. Kecenderungan ini pun mengarah kepada pemikiran kita bahkan ironisnya sudah mulai memasuki ranah keimanan kita kepada Tuhan seperti apa yang dicontohkan oleh beberapa saudara-saudara kita yang mengelola sebuah masjid di Jakarta dan memasang tarif Rp 100.000 jika ingin di doakan untuk keselamatan dunia dan akhirat, dan lagi-lagi pihak masjid menggunakan dalih pembangunan untuk melegalkan hal tersebut. Ini baru satu contoh, dan mungkin banyak hal lain yang belum terungkap di tengah-tengah masyarakat. Ini semua tentu berangkat dari lemahnya keimanan seseorang dan kecendrungan pola kehidupan instan yang dia jalani selama ini sehingga mereka pun berasumsi bahwa mungkin dengan cara tersebut ia dapat dengan mudah menyelesaikan persoalan kehidupannya.

Kedua, Manusia berpikir bahwa bicara agama tempatnya hanya dirumah ibadah. Alasan kedua ini juga terkadang menjadi pemicu sulitnya menemukan Tuhan di tengah keramaian. Ada sekelompok manusia yang menyatakan bahwa bicara Agama itu hanya dirumah ibadah saja dan tidak pantas untuk membawa-bawa agama dalam urusan dunia.  Argumen semacam ini sangat menyesatkan sekali, bukankah sumbangsih agama terhadap kemerdekaan sebuah Negara atau bangsa sangat tidak bisa di nafikkan begitu saja. Ada begitu banyak Negara yang mengalami kemerdekaan karena peran penting sebuah agama. Agama tidak bisa dipisahkan dengan urusan dunia karena keduanya sangat berkaitan erat. Seluruh aktifitas kehidupan manusia semuanya harus berlandaskan agama, jika tidak manusia itu akan beringas dan kita hidup layaknya seperti di hutan rimba, siapa yang kuat dia yang akan menang. Agama mengatur kehidupan manusia sangatlah arif dan bijaksana, tidak hanya untuk kehidupan yang sesaat tetapi untuk kehidupan yang lebih laama dan yang lebih kekal. Tidak ada aturan yang hebat, elegan dan manusiawi, selain aturan yang dibuat oleh agama. Sekalipun dalam ajaran Islam ada aturan yang keras seperti potong tangan bagi seorang pencuri, tapi pernakah kita temukan sebuah literatur Islam bahwa Rasulullah pernah melakukan hukum potong tangan tersebut? Boleh jadi peraturan tersebut memang ada, namun ada hukuman pengganti yang diberikan Rasulullah yang tetap menimbulkan efek jera bagi pelaku pencurian pada waktu itu. 

Ketiga, Manusia berpikir bahwa kesalehan itu bersifat individual. Alasan ketiga ini juga menjadi pemicu sulitnya mencari Tuhan di tengah keramaian. Ketika ditanya, siapa yang ingin menjadi orang baik, tentu semua akan menjawab sama yakni berkeinginan untuk menjadi orang baik. Namun pada kenyataan dikehidupan, kita sering menemukan fakta bahwa sulitnya menemukan orang baik yang mau menularkan kebaikannya kepada orang lain dan yang ada malah kebaikan yang bersifat individu. Saya sering menyampaikan kepada mahasiswa di kampus, bahwa kalau semua orang baik berpikir sama yakni cuek dan tidak peduli terhadap orang yang berbuat jahat/kemungkaran, apalagi hal itu jelas nyata berada ditengah-tengah kehidupan kita maka bisa dipastikan lama-kelamaan orang baik itu akan menjadi tidak baik karena kejahatan yang terorganisir itu akan dengan mudah mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir. Kita tidak bisa saleh secara individual, melainkan harus juga saleh secara sosial karena memang manusia diciptakan untuk hidup berdampingan dan saling tolong menolong. Sejarah perjalanan kemerdekaan bangsa Indonesia ini sesungguhnya juga dibangun atas dasar kesalehan sosial yakni sama-sama memikirkan nasib bangsa kedepan. Maka sudah sepantasnyalah manusia itu tidak hanya saleh secara individu namun juga saleh secara sosial dan tetap menghargai perbedaan keyakinan yang berlaku dalam suatu Negara tersebut.

Ke-Empat, Manusia beranggapan bahwa Tuhan hanyalah sebuah perasaan imajinatif yang terbentuk di dalam dirinya. Alasan terakhir ini cukup mengkhawatirkan kita yang mungkin sudah memiliki keyakinan agama yang kuat dan mendalam dan didapat dari perenungan yang cukup lama. Naluri ke-Tuhanan yang ada dalam diri manusia sesungguhnya ia bukan perasaan imajinatif yang berdiri sendiri dan didapat begitu saja, namun sesungguhnya ada campur tangan Tuhan di dalamnya. Jika ada manusia yang bersikukuh menyatakan hal ini bahwa Tuhan hanyalah sebuah perasaan imajinatif yang terbentuk dalam diri manusia itu sendiri, kalau begitu coba tanyakan saja kepada dirinya kira-kira siapa yang melahirkan dia ke permukaan bumi ini, yang memberikan  nyawa, rezeki, anugrah panca indera dan yang menghamparkan alam semesta nan indah ini? Jangan sampai untuk satu urusan kita mengakui akan keberadaan dan peran Tuhan dalam kehidupan kita, namun pada urusan lain kita mengenyampingkan keberadaan Tuhan dalam kehidupan kita. Ketenangan, kasih sayang dan cinta, itu semua adalah sebagian kecil dari sifat ke-Tuhanan yang diturunkan kedalam diri manusia. Semua itu diturunkan oleh Tuhan adalah untuk memelihara kehidupan manusia di permukaan bumi ini agar menjadi lebih indah dan tenteram sekaligus sebagai batu uji kepada manusia, apakah dia mampu menggunakan sifat itu dalam dirinya. Jika dia berhasil tentu ada ganjaran kebaikan yang di dapat,dan jika tidak berhasil tentu ada ganjaran keburukan yang didapat. Semua ganjaran itu didapat manusia bukan hanya di alam akhirat kelak, tetapi di duniapun akan sudah dapat kita rasakan.

Lewat tulisan ini mari kita merenung kembali tentang naluri ke-Tuhanan yang ada dalam diri kita agar kita mampu menjaga keseimbangan alam di permukaan bumi ini. Sulitnya mencari Tuhan di tengah keramaian seharusnya tidak lagi kita temukan jika semua manusia menyadari bahwa kehadiran dirinya di permukaan bumi ini adalah dalam rangka pengabdian kepada Tuhan dengan tidak meninggalkan kebaikan kita terhadap sesama manusia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar