Sabtu, 14 September 2013

Sejarah Melemahnya Rupiah

Sejarah Melemahnya Rupiah
Endang Suryadinata  ;   Alumnus Erasmus Universiteit Rotterdam
SINAR HARAPAN, 13 September 2013
  

Uang memang punya pengaruh besar dalam sejarah peradaban manusia.

Tiada orang yang tak suka
Pada yang bernama rupiah
Semua orang mencarinya
Di mana rupiah berada
Walaupun harus nyawa sebagai taruhannya
Banyak orang yang rela cuma karena rupiah

Memang sungguh luar biasa
Itu pengaruhnya rupiah
Sering karena rupiah
Jadi pertumpahan darah
Sering karena rupiah
Saudara jadi pecah

Itulah sebagian lirik lagu berjudul “Rupiah” karya Bang Haji Rhoma Irama yang populer pada akhir dasawarsa 1970-an. Lagu itu diketengahkan di sini bukan karena lagu-lagu Rhoma Irama memang sudah melegenda, tapi karena lagu “Rupiah” sangat relevan dengan mata uang kita yang terus melemah dan menembus level psikologis, yakni terkoreksi melewati angka Rp 10.000, bahkan Rp 11.000 per dolar AS.

Nilai tukar rupiah terdepresiasi atau melemah ke posisi Rp 10.010 sudah sejak Selasa (16/7/2013). Dengan menembus level psikologis Rp 10.000 per dolar AS seperti hari-hari ini, jelas ada dampak yang harus kita hadapi.

Maklum uang memang punya pengaruh besar dalam sejarah peradaban manusia, sebagaimana diungkapkan Jack Weatherford, seorang profesor antropologi di Macalester College yang pernah menulis buku The History of Money (Crown Publishers, New York, 1997).

Ketika rupiah menembus Rp 10.000 pada pertengahan Juli lalu, ada beberapa faktor yang jadi pemicu. Konon melambatnya pertumbuhan ekonomi China jadi fakor utama.

Memang melambatnya ekonomi China bukan hanya memengaruhi rupiah, tapi juga mata uang negara-negara Asia lainnya. Jika rupiah ikut terpengaruh pelambatan itu jelas cukup logis mengingat dari sisi nilai perdagangan, China merupakan mitra dagang terbesar untuk negeri kita.

Sebenarnya sudah beberapa kali dalam sejarah, rupiah menembus level psikologis Rp 10.000 per dolar AS. Pada Oktober 2008, pergerakan rupiah begitu mencemaskan.

Rupiah terus terkoreksi menembus Rp 11.000 per dolar AS, sebagaimana terjadi pada 20 Agustus 2013, seiring krisis finansial global. Merosotnya nilai rupiah ketika itu (2008) sungguh merupakan anomali. Pasalnya, krisis keuangan global bermula di AS, tetapi justru mata uang AS (dolar AS) menguat, sedangkan mata uang kita justru merosot.

Nah, anomali dalam bentuk lain kini muncul lagi. Pasalnya, pascaharga bahan bakar minyak subsidi dinaikkan pemerintah per 22 Juni 2013, menyusul kenaikan BI rate menjadi 6 persen dari 5,75 persen, rupiah bukan ikut naik.

Rupiah justru melorot menembus batas psikologis Rp 10.000 per dolar AS. Ada yang berspekulasi rupiah tidak naik atau menguat karena kenaikan BBM untuk Premium, misalnya, hanya dinaikkan Rp 6.500. Jika BBM dinaikkan di kisaran Rp 9.000 per liter mungkin rupiah juga akan menguat.

Ada yang memprediksi pasca-Lebaran, rupiah akan mencapai titik “ekuilibrium” pada posisi Rp 9.500-10.000 per dolar AS. Tapi, nyatanya kondisi rupiah kian mencemaskan, sebagaimana terjadi sekarang. Konon, yang menjadi pemicu utama merosotnya rupiah kali ini adalah The Federal Reserves (The Fed atau Bank Sentral AS), yang mengembuskan angin panas bagi negara-negara berkembang.
Pasalnya, negara-negara berkembang tengah dibayang-bayangi kekhawatiran arus modal keluar akibat rencana penghentian program pelonggaran kuantitatif (QE) oleh The Fed. Di bawah program itu, The Fed menyuntikkan dana US$ 85 miliar per bulan untuk membeli obligasi.

Bank Indonesia pun berupaya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dengan melakukan intervensi di pasar valuta asing dan pasar Surat Berharga Negara SBN. BI sudah menggelontorkan Rp 2,6 triliun lebih untuk menjaga agar rupiah tidak semakin jauh terdepresiasi.

Namun, kita perlu menghibur diri. Pasalnya, bukan hanya rupiah yang terpukul oleh beragam faktor seperti disebutkan di atas, tapi juga berbagai mata uang di Asia, yang kebetulan terdengar mirip rupiah, seperti rupee Indiajuga merosot tajam.

Menengok Sejarah

Menurut sejarahnya, rupiah memang ada hubungan dengan rupee, mata uang India; juga dengan mata uang terdengar mirip, seperti Maldivian rufiyaa (Maladewa), Mauritian rupee (Mauritius), Nepalese rupee (Nepal), Pakistani rupee (Pakistan) atau Sri Lankan rupee (Sri Lanka). Maklum Indonesia sudah lama berhubungan dengan India (simak Lautan India yang juga disebut Lautan Indonesia), untuk mata uang pun hampir sama.

Sebagaimana rupee, sejarah perjalanan rupiah, khususnya bila dibandingkan dengan mata uang asing seperti dolar Amerika Serikat (AS), juga sama-sama berbakat terkoreksi atau terdepresiasi sehingga nilainya dari masa ke masa semakin merosot.

Simak saja, berdasarkan catatan sejarah, pada 6 Maret 1946, Rp 1 sebenarnya masih dihargai 3 sen uang NICA yang saat itu mulai dinyatakan sebagai pengganti uang Jepang di daerah yang diduduki Sekutu.

Namun, pada 7 Maret 1946, pergolakan dimulai dan terjadi devaluasi rupiah sebesar 29,12 persen. Jika sebelum 7 Maret 1946, US$ 1 sama dengan Rp 1,88 maka mulai sesudah 7 Maret 1946, US$ 1 sama dengan Rp 2,6525.

Yang menarik, ketika rupiah terdevaluasi atau merosot begitu tajam dibanding mata uang asing, seperti dolar AS, di negeri ini pasti terjadi pergantian kepemimpinan.

Sepanjang tahun 1965, misalnya, rupiah pernah anjlok begitu tajam hingga Rp 35.000 per dolar AS. Pada 13 Desember 1965 kebijakan “sanering” sehingga Rp 1.000 jadi Rp 1. Beberapa calon haji jadi stres berat akibat sanering itu. Kekuasaan Bung Karno pun tumbang, diganti Soeharto.

Menjelang lengsernya Soeharto pada 21 Mei 1998, rupiah yang pada Oktober 1997 masih Rp 2.300 per dolar AS, terjun bebas jadi Rp 17.200 per dolar AS pada April 1998. Jadi, sebenarnya yang mampu menjatuhkanpresiden kita, setidaknya Bung Karno dan Pak Harto, ternyata rupiah.

Tidak tahu pasti, apakah kali ini rupiah akan memakan korban seorang presiden lagi. Kita masih harus menunggu. Namun, sesungguhnya bukan hanya presiden yang jatuh gara-gara rupiah. Dalam kehidupan nyata, jutaan kaum lemah pun sudah jatuh terkapar karena melambungnya harga kebutuhan pokok.

Pengusaha tahu dan tempe sudah menjerit karena ternyata di tengah merosotnya rupiah ada pula kartel kedelai yang gembira mengeruk untung di tengah buntungnya pengusaha tahu dan tempe. Rupiah juga sudah menjatuhkan banyak orang seperti para koruptor atau pelaku kriminal yang kini mendekam di LP.
Seorang guru besar berinisial RR pun rela mengkhianati nuraninya, menyusul tiga guru besar lainnya yang dipenjara karena korupsi. Dalam hajatan apa pun, termasuk politik, terlebih menjelang 2014, peran rupiah kian merajalela. Demokrasi kita masih sangat kental diwarnai politik uang. Birokrasi kita masih memberi ruang besar bagi korupsi.


Namun, di atas semuanya, kita berharap rupiah akan mengalami stabilitas sehingga tidak sampai menjatuhkan banyak orang lagi atau menimbulkan galau di seantero negeri. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar