Selasa, 10 September 2013

Perang Bintang di Malaka

Perang Bintang di Malaka
Abdul Halim  ;   Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA); Fellow pada Sekolah Pascasarjana Universitas Paramadina, Jakarta
KORAN SINDO, 10 September 2013


Konflik sengketa perairan di Laut China Selatan yang melibatkan empat negara anggota ASEAN (Vietnam, Filipina, Brunei, dan Malaysia) plus Taiwan dan China memasuki babak baru. 

Penolakan Beijing atas rencana kedatangan Presiden Filipina Benigno Aquino III ke Pameran China–ASEAN Expo di Nanning, Provinsi Guangxi, China selatan menjadi penanda eskalasi perseteruan klaim di kawasan Paracel dan Spratly. Perseteruan klaim perbatasan ini, meminjam pernyataan pakar geografi politik Theodore Ratzel, merupakan barometer bagi keselamatan suatu negara maupun dalam hubungannya dengan negara lain. Di dalam isu ”tapal batas” itulah terletak berbagai persoalan tentang identitas, sumber daya, dan kedaulatan, serta silang selisih antarentitas politik (Anggoro, 2005).

Bagaimana dengan Indonesia? Berbatasan dengan 10 negara, bukan tanpa persoalan tapal batas. Kendati demikian, secara geopolitik, letak Indonesia di antara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudera (Pasifik dan Hindia), serta memiliki 4 dari 7 rute pelayaran yang berada di seluruh dunia menjadikannya sangat strategis. Satu di antaranya Selat Malaka. Selat Malaka adalah jalur laut terpenting di dunia yang dilintasi oleh sekitar 30% perdagangan dan 50% energi dunia tiap tahun dari Eropa dan Timur Tengah ke Asia Timur (Bateman, 2006). 

Kondisi ini menempatkan Malaka sebagai selat tersibuk dan pusat gravitasi negara-negara adikuasa dunia seperti Amerika Serikat, China, India, dan Jepang, di mana kepentingan ekonomi, lalu lintas perdagangan, maupun strategi militer pelbagai negara, utamanya negara-negara besar, seperti Amerika Serikat, China, Jepang, dan India, bertemu. 

Posisi selat ini termasuk jalur komunikasi laut (SLoC/sea lanes of communication) terpadat setelah Selat Hormuz untuk perdagangan dan alur minyak dunia jika dibandingkan dengan selat-selat lainnya antara lain Selat Bosporus di Turki, Terusan Suez di Mesir, Selat Bab al-Mandab di antara Afrika dan Yaman, Terusan Panama, dan Selat Denmark di Denmark. Sifat strategis Selat Malaka sebagai jalur komunikasi laut utama ini telah menyebabkan banyak negara ingin mengontrolnya, termasuk Amerika Serikat (AS), China, Jepang, dan India. 

Tak hanya itu, negara-negara dengan kekuatan laut di kawasan juga bersaing untuk mendominasi jalur maritim di Asia ini. Persaingan ini dipicu oleh kepentingan ekonomi pelbagai negara yang terus membesar dari tahun ke tahun. Cleary dan Chuan (2000) menyebutkan bahwa; (1) Sekitar 200 kapal per hari dan 150 tanker tiap menitnya melewati perairan Selat Malaka; (2) Sekitar 72 persen kapal tanker melewati jalur ini dan hanya 28% lainnya melalui Selat Makasar dan Selat Lombok; dan (3) Perputaran uang di selat ini berkisar USD84 miliar hingga USD250 miliar per tahun. 

Dilihat dari jumlah kapal, dalam hitungan tahun terdapat lebih dari 60.000 kapal yang berlayar melintasi Selat Malaka dengan membawa aneka macam kargo, dari minyak mentah hingga produk jadi yang berasal dari berbagai penjuru dunia. Angka ini hampir tiga kali lipat dari jumlah kapal yang berlayar melalui Terusan Panama dan lebih dari dua kali lipat dari Terusan Suez. Tak mengherankan, sejak 2004 Amerika Serikat terus berupaya untuk mendapatkan akses secara langsung dalam mengelola Selat Malaka dengan membentuk Regional Maritime Security Initiative (RMSI). 

Jepang juga tidak mau ketinggalan untuk terlibat dalam pengelolaan Selat Malaka. Kontestasi perebutan pengaruh dan ruang kelola di Selat Malaka di antara negara-negara besar juga terjadi di ASEAN. Singapura misalnya menyepakati masuknya negara non-ASEAN untuk ikut mengelola selat. Sebaliknya, Indonesia dan Malaysia tegas menolak berbagai bentuk intervensi. 

Dalam situasi inilah ASEAN dipandang lebih efektif untuk menjaga keselamatan pelayaran dan menguatkan masyarakat regional Asia Tenggara ketimbang Sistem Aliansi Amerika Serikat (US Led Alliance System) dalam merespons ancaman keamanan nontradisional seperti perselisihan tapal-batas, pembajakan, penyelundupan, pencemaran laut, perdagangan manusia dan obat-obatan terlarang, serta pencurian ikan. 

Saat ini terdapat tiga negara ASEAN yang memiliki kepentingan dan nilai strategis yang berbeda di Selat Malaka yakni Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Dua negara yang disebut pertama adalah negara pantai yang memiliki klaim wilayah teritorial di perairan Selat Malaka. Dua negara yang disebut di awal juga lebih fokus pada kepentingan perikanannya dan ancaman kerusakan lingkungan seperti polusi laut yang disebabkan aktivitas kapal, perdagangan manusia, senjata, dan obat-obatan yang diselundupkan melalui Selat Malaka. 

Sebaliknya, Singapura yang tidak memiliki klaim wilayah atas perairan Selat Malaka justru fokus pada upaya mengatasi pembajakan dan terorisme. Indonesia, sebagai salah satu negara pantai pengelola selat, nyatanya harus berhadapan dengan berbagai potensi konflik tradisional seperti separatis bersenjata, sengketa perbatasan, sabotase terhadap instalasi-instalasi strategis, perlindungan atas jalur laut, dan perlindungan sumber daya. Seluruh ancaman ini berpengaruh terhadap keutuhan wilayah, kedaulatan otoritas politik, keselamatan warga negara, dan/atau kombinasi ancaman tersebut (Anggoro, 2006). 

Meskipun Indonesia memiliki perjalanan sejarah ketangguhan pelayaran yang panjang, berbagai persoalan mendasar justru masih dihadapi seperti rendahnya penguasaan teknologi, rendahnya alokasi perhatian dan anggaran pada bidang teknologi kelautan, dan kesulitan mengoordinasikan instansi-instansi pemerintah yang bertanggung jawab kepada persoalan kelautan (Cribb dan Ford, 2009). Negara bahkan harus kehilangan potensi pendapatan puluhan triliun rupiah setiap tahunnya dari potensi ekonomi. 

Delapanpuluhpersenwilayah Selat Malaka sejatinya berada di wilayah Tanah Air, namun dari sisi pemanfaatan wilayah perairannya masih jauh tertinggal dibanding Singapura ataupun Malaysia. Selama ini dua negara tetangga tersebut, khususnya Singapura, sejak lama menikmati puluhan triliun rupiah setiap bulan dari bisnis pelayaran dan perkapalan di Selat Malaka. Contoh nyata bidang usaha jasa pandu kapal, Singapura diperkirakan berhasil mengantongi separo dari omzet bisnis atau sekitar Rp30 triliun setiap tahun. 

Tidak hanya itu, Singapura juga menikmati pendapatan dari biaya lego jangkar dan labuh kapal yang nilainya mencapai puluhan triliun rupiah setiap bulan. Negara itu juga menikmati pendapatan dari penjualan air bersih dan bahan bakar minyak yang nilainya juga mencapai puluhan triliun rupiah setiap bulan. 

Kuatnya klaim Indonesia di Selat Malaka menempatkannya sebagai negara yang berada di tengah lokus kesalingtergantungan negara-negara pengguna seperti Amerika Serikat, China, Jepang, India, dan disusul Korea Selatan. Kendati demikian, jika keterbatasan yang dihadapi oleh Indonesia tidak kunjung teratasi, besar kemungkinan klaim tersebut lambat laun akan melemah seiring semakin kuatnya kapasitas militer negara-negara pantai dan pengguna selat. 

Disharmonisasi antarinstansi pemerintah menjadi penyebab utama disfungsi koordinasi dan implementasi aturan tersebut misalnya Badan Koordinasi Keamanan Laut yang disokong Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2005 tentang Bakorkamla, beranggotakan 13 kementerian, termasuk lembaga keamanan nasional. Karena itu, diperlukan pembenahan mendasar bagi kepemimpinan Republik Indonesia ke depan, terlebih jelang Pemilu 2014, agar mampu memandang laut sebagai titik beranjaknya pengelolaan dan diplomasi laut Indonesia. 

Kasus Malaka memberi pelajaran bahwa laut adalah ruang pertarungan Indonesia sesungguhnya untuk mengembalikan kejayaan dan kesejahteraan rakyatnya. Untuk mengawali itu, kombinasi diplomasi hard-soft power harus dijadikan sebagai alat perjuangan kepentingan nasional. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar