|
Satu dari
beberapa gosip beraroma mistis mengatakan keberhasilan Joko Widodo menjadi
Gubernur Jakarta menjadi semacam penyempurna dari gagalnya serangan masif yang
dilakukan Raja Mataram Sultan Agung, pada Batavia hampir empat abad yang lalu.
Ada pula yang
mengatakan sukses Jokowi menaklukkan Jakarta lantaran secara etimologis
keduanya bermakna sama. Jakarta bisa merupakan turunan dari Jayakarta (arti:
kemenangan yang gemilang), tapi bisa juga peleburan kata ”jaka” dan ”karta”
(arti: lelaki yang sukses meraih hasil usahanya). Sementara ”joko” yang berarti
lanang bener alias lelaki sejati yang memiliki sifat dan kapasitas
”widodo” yang beruntung, selamat, dan sukses dalam usahanya.
Gathuk, kata
orang Jawa. Jodohlah Jokowi dan Jakarta. Perjodohan yang seolah memberi
legitimasi atau validasi bagi anggapan sebagian kalangan tentang pemimpin
bangsa ini yang lumrah (bahkan wajib)-nya berasal dari suku Jawa. Cukup banyak,
tentu, argumentasi untuk premis kasar yang sebenarnya masih berupa pra-anggapan
ini.
Terlebih ketika
banyak survei memperlihatkan bagaimana popularitas dan elektabilitas Jokowi
sebagai calon presiden meroket begitu hebat, melampaui nama- nama ambisius yang
sudah berkampanye-sembunyi selama ini. Plus, dua nama kuat yang menyusul di
belakangnya pun berkait erat dengan suku mayoritas di Indonesia itu: Prabowo
Subianto dan Megawati.
Demokrasi yang
tergelincir
Pra-anggapan
itu sudah lebih setengah abad mengeram di balik bilik kesadaran publik. Ia
bukan hanya (seakan) memustahilkan calon-calon potensial yang berasal dari luar
atau non-Jawa, melainkan juga memberi posisi puncak bagi mereka yang tidak Jawa
hanya pada RI-2 alias wakil presiden. Karena itu, sebelum ia menjadi sebuah
tabu politik, menjadi fatsun yang mengharamkan, pra-anggapan yang tergelincir
itu perlu dibongkar segera agar negeri ini dan bangsa ini tak terjerumus dalam
kepandiran abadi atau kekeliruan fatal yang terbudayakan sehingga jadi bencana
pada nantinya.
Sudah saatnya
mekanisme politik dan seleksi kepemimpinan negeri ini dilucuti dari berbagai
pertimbangan, acuan, atau hal-hal yang bersifat mistis dan mitis, sebagaimana
yang selama ini terjadi. Sudah saatnya pula pemimpin atau kepala daerah di
seluruh negeri ini tak lagi mengandalkan kekuatan, moral, sosial, kultural,
atau spiritual yang berlandaskan pada perhitungan yang ilogis, supranatural,
atau akal yang ”akal-akalan”. Terutama bila menyangkut hajat hidup sebuah
bangsa di mana di dalamnya terhimpun ratusan keyakinan, adat, juga kepercayaan
yang mustahil ditunggalkan.
Sejarah negeri
ini sebenarnya tidaklah merasa asing dengan kepemimpinan yang berasal dari
negeri asing, baik antarsuku lokal maupun bangsa mancanegara. Terlebih bagi
orang Jawa yang secara khusus jadi etnik mayoritas bangsa dan dianggap menjadi
variabel yang desisif proses pengambilan keputusan yang bersendi pada ide
”demokrasi”.
Seperti sama
kita mafhumi, jika ide itu dijadikan landasan pengambilan putusan, mungkin kita
tak akan pernah memiliki bahasa Indonesia sebagai persatuan. Bahkan boleh jadi
dasar negara atau landasan konstitusional kita tidak akan seluas dan sedalam
visinya seperti yang kita ketahui dan kagumi saat ini. Bisa dibayangkan, jika
suku Jawa menggunakan senjata ”demokratis”-nya, apa yang akan kita warisi dari
Pancasila dan UUD 45, misalnya, adalah benih kekuasaan yang tiranik.
Mungkin saja,
kekeliruan-kekeliruan regulasional bahkan (tafsir) konstitusional selama ini
terjadi lantaran begitu mudahnya kita menyerahkan proses yang penuh kearifan
dan kebijaksanaan itu pada proses yang melulu—membuat politik—bermuara pada
transaksi, kekuasaan, uang, fasilitas, hingga seks. Dan kita, terutama elite
dan pihak pemerintah, cukup pengecut untuk mengakui itu. Sebab mereka
menganggap pengakuan akan hal itu akan menyudutkan mereka ke posisi pariah
dalam pergaulan internasional. Berpra-anggapan, dengan menjalankan kearifan
politik sendiri, bangsa ini akan dinafikan, dikucilkan, bahkan akan di
balkanisir atau dimusimsemikan.
Tentu saja hal
itu tidak benar. Tidak bagus untuk jadi panutan. Karena ia dibalut oleh
selendang-selendang pesolek demokrasi yang menutupi justru kepercayaan diri.
Sesungguhnya kita memiliki modal, dasar, juga latar historis yang kuat untuk
jadi bangsa yang lebih dewasa ketimbang menjadi lelaki yang
berlagak macho, tapi feminin itu.
Orang Jawa,
bahkan hingga hari ini, dipercaya oleh para petinggi adat (keraton-keraton)
sejak berabad yang lalu, menganggap genealogisnya justru dari luar Jawa: India
tepatnya. Sekurangnya menurut Mangkunegara IV, leluhur itu bernama Ajisaka yang
datang pada 78 Masehi, waktu yang juga digunakan sebagai awal kalender Jawa
(Saka).
Bahkan untuk
realitas eksistensial, orang Jawa ”berani” memasrahkan dirinya pada ”orang
asing” (walau sebenarnya Jawa jauh lebih tua dari itu), setidaknya memberi kita
indikasi kelapangan diri orang Jawa untuk sebagian dirinya pada mereka yang
berasal dari ”luar”. Kematangan kultural semacam ini tentu bukan omong kosong,
ketika kita tahu misalnya, Aki Tirem, penguasa wilayah Jawa Barat di awal
Masehi, menyerahkan kerajaannya—juga putri sulungnya— kepada pelarian dari
India Selatan (Bharata), Dewawarman dan menegakkan kerajaan Hindu atau Arya
pertama di kepulauan ini, Salakanagara.
Begitupun
kerajaan-kerajaan awal seperti Tarumanegara di Bogor hingga Kutai di
Kalimantan, dibangun juga dipimpin oleh pelarian-pelarian Bharata lainnya.
Secara internal, di antara etnik-etnik lokal, kita juga sama mengerti bagaimana
Dapunta Hyang yang dianggap sebagai perintis kerajaan maritim besar Sriwijaya,
menurunkan sebuah wangsa (Syailendra) yang kemudian menguasai Jawa hingga
terbentuknya Kerajaan Mataram Kuno (717-760) dengan wangsa Sanjaya sebagai
pelanjutnya.
Orang Jawa juga
sangat tidak keberatan ketika para rohaniwan atau wali-wali agama suci, yang
jadi pemimpin informal bahkan formal kerajaan, juga ternyata banyak berasal
dari negeri seberang: Gujarat, Palestina, China, Yaman, Persia, bahkan Turki
dan Samarkand. Lihatlah Wali Sanga, misalnya, jika kita menelusurinya sebagai
sebuah majelis yang terus berganti anggota.
Dengan
telusuran sejenak sejarah kita itu, mestinya kita paham: ada semacam kearifan
lokal yang membuat kita cukup matang untuk tak hanya menghargai ”pendatang”
dalam jiwa yang toleran, kosmopolit, dan multikultural. Juga memberi peluang
para ”pendatang” itu untuk memimpin, jika memang ia berkapasitas dan memiliki
loyalitas penuh serta teruji pada komunitas di mana ia hidup selama ini.
Pemimpin
maritim
Barangkali suku
Jawa banyak melahirkan ”orang besar”, sebutlah nama seperti Soekarno,
Cokroaminoto, hingga Soeharto. Namun non-Jawa juga melahirkan ”orang besar”
yang sama dan tidak lebih minor kualitas serta kapasitasnya. Sebutlah mulai
Hatta, Yamin, Agoes Salim, Nasution, Ratulangi, Teuku Umar, Hasanudin, hingga
Pattimura.
Daerah-daerah
itu sebenarnya adalah kebun lain dari kecambah para pemimpin bangsa yang penuh
kualitas luar-dalamnya. Mereka umumnya adalah perantau, sebagaimana adab
maritim membentuk mereka dan nenek moyangnya. Realitas eksistensial yang
sesungguhnya membuat mereka lebih mampu melihat horizon yang lebih jauh,
mengakrabi keasingan (dan mengasimilasinya ke dalam diri), mengenali dengan
sangat baik peta geografis dan demografis negeri yang dibangun oleh 13.000
lebih pulau dan sabuk-sabuk laut yang mengikat kesatuannya.
Ya, sabuk laut
atau selat-selat negeri maritim itulah yang menciptakan kearifan lokal itu. Ia
tak hanya melahirkan kedewasaan dalam soal memilih pemimpin, tapi juga membuktikan
pada dunia bagaimana ia tetap kencang menjaga kesatuan kita (sebelum ia
diobrak-abrik secara keji oleh nafsu ekonomi kapital dan politik demokratis
belakangan ini).
Kita, bangsa
ini, juga orang Jawa, tidak lagi memiliki argumentasi cukup untuk menolak maju
dan naiknya pemimpin non-Jawa sebagai pemegang kendali negeri dan pemerintah
negara ini. Tunjukkanlah pada diri sendiri, tak perlu kepada dunia, bahwa
Indonesia adalah sebuah negeri dan bangsa yang sudah matang dalam budaya
politiknya, dalam adab yang dikembangkannya. Usia 68 tahun itu, betapapun suci
maknanya, dalam realitas kontemporernya sebenarnya hanyalah semacam usia baju
baru yang kita beli di toko-toko yang berjajar di Champs Elysee atau Street
Gallery di Tokyo dan New York. Tentu jika ia dibandingkan angka milenia yang
menjadi usia sejarah bangsa ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar