Minggu, 22 September 2013

Saatnya Perubahan Paradigmatik Guru

Saatnya Perubahan Paradigmatik Guru
Benny Susetyo ;   Budayawan, Sekretaris Eksekutif Komisi HAK KWI
KORAN SINDO, 21 September 2013


Dunia pendidikan nasional membutuhkan langkah-langkah terobosan untuk memperbaiki ketertinggalan di bidang pendidikan. Salah satunya dengan secara bertahap mengoptimalkan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi dibandingkan dengan cara- cara belajar konvensional. 

Kita harus melakukan lompatan. “Salah satu langkah lompatan itu adalah dengan memanfaatkan teknologi mutakhir di bidang pendidikan, secepatnya dan secara luas,” kata Wakil Presiden Boediono pada kuliah perdana di Universitas Surya di Jakarta, Selasa (3/9). Apa yang dikatakan Wapres benar, persoalan dunia pendidikan mengalami ketidakberdayaan karena kualitas gurunya yang rendah. 

Berdasarkan data dalam Education for All (EFA) Global Monitoring Report 2012: The Hidden Crisis, Armed Conflict and Education yang dikeluarkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa- Bangsa (UNESCO) di New York, indeks pembangunan pendidikan atau education development index (EDI) tahun 2012 adalah 0,934. Nilai itu menempatkan Indonesia di posisi ke- 69 dari 127 negara di dunia. EDI dikatakan tinggi jika mencapai 0,95-1. 

Kategori medium berada di atas 0,80, sedangkan kategori rendah di bawah 0,80. Rendahnya kualitas menghambat proses pendidikan yang kreatif dan inovatif selama paradigma guru hanya menjadi pawang dan mentor. Kelemahan para guru tidak dibekali ilmu mengajar kepada siswa karena guru sekadar menjalankan ritual belaka. Persoalan paradigmatik dunia pendidikan tidak pernah disentuh. Bahkan, akar masalah juga tidak dijadikan evaluasi pembenahan pendidikan bangsa ini. 

Alm Rm Mangun mendirikan sekolah Mangunan karena melihat realitas merosotnya mutu guru membuat anak didik tidak cerdas. Lewat SD Mangunan, dia mencoba mengubah paradigmatik para guru. Menurut Romo Mangun, selama ini sistem pendidikan Orde Baru telah menghilangkan suasana belajar sebab sistem pengajaran dan pendidikan negeri ini sama sekali tidak mendukung pemekaran anak. Sudah lebih tiga puluh tahun Indonesia tidak lagi punya guru dalam arti yang sejati. 

Hal ini disebabkan, pemerintah telah menyulap guruguru kita menjadi guru penatar, instruktur, komandan, birokrat, dan dewa. Akibatnya, murid pun selama ini sudah tidak ada lagi. Yang ada adalah “orang dewasa” mini, prajurit mini, dan bawahan mini, kader mini yang kehilangan spontanitas dan keceriaan alaminya akibat hubungan guru-anak yang serba-komando. 

Suasana dan sistem pendidikan sedemikian justru menciptakan suasana pendidikan atau pengajaran yang diwarnai kekerasan. Perubahan paradigmatik tidak pernah diubah, akibatnya pendidikan kita kehilangan visi yang memerdekakan siswa, sehingga siswa mampu memiliki sebuah mimpi menjadi manusia yang cerdas. Manusia cerdas adalah manusia yang mampu memiliki visi depan serta mampu bertahan dalam situasi sulit karena Dia memiliki ketajaman analisa dan kebijakannya. 

Anak cerdas memiliki arete yakni kesimbangan akal sehat dan nalar serta kebijakan membaca realitas zamannya. Peminjam istilah konsep habitus, menurut Bourdieu, adalah pembiasaan (pikiran, persepsi, aksi) dalam kondisi tertentu. Habitus membuat tindakan seorang individu menjadi sensible dan reasonable. Habitus adalah struktur subjektif (mental) di mana seorang agen menghasilkan tindakannya. 

Bourdieu menyebutnya sebagai disposisi terstruktur. Artinya, habitus adalah struktur kepatuhan atau kesiapsediaan seseorang untuk menghasilkan tindakan. Proses manusia menjadi insan cerdas dan kreatif tercapai bila menyentuh hal mendasar yakni menyentuh harkat dan martabat siswa. Sekolah menjadi tempat menyenangkan serta menggembirakan karena sekolah bukan tempat angker atau menakutkan bagi siswa. 

Siswa merasakan apa artinya menjadi manusia merdeka dalam arti bukan liar dan bebas semua melainkan siswa mampu mengekspresikan bakat dan minat serta merasa tertantang bertanya terhadap hal sikap merangsang berpikir dan bertindak demi sebuah perubahan akan esok lebih baik. Sangat cocok bila kita merujuk pada pendidikan yang membebaskan dan memanusiakan ala Freire. 

Konsep ini tertuju untuk menggugah kesadaran pelaksanaan metode pendidikan yang bukan saja membebaskan, tetapi yang terpenting kembali memanusiakan manusia; menghilangkan jejak de-humanisasi yang merasuki dunia pendidikan. Bila pembebasan sudah tercapai, pendidikan menurut Freire adalah suatu kampanye dialogis sebagai suatu usaha pemanusiaan secara terusmenerus. 

Pendidikan bukan hanya menuntut ilmu, tetapi bertukar pikiran dan saling mendapatkan ilmu (kemanusiaan) yang merupakan hak bagi semua. Kunci dari pendidikan yang membebaskan dan kemudian memanusiakan. Selama ini ruang publik kita hanya diisi oleh kaum petualang yang menggunakan gelar hebat tapi tidak isinya. Polemik terus-menerus dihadirkan untuk menghiasi publik setiap hari di media. 

Tetapi, realitasnya polemik itu tidak mampu menjadi pelecut daya cipta untuk mengubah ketidakberdayaan menjadi keberdayaan. Ini terjadi karena kita sebagai bangsa, miskin cita-cita dan cinta. Akar persoalannya bisa kita lacak, setidak-tidaknya dari bagaimana karakter sistem pendidikan diselenggarakan. Kita melihat bahwa pendidikan dalam bangsa ini hanya menjadi instrumen kekuasaan politik. 

Pendidikan disubordinasikan dalam kekuasaan politik, dan menghasilkan manusia yang hanya pandai ikut-ikutan. Mereka bagaikan robot yang dikendalikan oleh remote control, yakni pemegang kekuasaan dan pemilik modal, melalui ideologi penyeragaman. Ini membuat mereka hanya mampu menunggu petunjuk serta pedoman dari atas. Kreativitasnya minim. 

Akibatnya, birokrasi menjadi lambat dalam merespons perubahan. Ketidakmampuan ini disebabkan oleh ketidakberdayaan mereka untuk keluar dari kultur lama. Di mana kemandirian individu direduksi menjadi ketaatan buta yang dikendalikan oleh sistem penyeragaman. Ini membuat gerbang reformasi terseokseok, yang disebabkan oleh ketidakberdayaan untuk merespons perubahan yang begitu cepat. 

Selama revolusi pendidikan tidak dijalankan, jangan berharap lahir manusia Indonesia yang bermutu. Revolusi pendidikan perlu segera dijalankan dengan mengubah orientasi pendidikan dari watak elitis, yakni hanya mengejar-ngejar gelar, pangkat, kedudukan tanpa memperhatikan pembentukan karakter manusianya. Dengan mengabaikan hal ini, berarti pendidikan hanya transfer ilmu saja yang menyebabkan manusia lepas dari moralitas. 

Realitas proses pendidikan yang membebaskan hanya bisa terwujud bila birokrasi pendidikan mengubah paradigma pendidikan bukan sematamata sebagai alat politik kekuasaan. Pendidikan harus menentukan arah politik arah bangsa ini. 

Di sinilah pentingnya seorang pemimpin yang memiliki visi yang jelas untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Selama belum tercapai, jangan harap ada perubahan mendasar. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar