|
Pernyataan Ketua Dewan Gubernur Bank
Sentral AS (Fed) Bernanke mengenai rencana pengurangan pembelian sekuritas
bulan Mei lalu mendorong pelaku pasar menarik kembali investasi dollar AS
mereka di negara-negara yang ekonominya berkembang (emerging economies), termasuk Indonesia.
Di pasar modal Indonesia dan
sejumlah negara muncul aksi jual sekuritas dalam mata uang masing-masing—baik
obligasi (fixed income securities)
maupun saham dan aset finansial lain—untuk menarik dollar AS yang sebelumnya
diinvestasikan. Di Indonesia, itu berarti menguatnya dollar AS atau melemahnya
rupiah.
Depresiasi rupiah dan penurunan
cadangan devisa BI untuk menahan penurunan nilai rupiah telah mengguncang
kepercayaan pasar. Kalau hal ini berlanjut, cadangan devisa bisa terkuras dan
kepercayaan masyarakat bisa hilang seperti tahun 1997/1998.
Bisa diperkirakan
Sebenarnya perkembangan ini
bukan sesuatu yang tidak bisa diperkirakan. Dana yang relatif murah tersedia di
pasar uang dan modal ataupun kredit bank serta meningkatnya cadangan devisa BI
selama ini berkaitan dengan luberan dana quantitative easing (QE) dari negara maju.
Investasi dengan dana QE
biasanya berjangka pendek dan mudah berpindah-pindah (footloose). Dana tersebut masuk ke Indonesia dan emerging economies lain dalam bentuk investasi
portofolio atau deposito bank karena tertarik suku bunga dan pertumbuhan
ekonominya. Menurut Citigroup, sejak 2009, investasi portofolio ke emerging economies di luar China
mencapai lebih dari 780 miliar dollar AS.
Dana demikian mudah datang,
tetapi juga gampang pergi. Mereka meninggalkan negeri asal karena kondisi
ekonomi kurang menguntungkan. Namun, setiap terjadi perbaikan di negara
asalnya, dana tersebut akan pulang. Terjadilah aliran balik modal atau capital reversal.
Karena itu, dana yang masuk
melalui pasar modal ini berfluktuasi. Dalam ekonomi dengan pasar modal dan
valas yang relatif kecil dan sistem nilai tukar mengambang, seperti Indonesia
proses ini berdampak pada fluktuasi kurs mata uang.
Gejolak ini terjadi di Hongkong,
Singapura, Thailand, Filipina, Indonesia, dan negara-negara lain, termasuk
kelompok BRIC (Brasil, Rusia, India, dan China). Namun, Indonesia dan India
paling buruk besaran depresiasi dan menurunnya cadangan devisa.
Profesor MIT Simon Johnson,
mantan Chief Economist IMF, dalam kolomnya di International Herald Tribune (29/8/2013) menggambarkan depresiasi
nilai tukar dan gejolak pasar modal di emerging
economies saat ini merupakan bagian dari siklus.
Gejolak pinjaman hipotek bawah
standar (subprime mortgage loans meltdown)
yang berkembang menjadi krisis keuangan global 2008 berasal dari AS. Krisis ini
pada tahun 2009 menjalar ke Eropa menjadi krisis pinjaman pemerintah dan kredit
perbankan serta sekarang mengancam emerging
economies dengan depresiasi mata uang dan gejolak pasar modal.
Padahal, Indonesia tahun 1997/1998 terkena krisis Asia berawal dari gejolak
baht Thailand.
Beda kebijakan
AS dan negara-negara maju lain
menghadapi krisis keuangan global dengan kebijakan moneter tidak konvensional,
seperti suku bunga mendekati 0 persen dan QE. QE dengan membeli sekuritas milik
bank-bank dan lembaga keuangan lain untuk menyelamatkan mereka dari
kebangkrutan (bail out). Langkah ini
bertolak belakang dari cara yang mereka masukkan dalam program IMF ketika
membantu negara-negara yang menghadapi krisis Asia.
QE yang pada dasarnya seperti
pencetakan uang, selain efektivitasnya masih diperdebatkan, juga mengandung
implikasi kepada emerging economies yang kurang diperhatikan
negara-negara maju. Karena uang selalu mengalir ke tempat yang menjanjikan
hasil baik (fungible), sebagian dana
QE mengalir ke emerging economies.
Masuknya dana melalui beragam
cara tadi mendorong kegiatan ekonomi, baik konsumsi maupun investasi yang
mendukung pertumbuhan ekonomi negara-negara penerima. Aliran dana ini juga
digunakan untuk membiayai defisit neraca perdagangan dan neraca berjalan.
Menumpuknya cadangan devisa negara-negara ini, termasuk Indonesia, sebagian
juga berasal dari aliran dana tersebut.
Proses ini menolong pengelolaan
ekonomi nasional negara penerima dana, termasuk menghadapi masalah struktural.
Konsumsi (dan investasi) dalam negeri yang meningkat terus juga meningkatkan
impor, selain mendorong laju pertumbuhan ekonomi. Hal ini sebagian bersifat
struktural, seperti Indonesia yang belum lama berubah dari eksportir menjadi
importir minyak secara neto. Dalam korporasi dan rumah tangga, kredit murah
membuat mereka hidup dengan pembiayaan dari utang atau leveraging.
Mungkin tidak terasa, proses ini
dapat menimbulkan kondisi dengan korporasi, rumah tangga, atau negara berani
mengambil risiko yang melampaui batas kemampuan bayar. Ini dalam ekonomi
dikenal sebagai moral hazard.
Proses itu mudah berkembang jadi
pola hidup lebih besar pasak daripada tiang. Pada waktu aliran dana murah dari
AS dan negara-negara maju lain berkurang, berhenti, atau berubah menjadi aliran
balik modal, apalagi mendadak, gejolak dapat timbul. Kredit dan dana murah
hilang, padahal utang lebih membengkak karena harus dikembalikan dalam dollar
AS.
Apakah mimpi buruk tahun
1997/1998 akan berulang? Semestinya tidak. Kondisi bank-bank dan industri
finansial Indonesia dari sejumlah aspek, apakah menyangkut kecukupan modal, exposure kepada
pihak luar negeri, atau kualitas aset pada dasarnya bagus. Kinerja BI dan
otoritas pengawasan industri keuangan atau tingkat kepatuhan bagus. Ini juga
ditopang cadangan devisa yang aman dan kondisi makroekonomi nasional cukup
kuat.
Jangan kendur
Namun, langkah otoritas moneter
menjaga kepercayaan terhadap kestabilan rupiah dan sistem keuangan tidak boleh
kendur. Langkah BI meningkatkan BI Rate,
mengusahakan pertahanan lapis kedua (second
line of defence), dan segala langkah untuk menjaga kepercayaan terhadap
rupiah dan pengelolaan ekonomi nasional tidak boleh ditawar. Seperti halnya
kesehatan, kepercayaan pasar terhadap rupiah kita rasakan arti pentingnya pada
waktu dia menghilang. Mereka yang sukar menerima upaya otoritas moneter menjaga
kepercayaan ini karena melihat implikasi jangka pendek yang memberatkan. Mereka
perlu menyadari pahitnya dampak manakala kepercayaan itu tak ada lagi.
Akhirnya, dalam alam demokrasi
dan transparansi keutuhan dan kesatuan semua pihak yang bertanggung jawab harus
terjaga, selain profesionalisme dan integritas yang harus mantap. Pernyataan
pemegang otoritas yang hanya menunjukkan kekisruhan pengertian mengenai lingkup
tugas dan tanggung jawab masing-masing instansi, apalagi sama-sama cuci tangan
atau saling menyalahkan hanya memicu hilangnya kepercayaan pasar dan masyarakat
terhadap pengelolaan ekonomi nasional yang sangat vital dalam suasana
ketidakpastian ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar