Rabu, 04 September 2013

Sosiologi Kasus SKK Migas

Sosiologi Kasus SKK Migas
Abdus Sair Dosen Sosiologi FISIP Universitas Wijaya Kusuma, Surabaya
KORAN JAKARTA, 04 September 2013


“Seluruhnya itu merupakan megabisnis yang nilainya mencapai ratusan/ribuan triliun rupiah. Seluruh penegak hukum seperti KPK dan BPK harus bersatu membuka tabir seluruh kekusutan tersebut untuk menyelamatkan aset negara.”


Keterkejutan warga atas penangkapan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK), Rudi Rubiandini, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah lewat. Kini tinggal menunggu langkah KPK menelusuri kasus tersebut.

Ini secara sosiologis menjelaskan bahwa siapa pun bisa terjerat kekuatan daya tarik materi. Maka, makin terkuak bahwa korupsi tidak hanya khas milik birokrat, penegak hukum, dan politisi, tapi juga akademisi.

Jabatan dan godaan materi telah meruntuhkan bangunan kredibilitas seseorang. Posisi nyaman sebagai Kepala SKK Migas dan Komisaris Bank Mandiri masih terbujuk penyuap. Godaan uang lebih kuat daripada idealisme seorang guru besar.

Ini hanya sebagian kecil dari masih penyelewengan-penyelewengan di migas. Apalagi sebelumnya banyak tercium aroma tidak sedap di lembaga yang dulu bernama BP Migas itu.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD, misalnya, pernah mengaku banyak mengetahui sinyalemen tersebut ketika mengadili gugatan judicial review tentang Undang-Undang BP Migas. Namun, sinyalemen itu hilang. Penangkapan Rudi Rubiandini secara langsung menjawab bahwa sinyalemen ada korupsi di lembaga yang mengurusi minyak dan gas itu benar adanya.

Jauh sebelum kejadian penangkapan Rudi, sinyalemen yang sama juga telah disampaikan BPK. Pada tahun 2006, BPK melaporkan hasil auditnya di BP Migas periode 2004-2005 ada kerugian 2,53 miliar dollar AS (26 triliun rupiah). Pada tahun yang sama, BPKP melaporkan potensi kerugian negara terkait cost recovery (CR) periode 2000-2005 sebesar 9,37 triliun. BPK juga melaporkan potensi kerugian negara terkait CR periode 2000-2006 sebesar 18,07 triliun.

Demikian juga tahun 2011, BPK melaporkan proyek fiktif biomediasi Chevron yang disetujui BP Migas dengan potensi kerugian negara sekitar 2,6 triliun. Sementara, tahun 2010-2012, BPK juga telah menyampaikan hasil auditnya di BP Migas, dan menunjukkan ada potensi kerugian negara 230 juta dollar AS atau sekitar 2,3 triliun rupiah. Namun, puluhan triliun hasil temuan BPK itu tak pernah ditindaklanjuti.

Ganti "Casing"

Beberapa organisasi masyarakat (ormas) telah menggugat keberadaan BP Migas dulu itu ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena dianggap inkonstitusional. Gugatan tersebut disetujui sehingga pada tanggal 13 November 2012 MK mengeluarkan keputusan No 36/PUU/2012 membubarkan BP Migas karena bertentangan dengan konstitusi dan berperan menimbulkan praktik korupsi di sektor migas nasional.

Keputusan tersebut sempat memberi harapan masyarakat akan perubahan di tubuh BP Migas. Namun, harapan itu sirna karena pemerintah menindaklanjuti putusan MK dengan tidak mengubah secara menyeluruh. Pemerintah melalui Peraturan Presiden (Perpres) No 95/2012 hanya mengubah BP Migas menjadi SKK Migas yang peran dan fungsinya tetap sama.

Itu sebabnya banyak kalangan sinis terhadap kebijakan tersebut karena pemerintah hanya mengganti casing daripada merombak struktur dan person di dalamnya. Pemerintah melalui presiden cenderung setengah hati dalam memperbaiki sistem pengelolan migas di BP Migas itu yang jelas-jelas rawan korupsi. Padahal, dengan kewenangannya, Presiden dapat merombak sistem pengelolaan BP Migas sesuai dengan amar putusan MK.

Amar putusan MK menyebutkan bahwa "Fungsi dan tugas BP Migas dilaksanakan pemerintah, c.q. kementerian terkait, sampai ada UU baru. Ini membolehkan pemerintah membentuk lembaga baru pengganti BP Migas, namun tidak berarti hanya mengubah nama seperti SKK Migas, yang peran dan fungsinya tetap sama.

Dari sinilah kemudian ada banyak kecurigaan. Keputusan pemerintah itu dinilai ada banyak oknum yang bermain karena SKK Migas telanjur menjadi badan hukum milik negara (BHMN) yang memiliki pendapatan sangat besar. Dalam hal perputaran uang (cashflow) misalnya, SKK Migas mencapai 1 triliun per hari, dan bisa menyetor ke negara lebih dari 300 triliun rupiah per tahun.

Kecurigaan itu juga muncul karena upaya mengganti sistem pengelolaan BP Migas bisa berhadapan dengan mereka yang menikmati rente dari sistem yang bermasalah. Mereka juga berhadapan dengan pihak asing yang telah lama menikmati hasil dari upaya "pemaksaan" terhadap pemberlakukan UU Migas tahun 2001.

Baru

Oleh karena itu, menyikapi kondisi SKK Migas di atas, pemerintah perlu menempuh beberapa langkah seperti secepatnya menyiapkan desain baru tata kelola migas untuk menyongsong kedaulatan ekonomi nasional.

Tata kelola yang baru untuk menyelematkan SKK Migas dari kepentingan para oknum. Apalagi lembaga ini telah menjadi institusi migas yang memiliki perputaran uang sangat besar dan mampu menyumbang 30 persen anggaran penerimaan dan belanja negara (APBN). Tingginya perputaran uang di SKK Migas itu jelas menjadi incaran banyak orang.

Selanjutnya, pemerintah perlu membuat SKK Migas yang terpisah dari pemerintah/negara agar tidak berdampak pada negara bila ada persoalan hukum atau keuangan. Sementara, kontrak karya, konsesi, atau apa pun namanya yang sudah habis masanya harus diberikan kepada negara dan dikelola BUMN.

Pemerintah juga harus segera mendorong seluruh lembaga penegak hukum untuk turun lapangan melacak penyimpangan soal prosedur pemberian izin konsesi dan perhitungan cots recovery sebab seluruhnya itu merupakan megabisnis yang nilainya mencapai ratusan/ribuan triliun rupiah. Seluruh penegak hukum seperti KPK dan BPK harus bersatu membuka tabir seluruh kekusutan tersebut untuk menyelamatkan aset negara.

Apalagi banyak dugaan seluruh bisnis tersebut dilakukan hanya sekelompok kecil pelaku, termasuk dengan melibatkan Kepala SKK Migas. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar