Selasa, 03 September 2013

Republik Gagal, Pejabat Bebal!

Republik Gagal, Pejabat Bebal!
Tito Sulistio  Pengamat Sosial Politik
KORAN SINDO, 03 September 2013


Jika disederhanakan dalam bahasa rakyat, kewajiban dan tanggung jawab suatu pemerintahan kepada masyarakat adalah bagaimana meningkatkan “prosperity” dan memastikan ada “security”. 

Kalau prosperity dan security jadi patokan, dua periode pemerintahan ini bisa disimpulkan sebagai pemerintahan yang gagal. Kegagalan menjaga stabilitas harga kedelai, cabai, atau jengkol hanya salah satu contoh. Contoh lainnya, ketidakmampuan pemerintah mencapai target growth 6,5% dibandingkan dengan ketidakmampuan menjaga tingkat inflasi sehingga mencapai di atas 8,5% secara langsung merefleksikan bahwa rakyat republik ini menjadi tambah miskin. 

Kemarahan secara terbuka Presiden kepada pembantunya sebenarnya juga mempertontonkan dan mengakui kegagalan dirinya meningkatkan prosperity masyarakat. Security harusnya tercermin dalam ketenangan hidup bernegara dan kepastian hukum yang dirasakan oleh masyarakat Indonesia. 

Faktanya? Tergambar dari bagaimana tiap hari media mempertontonkan ketidaktenangan hidup di republik ini, bukan hanya kriminalitas ataupun rongrongan kejahatan secara pidana, melainkan juga terlihat hilangnya rasa hormat terhadap institusi negara tanpa pemerintah mampu menanggulanginya. 

Jika rakyat terlihat bertambah miskin, mana mungkin pemerintah bisa mengklaim berhasil meningkatkan kepercayaan pasar dan meraih pertumbuhan ekonomi. Sementara jika hukum tidak bisa memberikan rasa keadilan bagi seluruh rakyat, tidak bisa ditegakkan untuk menjaga tatanan sebagai negara hukum, bagaimana rakyat bisa hidup tenang dan damai dalam suatu kepastian hukum. 

Memang sulit membandingkan 120 bulan kinerja rezim SBY dengan hasil kerja 15 bulan periode ‘rezeki’ Habibie maupun 39 bulan kerja Megawati. Agak tidak afdal juga membandingkan kinerja SBY dengan 32 tahun kerja membangun dari Pak Harto atau 22 tahun perjuangan Bung Karno. Persoalannya, para analis dan masyarakat memandang tidak ada rencana strategis pada masa SBY bisa dijadikan tolok ukur penilaian keberhasilan atau kegagalan. 

Sungguh aneh atau memang disengaja, suatu rencana strategis kerja yang terstruktur tidak pernah dibuat dan disosialisasikan selama periode kerja SBY. Jika Pembukaan UUD 1945 yang secara implisit menyebutkan bahwa arah republik untuk menjadi negara berkesejahteraan (welfare state) serta sumpah dan janji Presiden di Pasal 9 ayat 1 UUD 1945 yang telah diamendemen, kembali sebagai rakyat sangat mungkin menyimpulkan bahwa pemerintahan ini adalah pemerintahan yang gagal. 

Pengertian umum welfare state adalah suatu negara harus mampu setidaknya menyediakan social security (dana pensiun misalnya), benefit in kind (kesehatan, pendidikan yang utama), juga price subsidies (transportasi umum, perumahan, dan barang kebutuhan pokok pastinya). Situasinya saat ini justru terjadi pencabutan subsidi, ketidakmampuan menyediakan bantuan kesehatan belum lagi ketidakmampuan menjaga stabilitas suplai dan harga dari bahan kebutuhan. 

Ironisnya, pemerintah seperti tidak mengerti bahwa pengusaha kecil tidak mempunyai kemampuan merespons situasi sulit ini. Enteng saja Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag) bilang: perajin tahu-tempe punya taktik bertahan. Faktanya, ada berita “Harga Kedelai Melonjak, Perajin Tempe di Banyumas Stop Produksi”. Penjelasan sang Wakil Menteri yang seolah berteori bahwa kenaikan kedelai bukan “salah pemerintah”, melainkan “salah rupiah” yang melemah dan “salah cuaca di Amerika” seperti pasrah diri bahwa semua ini harus diterima sebagai sebuah kenyataan bisnis. 

Luar biasa bukan? Lalu sampai kapan fenomena pejabat dan pemerintahan seperti ini akan terus berlalu? Jika pemerintah sendiri dengan seambrek kepercayaan dari rakyat untuk mengelola seluruh sumber daya dan kekuasaan, yang ditugaskan untuk mengurus hajat hidup orang banyak, kemudian menjadi tidak berdaya mengatasi gejolak, lalu bagaimana dengan rakyat dan pengusaha yang notabene memiliki beban dan tantangan yang luar biasa dapat keluar dari kemelut ekonomi seperti ini? 

Jangan-jangan bisa dianggap bahwa pemerintah telah gagal dalam menjalankan amanat konstitusi. Prof Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa para perumus kebijaksanaan ekonomi, dewasa ini, haruslah menjadikan UUD 1945 sebagai hukum dan kebijaksanaan tertinggi di bidang perekonomian. 

Rakyat Indonesia sebenarnya sangat pemaaf dan penuh pengertian jika terlihat para pemimpin itu bekerja dengan sungguh-sungguh dan jujur dalam suatu etika yang bersih, kegagalan yang berakibat meningkatkan tingkat kemiskinan mungkin saja masih bisa mereka maafkan. Sayangnya, para pejabat terlihat tidak selurus-lurusnya bekerja 100% untuk meningkatkan prosperity dan menjaga security rakyat ini. 

Lihat saja dalam masa krisis, Presiden, seorang pemimpin negara membuang waktunya untuk kepentingan partai, bahkan menteri yang seharusnya mengontrol harga cabai, gula, daging, kedelai, dan jengkol malah membuang waktu untuk ikut konvensi mengejar ambisi. Begitu pula dengan menteri BUMN yang seharusnya penuh waktu merapikan tata kelola BUMN atau ketua parlemen yang seharusnya mengejar target penyelesaian legislasi. 

Coba lihat, kalau presiden ketua partai adalah jabatan politik, lalu 21 dari 34 pembantunya repot berpolitik entah caleg, konvensi, atau mengurus partai, lalu siapa yang mengurus rakyat? Mereka seperti tidak punya sense of crisis. Ini memang soal akhlak kepemimpinan. Sikap dan akhlak yang sangat jauh dan bertentangan dengan contoh Nabi Muhammad SAW yang sangat profesional dan fokus pada tugas dakwah yang diamanatkan kepada beliau. 

Ketika Rasulullah ditawari berbagai tawaran dan jabatan politik yang jauh lebih ”bergengsi” dari tugas dakwah, apa yang dikatakan beliau? “Demi Allah, seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku, dan bulan di tangan kiriku, aku tetap tidak akan meninggalkan urusan dakwah ini sehingga cita-cita ini dimenangkan oleh Allah atau aku sendiri yang binasa dalam menjalankan tugas ini.”

Mengapa mereka tidak mencontohnya? Mengapa para menteri dan pimpinan parlemen yang seharusnya membantu Presiden dan mengawasi pemerintah tiba-tiba mendadak buang waktu kerja untuk politik pribadi? Bukankah itu perbuatan yang tidak amanah? Seandainya situasi ekonomi tidak sedang kacau, mungkin masih bisa ”dimaafkan”. Tetapi, semua itu dilakukan dalam ekonomi yang terancam sedang masuk krisis? 

Naudzubillah! Kepada mereka yang membuang waktu kerja untuk ambisi pribadi sepertinya bisa dijerat dengan UU Korupsi Pasal 2 ayat 2 yang berbunyi: “…. menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau …..”. Wajar jika kemudian republik ini gagal karena pejabatnya bebal dan bikin rakyat semakin sebal. Semoga ekonomi rakyat tidak lantas menjadi tumbal! ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar