Sabtu, 07 September 2013

Senyum Sang Irjen Menyambut Vonis Pengadilan Tipikor

Senyum Sang Irjen
Menyambut Vonis Pengadilan Tipikor
 W Riawan Tjandra  ;   Doktor Hukum Administrasi Negara UGM,
Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
MEDIA INDONESIA, 07 September 2013


SUNGGUH kontras perbedaan sikap Irjen Djoko Susilo saat pembacaan nota pembelaan (pleidoi) dengan saat menyambut pembacaan vonis pengadilan tipikor. Saat pembacaan pembelaan (pleidoi), sang Irjen membaca sambil berlinangan air mata ketika menanggapi tuntutan JPU KPK­RI, di antaranya pidana 18 tahun penjara ditambah denda sebesar Rp1 miliar dan membayar uang pengganti sebesar Rp 32 miliar subsider 2 bulan penjara serta pencabutan hak politik.

Setelah mendengar vonis pengadilan tipikor, yang hanya menjatuhkan pidana selama 10 tahun penjara dan denda sebesar Rp 500 juta, sang Irjen terlihat tersenyum simpul. Kandas sudah upaya KPK untuk mendorong adanya putusan monumental terhadap kasus tipikor dalam kasus korupsi pengadaan alat simulator SIM yang digabungkan dengan kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Jika mencermati dakwaan dan tuntutan yang dilakukan berdasarkan pembuktian dalam sidang pengadilan kasus Irjen Djoko Susilo, KPK telah membuat terobosan menarik dengan menggabungkan tuntutan terhadap kasus tipikor dengan TPPU yang memang telah dibuktikan secara telak oleh JPU KPK-RI dalam sidang pengadilan tersebut. Seharusnya, dengan penggabungan dua jenis klasifikasi tindak pidana tersebut, vonis yang dijatuhkan atas dasar pembuktian keduanya juga merupakan hasil penggabungan dari ancaman hukuman terhadap kedua jenis tindak pidana yang dilakukan sang Irjen itu. 
Namun, ternyata majelis hakim tipikor yang diketuai Suhartoyo memilih menjatuhkan putusan minimalis atas terbuktinya dakwaan tipikor kasus alat simulator SIM dan TPPU yang telah merugikan negara senilai Rp196 miliar.

Pemberantasan korupsi yang kini telah menjadi agenda semesta ternyata belum mendapat dukungan yang konsisten justru dari lingkungan yudikatif sendiri, khususnya dari pengadilan tipikor dalam kasus tersebut. Pemberantasan tindak pidana korupsi, sebagai sebuah kejahatan yang rumit pembuktiannya, umumnya melibatkan penyelenggara negara yang menyalahgunakan wewenangnya (misbruik van het recht) di negeri ini secara perlahan mengalami proses antiklimaks dan pendangkalan.

Selama ini, korupsi yang dilakukan di `republik kartel' ini selalu melibatkan persekongkolan elite politik, birokrat, dan pengusaha/ swasta. Korupsi di negeri ini, jika meminjam terminologi pemikir Prancis, Jean Bau drillard, telah mencapai tingkatnya yang sempurna yang dia sebut sebagai suatu `kriminalitas sempurna' (the perfect crime).

Dunia hukum di republik kartel ini telah lama dijungkirbalikkan oleh kuasa dan makna kebiasan teks-teks hukum. Hukum adalah produk kekuasaan. Hukum adalah teks-teks yang sengaja dibiaskan penulis teks (baca: undang-undang), yakni melalui konformitas legislatif dan eksekutif sebagaimana telah diberikan wewenang oleh undang-undang kepada DPR dan presiden untuk bargaining position dalam mencapai kepentingan.

Kepentingan yang dituju adalah kepentingan golongan, kepentingan partai, kepentingan ekonomi, dan kepentingan kekuasaan. Di saat teks hukum itu diimplementasikan kuasa yudikatif ternyata juga tak lepas dari berbagai upaya kompromi dan pemakluman yang menjadikan hukum tak lebih dari arena citra dan kontestasi kuasa antara aktor-aktor politik yang bersindikasi dan kartel politik dan ekonomi. Hukum tak ubahnya menjelma belantara permainan kuasa dan modal kapital.

Vonis rendah para pelaku koruptor yang tak ubahnya penjahat yang merampas hak ekonomi sosial rakyat melalui pengurasan modal kapital negara tersebut telah mengece wakan banyak pihak. Putusan PN Tipikor Jakarta dalam kasus Irjen Djoko Susilo tersebut gagal menjadi momentum untuk menegaskan sikap negara terhadap praktik-praktik kartel korupsi politik dan ekonomi yang selama ini telah menjadi kanker stadium empat yang menjadikan negeri ini mengarah pada negara gagal (failed state).

Korupsi yang merampas hak-hak dasar rakyat akibat pengurasan modal kapital negara masih disikapi secara permisif dan mendapat pemakluman pemakluman. Di sisi lain, liberalisasi politik yang menjadikan politik di negeri ini menjadi negara politik biaya tinggi (high cost politics state) tanpa disertai persemaian prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas politik melalui praktik-praktik politik yang baik (best practices politics) telah menjadikan negeri ini menghasilkan banyak kleptokrat. Yaitu yang menjadikan uang rakyat di APBN/D sebagai pundi-pundi untuk memuaskan syahwat ekonomi-politik para pejabat korup dan ambisius.

Bandingkan dengan China dalam menyikapi kasus-kasus korupsi. Korupsi di China telah lama ditahbiskan sebagai kejahatan besar. Hal itu disebabkan korupsi bisa menghancurkan dan meluluhlantakkan sendi-sendi kehidupan masyarakat dan negara. Daya rusak korupsi terhitung dahsyat. 

Bukan hanya menghancurkan moral, melainkan dianggap mampu membunuh solidaritas hingga merusak infrastruktur. Bahkan bisa pula membunuh banyak orang atau setidak-tidaknya memarginalkan warga tertentu, merusak tatanan, hingga memperkukuh perbedaan kelas. Oleh karena itu, di China para koruptor kebanyakan dihukum mati atas alasan tersebut.

Di China, seorang terdakwa korupsi dipastikan akan menghadapi vonis hukuman mati. Bukti ketegasan sikap yudikatif di China pernah terlihat ketika dua mantan wakil wali kota di China dieksekusi mati karena terbukti menerima uang suap jutaan dolar AS. Keduanya adalah Xu Maiyong dan Jiang Renjie. Xu, 52, adalah mantan Wakil Wali Kota Hangzhou yang dijatuhi hukuman mati pada Mei lalu. Ia terbukti menerima uang suap senilai 198 juta yuan (sekitar Rp261 miliar) dan melakukan penggelapan serta penyalahgunaan kekuasaan. Xu ikut campur dalam kontrak-kontrak proyek hingga pengurangan pajak.

Sementara itu, Jiang, 62, adalah mantan Wakil Wali Kota Suzhou. Ia dijatuhi hukuman mati pada 2008 karena menerima suap lebih dari 108 juta yuan (sekitar Rp142,8 miliar). Selain Xu dan Jiang itu masih banyak koruptor yang dieksekusi mati. Jumlahnya cukup mengejutkan. Kalau memakai perkiraan Amnesty International, setahun bisa mencapai 3.900 orang dijatuhi hukuman mati dan sebagian besar adalah koruptor. Beberapa ahli hukum China punya data lain, jumlah orang yang dihukum mati mendekati 8.000 orang dalam setahun.


Nah, menimbang data-data hukuman tegas terhadap para pelaku korupsi di `Negeri Tirai Bambu' tersebut, silakan jika dibandingkan dengan rata-rata hukuman yang dijatuhkan terhadap para pelaku tipikor di Republik ini. Termasuk dalam vonis terhadap sang Irjen tersebut. Vonis terhadap para pelaku tindak pidana korupsi di negeri ini masih dapat membuat para pelakunya tersenyum, tampil gagah/anggun dan bergaya di depan sorotan kamera awak media! ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar