Selasa, 03 September 2013

Saatnya Orang Non-Jawa

Saatnya Orang Non-Jawa
Radhar Panca Dahana ;   Budayawan
KOMPAS, 03 September 2013


Satu dari beberapa gosip beraroma mistis mengatakan keberhasilan Joko Widodo menjadi Gubernur Jakarta menjadi semacam penyempurna dari gagalnya serangan masif yang dilakukan Raja Mataram Sultan Agung, pada Batavia hampir empat abad yang lalu.
Ada pula yang mengatakan sukses Jokowi menaklukkan Jakarta lantaran secara etimologis keduanya bermakna sama. Jakarta bisa merupakan turunan dari Jayakarta (arti: kemenangan yang gemilang), tapi bisa juga peleburan kata ”jaka” dan ”karta” (arti: lelaki yang sukses meraih hasil usahanya). Sementara ”joko” yang berarti lanang bener alias lelaki sejati yang memiliki sifat dan kapasitas ”widodo” yang beruntung, selamat, dan sukses dalam usahanya.
Gathuk, kata orang Jawa. Jodohlah Jokowi dan Jakarta. Perjodohan yang seolah memberi legitimasi atau validasi bagi anggapan sebagian kalangan tentang pemimpin bangsa ini yang lumrah (bahkan wajib)-nya berasal dari suku Jawa. Cukup banyak, tentu, argumentasi untuk premis kasar yang sebenarnya masih berupa pra-anggapan ini.
Terlebih ketika banyak survei memperlihatkan bagaimana popularitas dan elektabilitas Jokowi sebagai calon presiden meroket begitu hebat, melampaui nama- nama ambisius yang sudah berkampanye-sembunyi selama ini. Plus, dua nama kuat yang menyusul di belakangnya pun berkait erat dengan suku mayoritas di Indonesia itu: Prabowo Subianto dan Megawati.
Demokrasi yang tergelincir
Pra-anggapan itu sudah lebih setengah abad mengeram di balik bilik kesadaran publik. Ia bukan hanya (seakan) memustahilkan calon-calon potensial yang berasal dari luar atau non-Jawa, melainkan juga memberi posisi puncak bagi mereka yang tidak Jawa hanya pada RI-2 alias wakil presiden. Karena itu, sebelum ia menjadi sebuah tabu politik, menjadi fatsun yang mengharamkan, pra-anggapan yang tergelincir itu perlu dibongkar segera agar negeri ini dan bangsa ini tak terjerumus dalam kepandiran abadi atau kekeliruan fatal yang terbudayakan sehingga jadi bencana pada nantinya.
Sudah saatnya mekanisme politik dan seleksi kepemimpinan negeri ini dilucuti dari berbagai pertimbangan, acuan, atau hal-hal yang bersifat mistis dan mitis, sebagaimana yang selama ini terjadi. Sudah saatnya pula pemimpin atau kepala daerah di seluruh negeri ini tak lagi mengandalkan kekuatan, moral, sosial, kultural, atau spiritual yang berlandaskan pada perhitungan yang ilogis, supranatural, atau akal yang ”akal-akalan”. Terutama bila menyangkut hajat hidup sebuah bangsa di mana di dalamnya terhimpun ratusan keyakinan, adat, juga kepercayaan yang mustahil ditunggalkan.
Sejarah negeri ini sebenarnya tidaklah merasa asing dengan kepemimpinan yang berasal dari negeri asing, baik antarsuku lokal maupun bangsa mancanegara. Terlebih bagi orang Jawa yang secara khusus jadi etnik mayoritas bangsa dan dianggap menjadi variabel yang desisif proses pengambilan keputusan yang bersendi pada ide ”demokrasi”.
Seperti sama kita mafhumi, jika ide itu dijadikan landasan pengambilan putusan, mungkin kita tak akan pernah memiliki bahasa Indonesia sebagai persatuan. Bahkan boleh jadi dasar negara atau landasan konstitusional kita tidak akan seluas dan sedalam visinya seperti yang kita ketahui dan kagumi saat ini. Bisa dibayangkan, jika suku Jawa menggunakan senjata ”demokratis”-nya, apa yang akan kita warisi dari Pancasila dan UUD 45, misalnya, adalah benih kekuasaan yang tiranik.
Mungkin saja, kekeliruan-kekeliruan regulasional bahkan (tafsir) konstitusional selama ini terjadi lantaran begitu mudahnya kita menyerahkan proses yang penuh kearifan dan kebijaksanaan itu pada proses yang melulu—membuat politik—bermuara pada transaksi, kekuasaan, uang, fasilitas, hingga seks. Dan kita, terutama elite dan pihak pemerintah, cukup pengecut untuk mengakui itu. Sebab mereka menganggap pengakuan akan hal itu akan menyudutkan mereka ke posisi pariah dalam pergaulan internasional. Berpra-anggapan, dengan menjalankan kearifan politik sendiri, bangsa ini akan dinafikan, dikucilkan, bahkan akan di balkanisir atau dimusimsemikan.
Tentu saja hal itu tidak benar. Tidak bagus untuk jadi panutan. Karena ia dibalut oleh selendang-selendang pesolek demokrasi yang menutupi justru kepercayaan diri. Sesungguhnya kita memiliki modal, dasar, juga latar historis yang kuat untuk jadi bangsa yang lebih dewasa ketimbang menjadi lelaki yang berlagak macho, tapi feminin itu.
Orang Jawa, bahkan hingga hari ini, dipercaya oleh para petinggi adat (keraton-keraton) sejak berabad yang lalu, menganggap genealogisnya justru dari luar Jawa: India tepatnya. Sekurangnya menurut Mangkunegara IV, leluhur itu bernama Ajisaka yang datang pada 78 Masehi, waktu yang juga digunakan sebagai awal kalender Jawa (Saka).
Bahkan untuk realitas eksistensial, orang Jawa ”berani” memasrahkan dirinya pada ”orang asing” (walau sebenarnya Jawa jauh lebih tua dari itu), setidaknya memberi kita indikasi kelapangan diri orang Jawa untuk sebagian dirinya pada mereka yang berasal dari ”luar”. Kematangan kultural semacam ini tentu bukan omong kosong, ketika kita tahu misalnya, Aki Tirem, penguasa wilayah Jawa Barat di awal Masehi, menyerahkan kerajaannya—juga putri sulungnya— kepada pelarian dari India Selatan (Bharata), Dewawarman dan menegakkan kerajaan Hindu atau Arya pertama di kepulauan ini, Salakanagara.
Begitupun kerajaan-kerajaan awal seperti Tarumanegara di Bogor hingga Kutai di Kalimantan, dibangun juga dipimpin oleh pelarian-pelarian Bharata lainnya. Secara internal, di antara etnik-etnik lokal, kita juga sama mengerti bagaimana Dapunta Hyang yang dianggap sebagai perintis kerajaan maritim besar Sriwijaya, menurunkan sebuah wangsa (Syailendra) yang kemudian menguasai Jawa hingga terbentuknya Kerajaan Mataram Kuno (717-760) dengan wangsa Sanjaya sebagai pelanjutnya.
Orang Jawa juga sangat tidak keberatan ketika para rohaniwan atau wali-wali agama suci, yang jadi pemimpin informal bahkan formal kerajaan, juga ternyata banyak berasal dari negeri seberang: Gujarat, Palestina, China, Yaman, Persia, bahkan Turki dan Samarkand. Lihatlah Wali Sanga, misalnya, jika kita menelusurinya sebagai sebuah majelis yang terus berganti anggota.
Dengan telusuran sejenak sejarah kita itu, mestinya kita paham: ada semacam kearifan lokal yang membuat kita cukup matang untuk tak hanya menghargai ”pendatang” dalam jiwa yang toleran, kosmopolit, dan multikultural. Juga memberi peluang para ”pendatang” itu untuk memimpin, jika memang ia berkapasitas dan memiliki loyalitas penuh serta teruji pada komunitas di mana ia hidup selama ini.
Pemimpin maritim
Barangkali suku Jawa banyak melahirkan ”orang besar”, sebutlah nama seperti Soekarno, Cokroaminoto, hingga Soeharto. Namun non-Jawa juga melahirkan ”orang besar” yang sama dan tidak lebih minor kualitas serta kapasitasnya. Sebutlah mulai Hatta, Yamin, Agoes Salim, Nasution, Ratulangi, Teuku Umar, Hasanudin, hingga Pattimura.
Daerah-daerah itu sebenarnya adalah kebun lain dari kecambah para pemimpin bangsa yang penuh kualitas luar-dalamnya. Mereka umumnya adalah perantau, sebagaimana adab maritim membentuk mereka dan nenek moyangnya. Realitas eksistensial yang sesungguhnya membuat mereka lebih mampu melihat horizon yang lebih jauh, mengakrabi keasingan (dan mengasimilasinya ke dalam diri), mengenali dengan sangat baik peta geografis dan demografis negeri yang dibangun oleh 13.000 lebih pulau dan sabuk-sabuk laut yang mengikat kesatuannya.
Ya, sabuk laut atau selat-selat negeri maritim itulah yang menciptakan kearifan lokal itu. Ia tak hanya melahirkan kedewasaan dalam soal memilih pemimpin, tapi juga membuktikan pada dunia bagaimana ia tetap kencang menjaga kesatuan kita (sebelum ia diobrak-abrik secara keji oleh nafsu ekonomi kapital dan politik demokratis belakangan ini).
Kita, bangsa ini, juga orang Jawa, tidak lagi memiliki argumentasi cukup untuk menolak maju dan naiknya pemimpin non-Jawa sebagai pemegang kendali negeri dan pemerintah negara ini. Tunjukkanlah pada diri sendiri, tak perlu kepada dunia, bahwa Indonesia adalah sebuah negeri dan bangsa yang sudah matang dalam budaya politiknya, dalam adab yang dikembangkannya. Usia 68 tahun itu, betapapun suci maknanya, dalam realitas kontemporernya sebenarnya hanyalah semacam usia baju baru yang kita beli di toko-toko yang berjajar di Champs Elysee atau Street Gallery di Tokyo dan New York. Tentu jika ia dibandingkan angka milenia yang menjadi usia sejarah bangsa ini. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar