|
SUNGGUH
kontras perbedaan sikap Irjen Djoko Susilo saat pembacaan nota pembelaan (pleidoi) dengan saat menyambut pembacaan
vonis pengadilan tipikor. Saat pembacaan pembelaan (pleidoi), sang Irjen
membaca sambil berlinangan air mata ketika menanggapi tuntutan JPU KPKRI, di
antaranya pidana 18 tahun penjara ditambah denda sebesar Rp1 miliar dan
membayar uang pengganti sebesar Rp 32 miliar subsider 2 bulan penjara serta
pencabutan hak politik.
Setelah mendengar vonis pengadilan
tipikor, yang hanya menjatuhkan pidana selama 10 tahun penjara dan denda
sebesar Rp 500 juta, sang Irjen terlihat tersenyum simpul. Kandas sudah upaya
KPK untuk mendorong adanya putusan monumental terhadap kasus tipikor dalam
kasus korupsi pengadaan alat simulator SIM yang digabungkan dengan kasus tindak
pidana pencucian uang (TPPU).
Jika mencermati dakwaan dan
tuntutan yang dilakukan berdasarkan pembuktian dalam sidang pengadilan kasus
Irjen Djoko Susilo, KPK telah membuat terobosan menarik dengan menggabungkan
tuntutan terhadap kasus tipikor dengan TPPU yang memang telah dibuktikan secara
telak oleh JPU KPK-RI dalam sidang pengadilan tersebut. Seharusnya, dengan
penggabungan dua jenis klasifikasi tindak pidana tersebut, vonis yang
dijatuhkan atas dasar pembuktian keduanya juga merupakan hasil penggabungan
dari ancaman hukuman terhadap kedua jenis tindak pidana yang dilakukan sang
Irjen itu.
Namun, ternyata majelis hakim tipikor yang diketuai Suhartoyo
memilih menjatuhkan putusan minimalis atas terbuktinya dakwaan tipikor kasus
alat simulator SIM dan TPPU yang telah merugikan negara senilai Rp196 miliar.
Pemberantasan korupsi yang kini
telah menjadi agenda semesta ternyata belum mendapat dukungan yang konsisten
justru dari lingkungan yudikatif sendiri, khususnya dari pengadilan tipikor
dalam kasus tersebut. Pemberantasan tindak pidana korupsi, sebagai sebuah kejahatan
yang rumit pembuktiannya, umumnya melibatkan penyelenggara negara yang menyalahgunakan
wewenangnya (misbruik van het recht)
di negeri ini secara perlahan mengalami proses antiklimaks dan pendangkalan.
Selama ini, korupsi yang dilakukan
di `republik kartel' ini selalu
melibatkan persekongkolan elite politik, birokrat, dan pengusaha/ swasta.
Korupsi di negeri ini, jika meminjam terminologi pemikir Prancis, Jean Bau
drillard, telah mencapai tingkatnya yang sempurna yang dia sebut sebagai suatu
`kriminalitas sempurna' (the perfect
crime).
Dunia hukum di republik kartel ini
telah lama dijungkirbalikkan oleh kuasa dan makna kebiasan teks-teks hukum.
Hukum adalah produk kekuasaan. Hukum adalah teks-teks yang sengaja dibiaskan
penulis teks (baca: undang-undang), yakni melalui konformitas legislatif dan
eksekutif sebagaimana telah diberikan wewenang oleh undang-undang kepada DPR
dan presiden untuk bargaining position dalam
mencapai kepentingan.
Kepentingan yang dituju adalah kepentingan
golongan, kepentingan partai, kepentingan ekonomi, dan kepentingan kekuasaan.
Di saat teks hukum itu diimplementasikan kuasa yudikatif ternyata juga tak
lepas dari berbagai upaya kompromi dan pemakluman yang menjadikan hukum tak
lebih dari arena citra dan kontestasi kuasa antara aktor-aktor politik yang
bersindikasi dan kartel politik dan ekonomi. Hukum tak ubahnya menjelma
belantara permainan kuasa dan modal kapital.
Vonis rendah para pelaku koruptor
yang tak ubahnya penjahat yang merampas hak ekonomi sosial rakyat melalui
pengurasan modal kapital negara tersebut telah mengece wakan banyak pihak. Putusan
PN Tipikor Jakarta dalam kasus Irjen Djoko Susilo tersebut gagal menjadi
momentum untuk menegaskan sikap negara terhadap praktik-praktik kartel korupsi
politik dan ekonomi yang selama ini telah menjadi kanker stadium empat yang
menjadikan negeri ini mengarah pada negara gagal (failed state).
Korupsi yang merampas hak-hak
dasar rakyat akibat pengurasan modal kapital negara masih disikapi secara
permisif dan mendapat pemakluman pemakluman. Di sisi lain, liberalisasi politik
yang menjadikan politik di negeri ini menjadi negara politik biaya tinggi (high cost politics state) tanpa disertai
persemaian prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas politik melalui
praktik-praktik politik yang baik (best
practices politics) telah menjadikan negeri ini menghasilkan banyak
kleptokrat. Yaitu yang menjadikan uang rakyat di APBN/D sebagai pundi-pundi
untuk memuaskan syahwat ekonomi-politik para pejabat korup dan ambisius.
Bandingkan dengan China dalam
menyikapi kasus-kasus korupsi. Korupsi di China telah lama ditahbiskan sebagai
kejahatan besar. Hal itu disebabkan korupsi bisa menghancurkan dan
meluluhlantakkan sendi-sendi kehidupan masyarakat dan negara. Daya rusak
korupsi terhitung dahsyat.
Bukan hanya menghancurkan moral, melainkan dianggap
mampu membunuh solidaritas hingga merusak infrastruktur. Bahkan bisa pula
membunuh banyak orang atau setidak-tidaknya memarginalkan warga tertentu,
merusak tatanan, hingga memperkukuh perbedaan kelas. Oleh karena itu, di China
para koruptor kebanyakan dihukum mati atas alasan tersebut.
Di China, seorang terdakwa korupsi
dipastikan akan menghadapi vonis hukuman mati. Bukti ketegasan sikap yudikatif
di China pernah terlihat ketika dua mantan wakil wali kota di China dieksekusi
mati karena terbukti menerima uang suap jutaan dolar AS. Keduanya adalah Xu
Maiyong dan Jiang Renjie. Xu, 52, adalah mantan Wakil Wali Kota Hangzhou yang
dijatuhi hukuman mati pada Mei lalu. Ia terbukti menerima uang suap senilai 198
juta yuan (sekitar Rp261 miliar) dan melakukan penggelapan serta penyalahgunaan
kekuasaan. Xu ikut campur dalam kontrak-kontrak proyek hingga pengurangan
pajak.
Sementara itu, Jiang, 62, adalah
mantan Wakil Wali Kota Suzhou. Ia dijatuhi hukuman mati pada 2008 karena
menerima suap lebih dari 108 juta yuan (sekitar Rp142,8 miliar). Selain Xu dan
Jiang itu masih banyak koruptor yang dieksekusi mati. Jumlahnya cukup
mengejutkan. Kalau memakai perkiraan Amnesty
International, setahun bisa mencapai 3.900 orang dijatuhi hukuman mati dan
sebagian besar adalah koruptor. Beberapa ahli hukum China punya data lain,
jumlah orang yang dihukum mati mendekati 8.000 orang dalam setahun.
Nah, menimbang data-data hukuman
tegas terhadap para pelaku korupsi di `Negeri
Tirai Bambu' tersebut, silakan jika dibandingkan dengan rata-rata hukuman
yang dijatuhkan terhadap para pelaku tipikor di Republik ini. Termasuk dalam
vonis terhadap sang Irjen tersebut. Vonis terhadap para pelaku tindak pidana
korupsi di negeri ini masih dapat membuat para pelakunya tersenyum, tampil
gagah/anggun dan bergaya di depan sorotan kamera awak media! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar