|
Uang memang
punya pengaruh besar dalam sejarah peradaban manusia.
Tiada
orang yang tak suka
Pada
yang bernama rupiah
Semua
orang mencarinya
Di
mana rupiah berada
Walaupun
harus nyawa sebagai taruhannya
Banyak
orang yang rela cuma karena rupiah
Memang
sungguh luar biasa
Itu
pengaruhnya rupiah
Sering
karena rupiah
Jadi
pertumpahan darah
Sering
karena rupiah
Saudara
jadi pecah
Itulah
sebagian lirik lagu berjudul “Rupiah” karya Bang Haji Rhoma Irama
yang populer pada akhir dasawarsa 1970-an. Lagu itu diketengahkan di sini bukan
karena lagu-lagu Rhoma Irama memang sudah melegenda, tapi karena
lagu “Rupiah” sangat relevan dengan mata uang kita yang terus melemah
dan menembus level psikologis, yakni terkoreksi melewati angka Rp 10.000,
bahkan Rp 11.000 per dolar AS.
Nilai
tukar rupiah terdepresiasi atau melemah ke posisi Rp 10.010 sudah sejak Selasa
(16/7/2013). Dengan menembus level psikologis Rp 10.000 per dolar AS seperti
hari-hari ini, jelas ada dampak yang harus kita hadapi.
Maklum
uang memang punya pengaruh besar dalam sejarah peradaban manusia, sebagaimana
diungkapkan Jack Weatherford, seorang profesor antropologi di Macalester
College yang pernah menulis buku The
History of Money (Crown Publishers,
New York, 1997).
Ketika rupiah
menembus Rp 10.000 pada pertengahan Juli lalu, ada beberapa faktor yang jadi
pemicu. Konon melambatnya pertumbuhan ekonomi China jadi fakor utama.
Memang
melambatnya ekonomi China bukan hanya memengaruhi rupiah, tapi juga mata
uang negara-negara Asia lainnya. Jika rupiah ikut terpengaruh
pelambatan itu jelas cukup logis mengingat dari sisi nilai perdagangan, China
merupakan mitra dagang terbesar untuk negeri kita.
Sebenarnya
sudah beberapa kali dalam sejarah, rupiah menembus level psikologis Rp
10.000 per dolar AS. Pada Oktober 2008, pergerakan rupiah begitu
mencemaskan.
Rupiah
terus terkoreksi menembus Rp 11.000 per dolar AS, sebagaimana terjadi pada 20
Agustus 2013, seiring krisis finansial global. Merosotnya nilai rupiah
ketika itu (2008) sungguh merupakan anomali. Pasalnya, krisis keuangan
global bermula di AS, tetapi justru mata uang AS (dolar AS)
menguat, sedangkan mata uang kita justru merosot.
Nah, anomali
dalam bentuk lain kini muncul lagi. Pasalnya, pascaharga bahan bakar
minyak subsidi dinaikkan pemerintah per 22 Juni 2013, menyusul kenaikan
BI rate menjadi 6 persen dari 5,75 persen, rupiah bukan ikut naik.
Rupiah
justru melorot menembus batas psikologis Rp 10.000 per dolar AS. Ada yang
berspekulasi rupiah tidak naik atau menguat karena kenaikan BBM
untuk Premium, misalnya, hanya dinaikkan Rp 6.500. Jika BBM
dinaikkan di kisaran Rp 9.000 per liter mungkin rupiah juga akan menguat.
Ada
yang memprediksi pasca-Lebaran, rupiah akan mencapai titik “ekuilibrium” pada
posisi Rp 9.500-10.000 per dolar AS. Tapi, nyatanya kondisi
rupiah kian mencemaskan, sebagaimana terjadi sekarang. Konon, yang menjadi
pemicu utama merosotnya rupiah kali ini adalah The Federal Reserves (The Fed
atau Bank Sentral AS), yang mengembuskan angin panas bagi negara-negara
berkembang.
Pasalnya,
negara-negara berkembang tengah dibayang-bayangi kekhawatiran arus modal keluar
akibat rencana penghentian program pelonggaran kuantitatif (QE) oleh The Fed. Di bawah program itu, The Fed menyuntikkan
dana US$ 85 miliar per bulan untuk membeli obligasi.
Bank
Indonesia pun berupaya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dengan
melakukan intervensi di pasar valuta asing dan pasar Surat Berharga Negara SBN.
BI sudah menggelontorkan Rp 2,6 triliun lebih untuk menjaga agar rupiah tidak
semakin jauh terdepresiasi.
Namun, kita
perlu menghibur diri. Pasalnya, bukan hanya rupiah yang terpukul oleh
beragam faktor seperti disebutkan di atas, tapi juga berbagai mata uang di
Asia, yang kebetulan terdengar mirip rupiah, seperti rupee
Indiajuga merosot tajam.
Menengok
Sejarah
Menurut
sejarahnya, rupiah memang ada hubungan dengan rupee, mata uang
India; juga dengan mata uang terdengar mirip, seperti Maldivian rufiyaa
(Maladewa), Mauritian rupee (Mauritius), Nepalese rupee (Nepal), Pakistani
rupee (Pakistan) atau Sri Lankan rupee (Sri Lanka). Maklum Indonesia sudah
lama berhubungan dengan India (simak Lautan India yang juga disebut Lautan
Indonesia), untuk mata uang pun hampir sama.
Sebagaimana
rupee, sejarah perjalanan rupiah, khususnya bila dibandingkan dengan mata uang
asing seperti dolar Amerika Serikat (AS), juga sama-sama berbakat terkoreksi
atau terdepresiasi sehingga nilainya dari masa ke masa semakin merosot.
Simak
saja, berdasarkan catatan sejarah, pada 6 Maret 1946, Rp 1 sebenarnya masih
dihargai 3 sen uang NICA yang saat itu mulai dinyatakan sebagai
pengganti uang Jepang di daerah yang diduduki Sekutu.
Namun, pada
7 Maret 1946, pergolakan dimulai dan terjadi devaluasi rupiah sebesar 29,12
persen. Jika sebelum 7 Maret 1946, US$ 1 sama dengan Rp 1,88 maka
mulai sesudah 7 Maret 1946, US$ 1 sama dengan Rp 2,6525.
Yang
menarik, ketika rupiah terdevaluasi atau merosot begitu tajam dibanding
mata uang asing, seperti dolar AS, di negeri ini pasti terjadi pergantian
kepemimpinan.
Sepanjang
tahun 1965, misalnya, rupiah pernah anjlok begitu tajam hingga Rp 35.000
per dolar AS. Pada 13 Desember 1965
kebijakan “sanering” sehingga Rp 1.000 jadi Rp 1. Beberapa calon haji
jadi stres berat akibat sanering itu. Kekuasaan Bung Karno pun tumbang,
diganti Soeharto.
Menjelang
lengsernya Soeharto pada 21 Mei 1998, rupiah yang pada Oktober 1997 masih
Rp 2.300 per dolar AS, terjun bebas jadi Rp 17.200 per dolar AS pada April
1998. Jadi, sebenarnya yang mampu menjatuhkanpresiden kita, setidaknya
Bung Karno dan Pak Harto, ternyata rupiah.
Tidak
tahu pasti, apakah kali ini rupiah akan memakan korban seorang presiden lagi.
Kita masih harus menunggu. Namun, sesungguhnya bukan hanya presiden yang
jatuh gara-gara rupiah. Dalam kehidupan nyata, jutaan kaum lemah pun sudah
jatuh terkapar karena melambungnya harga kebutuhan pokok.
Pengusaha
tahu dan tempe sudah menjerit karena ternyata di tengah merosotnya rupiah ada
pula kartel kedelai yang gembira mengeruk untung di tengah buntungnya pengusaha
tahu dan tempe. Rupiah juga sudah menjatuhkan banyak orang seperti para
koruptor atau pelaku kriminal yang kini mendekam di LP.
Seorang
guru besar berinisial RR pun rela mengkhianati nuraninya, menyusul tiga
guru besar lainnya yang dipenjara karena korupsi. Dalam hajatan
apa pun, termasuk politik, terlebih menjelang 2014, peran rupiah kian
merajalela. Demokrasi kita masih sangat kental diwarnai politik
uang. Birokrasi kita masih memberi ruang besar bagi korupsi.
Namun,
di atas semuanya, kita berharap rupiah akan mengalami stabilitas sehingga tidak
sampai menjatuhkan banyak orang lagi atau menimbulkan galau di seantero negeri.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar