Rabu, 11 September 2013

Siklus Krisis

Siklus Krisis
J Soedradjad Djiwandono  ;    Profesor pada S Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University, Singapura; Guru Besar Emeritus Ekonomi Universitas Indonesia
KOMPAS, 11 September 2013


Pernyataan Ketua Dewan Gubernur Bank Sentral AS (Fed) Bernanke mengenai rencana pengurangan pembelian sekuritas bulan Mei lalu mendorong pelaku pasar menarik kembali investasi dollar AS mereka di negara-negara yang ekonominya berkembang (emerging economies), termasuk Indonesia.
Di pasar modal Indonesia dan sejumlah negara muncul aksi jual sekuritas dalam mata uang masing-masing—baik obligasi (fixed income securities) maupun saham dan aset finansial lain—untuk menarik dollar AS yang sebelumnya diinvestasikan. Di Indonesia, itu berarti menguatnya dollar AS atau melemahnya rupiah.
Depresiasi rupiah dan penurunan cadangan devisa BI untuk menahan penurunan nilai rupiah telah mengguncang kepercayaan pasar. Kalau hal ini berlanjut, cadangan devisa bisa terkuras dan kepercayaan masyarakat bisa hilang seperti tahun 1997/1998.
Bisa diperkirakan
Sebenarnya perkembangan ini bukan sesuatu yang tidak bisa diperkirakan. Dana yang relatif murah tersedia di pasar uang dan modal ataupun kredit bank serta meningkatnya cadangan devisa BI selama ini berkaitan dengan luberan dana quantitative easing (QE) dari negara maju.
Investasi dengan dana QE biasanya berjangka pendek dan mudah berpindah-pindah (footloose). Dana tersebut masuk ke Indonesia dan emerging economies lain dalam bentuk investasi portofolio atau deposito bank karena tertarik suku bunga dan pertumbuhan ekonominya. Menurut Citigroup, sejak 2009, investasi portofolio ke emerging economies di luar China mencapai lebih dari 780 miliar dollar AS.
Dana demikian mudah datang, tetapi juga gampang pergi. Mereka meninggalkan negeri asal karena kondisi ekonomi kurang menguntungkan. Namun, setiap terjadi perbaikan di negara asalnya, dana tersebut akan pulang. Terjadilah aliran balik modal atau capital reversal.
Karena itu, dana yang masuk melalui pasar modal ini berfluktuasi. Dalam ekonomi dengan pasar modal dan valas yang relatif kecil dan sistem nilai tukar mengambang, seperti Indonesia proses ini berdampak pada fluktuasi kurs mata uang.
Gejolak ini terjadi di Hongkong, Singapura, Thailand, Filipina, Indonesia, dan negara-negara lain, termasuk kelompok BRIC (Brasil, Rusia, India, dan China). Namun, Indonesia dan India paling buruk besaran depresiasi dan menurunnya cadangan devisa.
Profesor MIT Simon Johnson, mantan Chief Economist IMF, dalam kolomnya di International Herald Tribune (29/8/2013) menggambarkan depresiasi nilai tukar dan gejolak pasar modal di emerging economies saat ini merupakan bagian dari siklus.
Gejolak pinjaman hipotek bawah standar (subprime mortgage loans meltdown) yang berkembang menjadi krisis keuangan global 2008 berasal dari AS. Krisis ini pada tahun 2009 menjalar ke Eropa menjadi krisis pinjaman pemerintah dan kredit perbankan serta sekarang mengancam emerging economies dengan depresiasi mata uang dan gejolak pasar modal. Padahal, Indonesia tahun 1997/1998 terkena krisis Asia berawal dari gejolak baht Thailand.
Beda kebijakan
AS dan negara-negara maju lain menghadapi krisis keuangan global dengan kebijakan moneter tidak konvensional, seperti suku bunga mendekati 0 persen dan QE. QE dengan membeli sekuritas milik bank-bank dan lembaga keuangan lain untuk menyelamatkan mereka dari kebangkrutan (bail out). Langkah ini bertolak belakang dari cara yang mereka masukkan dalam program IMF ketika membantu negara-negara yang menghadapi krisis Asia.
QE yang pada dasarnya seperti pencetakan uang, selain efektivitasnya masih diperdebatkan, juga mengandung implikasi kepada emerging economies yang kurang diperhatikan negara-negara maju. Karena uang selalu mengalir ke tempat yang menjanjikan hasil baik (fungible), sebagian dana QE mengalir ke emerging economies.
Masuknya dana melalui beragam cara tadi mendorong kegiatan ekonomi, baik konsumsi maupun investasi yang mendukung pertumbuhan ekonomi negara-negara penerima. Aliran dana ini juga digunakan untuk membiayai defisit neraca perdagangan dan neraca berjalan. Menumpuknya cadangan devisa negara-negara ini, termasuk Indonesia, sebagian juga berasal dari aliran dana tersebut.
Proses ini menolong pengelolaan ekonomi nasional negara penerima dana, termasuk menghadapi masalah struktural. Konsumsi (dan investasi) dalam negeri yang meningkat terus juga meningkatkan impor, selain mendorong laju pertumbuhan ekonomi. Hal ini sebagian bersifat struktural, seperti Indonesia yang belum lama berubah dari eksportir menjadi importir minyak secara neto. Dalam korporasi dan rumah tangga, kredit murah membuat mereka hidup dengan pembiayaan dari utang atau leveraging.
Mungkin tidak terasa, proses ini dapat menimbulkan kondisi dengan korporasi, rumah tangga, atau negara berani mengambil risiko yang melampaui batas kemampuan bayar. Ini dalam ekonomi dikenal sebagai moral hazard.
Proses itu mudah berkembang jadi pola hidup lebih besar pasak daripada tiang. Pada waktu aliran dana murah dari AS dan negara-negara maju lain berkurang, berhenti, atau berubah menjadi aliran balik modal, apalagi mendadak, gejolak dapat timbul. Kredit dan dana murah hilang, padahal utang lebih membengkak karena harus dikembalikan dalam dollar AS.
Apakah mimpi buruk tahun 1997/1998 akan berulang? Semestinya tidak. Kondisi bank-bank dan industri finansial Indonesia dari sejumlah aspek, apakah menyangkut kecukupan modal, exposure kepada pihak luar negeri, atau kualitas aset pada dasarnya bagus. Kinerja BI dan otoritas pengawasan industri keuangan atau tingkat kepatuhan bagus. Ini juga ditopang cadangan devisa yang aman dan kondisi makroekonomi nasional cukup kuat.
Jangan kendur
Namun, langkah otoritas moneter menjaga kepercayaan terhadap kestabilan rupiah dan sistem keuangan tidak boleh kendur. Langkah BI meningkatkan BI Rate, mengusahakan pertahanan lapis kedua (second line of defence), dan segala langkah untuk menjaga kepercayaan terhadap rupiah dan pengelolaan ekonomi nasional tidak boleh ditawar. Seperti halnya kesehatan, kepercayaan pasar terhadap rupiah kita rasakan arti pentingnya pada waktu dia menghilang. Mereka yang sukar menerima upaya otoritas moneter menjaga kepercayaan ini karena melihat implikasi jangka pendek yang memberatkan. Mereka perlu menyadari pahitnya dampak manakala kepercayaan itu tak ada lagi.
Akhirnya, dalam alam demokrasi dan transparansi keutuhan dan kesatuan semua pihak yang bertanggung jawab harus terjaga, selain profesionalisme dan integritas yang harus mantap. Pernyataan pemegang otoritas yang hanya menunjukkan kekisruhan pengertian mengenai lingkup tugas dan tanggung jawab masing-masing instansi, apalagi sama-sama cuci tangan atau saling menyalahkan hanya memicu hilangnya kepercayaan pasar dan masyarakat terhadap pengelolaan ekonomi nasional yang sangat vital dalam suasana ketidakpastian ini. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar