Sabtu, 21 September 2013

Pelajaran dari Tanah Abang

Pelajaran dari Tanah Abang
Yuli Tirtariandi ;   Dosen FISIP Universitas Terbuka,
Anggota Asosiasi Ilmuwan Administrasi Negara (Asian) 
TEMPO.CO, 21 September 2013


Blok G Pasar Tanah Abang, Jakarta, sudah resmi beroperasi sejak awal September lalu. Diresmikan langsung oleh Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi), Blok G menandai era baru Pasar Tanah Abang. Rentetan konflik yang terjadi sejak konflik Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Haji Lulung, hingga penolakan pedagang kaki lima (PKL) untuk pindah ke Blok G, semuanya berakhir dengan indah. Para PKL bersedia berpindah ke Blok G dan akan menempati 900 lebih kios yang sudah disediakan. Lantas, apa hikmah yang dapat kita petik dari kasus Blok G Pasar Tanah Abang? Dari sudut pandang kebijakan maupun pelayanan publik, ada pelajaran berarti yang dapat kita petik sebagai bekal untuk perbaikan ke depannya. Ini dapat dilihat dari dua sisi baik Pemerintah Provinsi DKI maupun para pemangku kepentingan (stakeholder) terkait.

Pelajaran pertama yang sangat berharga adalah kesiapan seorang pejabat untuk tidak populis dan menjadi musuh sebagian rakyat. Keputusan merelokasi PKL pasti akan menimbulkan resistansi. Keberhasilan relokasi PKL di Jakarta akan menjadi barometer bagi daerah lain. Terbukti setelah itu, beberapa pemda gencar melakukan relokasi PKL. Kesiapan untuk menjadi tidak populis tentunya sudah dipertimbangkan secara matang oleh duet Jokowi-Ahok. 

Acungan jempol juga mesti kita berikan kepada sang wakil, yakni Ahok. Sederhana saja, di era sekarang ini kita butuh figur birokrat tahan banting seperti Ahok. Dicaci, dimaki, dan didemo sudah menjadi santapan Ahok. Terlepas dari sisi negatif Ahok yang berapi-api dan terkadang lepas kontrol, sebuah kebijakan publik harus siap menuai badai ketika dianggap tidak populis. Kebijakan Pemprov DKI untuk menggusur para PKL ke Blok G pasti dianggap tidak populis oleh para pedagang. Tetapi, di sisi lain, oleh masyarakat umum pengguna jalan, kebijakan itu sangatlah populis. 

Menjadi seorang birokrat tahan banting tentulah butuh nyali besar. Apalagi bagi seorang Ahok yang notabene bukan orang asli Jakarta. Justru di situlah keuntungan Ahok. Dia tidak punya rasa sungkan, karena tidak punya banyak sanak saudara di Jakarta. Untuk punya mentalitas seperti Ahok, memang butuh proses. Sebelumnya, dia sudah teruji ketika menjabat Bupati Belitung Timur di Provinsi Babel. Karakter masyarakat Pulau Belitung yang keras membuat dia tidak kaget lagi menghadapi reaksi masyarakat Jakarta yang menentang berbagai kebijakan Pemprov DKI. 

Di sinilah keuntungan duet Jokowi-Ahok. Sifat Jokowi yang kalem dan dulu terkenal dengan kisah suksesnya merelokasi para PKL di Banjarsari, Solo, ke tempat lain, dipadukan dengan sifat keras Ahok. Banyak pihak sempat berharap Jokowi-lah yang maju melakukan pendekatan terhadap para PKL Tanah Abang seperti ketika di Solo. Konon waktu memindahkan PKL di Banjarsari Solo, Jokowi melakukan cara persuasif dengan mengajak para ketua paguyuban PKL makan sebanyak 40 kali lebih selama hampir 6 bulan. Barulah kemudian Jokowi mengutarakan niatnya merelokasi PKL. Hal ini tidak terlihat dalam kasus Tanah Abang. Jokowi lebih banyak berada di belakang layar, meskipun sempat tiga kali datang ke Tanah Abang. Sedangkan Ahok, meskipun bersuara lebih kencang, malah tidak berani datang ke Tanah Abang. Apakah itu karena Ahok pengecut? Pastinya tidak, karena seorang pejabat publik harus berani menghadapi semua konsekuensi dari kebijakan yang dikeluarkannya. Dye (1995) mengatakan bahwa, dalam sebuah kebijakan publik, salah satu aspeknya adalah adanya hasil yang membuat sebuah kehidupan bersama menjadi tampil berbeda.

Dalam kasus Tanah Abang, masalah proses tidak lagi menjadi penting, apakah bintangnya Jokowi atau Ahok. Yang lebih penting adalah output di mana kawasan Pasar Tanah Abang menjadi berbeda dibanding sebelumnya. Nyaman, rapi, dan bebas macet. Tinggal nantinya promosi terhadap Blok G harus terus dilakukan seperti janji pemprov. Jika tidak, para PKL akan kembali lagi berdagang di jalan, karena lebih menjanjikan dari segi omzet. 

Di era otonomi daerah saat ini, semua pemerintah daerah harus berani membuat terobosan kebijakan. Inovasi kebijakan yang dibuat sebisa mungkin populis dan tidak menyengsarakan rakyat. Dalam kasus Tanah Abang, tidak semua kebijakan akan terasa adil bagi semua pihak. Tapi yang namanya kebijakan tetap harus diambil oleh Pemprov DKI. Kalau tidak ada keberanian mengambil kebijakan yang tidak populis, Jakarta tidak akan berubah ke arah lebih baik. Stagnasi pasti terjadi. Didemo dan dihujat rakyat adalah risiko yang memang harus ditanggung para penyelenggara negara, termasuk Ahok maupun Jokowi. Itu adalah konsekuensi jabatan. Yang perlu dilakukan adalah sikap konsisten para pejabat publik terhadap sebuah kebijakan. Konsistensi diperlukan agar kebijakan tidak setengah-setengah dan tidak terlalu sering dievaluasi. Dengan sendirinya, profesionalisme birokrasi juga akan tercipta. 

Satu hal yang menjadi pelajaran ke depan bagi duet Jokowi-Ahok adalah masalah sosialisasi kebijakan, dan persiapan infrastruktur. Pada kasus Blok G, seharusnya sosialisasi dilakukan jauh-jauh hari, dan diiringi persiapan tempat relokasi. Ketika sosialisasi kebijakan dilaksanakan, Blok G sendiri belum dibenahi. Kios-kios belum siap ditempati ketika kebijakan relokasi sudah telanjur diumumkan. Seharusnya dibalik, tempat baru sudah siap 100 persen, barulah perlahan-lahan sosialisasi kebijakan dilaksanakan. Bahkan jika nantinya setelah masa sewa gratis 6 bulan berakhir dan Blok G masih belum ramai dikunjungi pembeli, perlu dibuat evaluasi. Apakah promosi yang kurang atau ada faktor lain. Bila perlu, masa sewa gratis diperpanjang lagi. 

Meminjam strategi learning process approach dari Korten, terdapat pemberian batas toleransi yang cukup besar bagi birokrasi untuk berbuat kesalahan dalam proses pembentukan dan penyempurnaan profesionalisme. Kesalahan yang diperbuat para birokrat, misalnya dalam menelurkan dan mengimplementasikan sebuah kebijakan publik, menjadi sebuah input untuk memperbaiki diri. Melalui kesalahan tersebut, birokrat akan belajar untuk bekerja lebih efektif, kemudian melangkah menuju bekerja efisien, dan pada akhirnya belajar untuk berkembang. Berkaca dari hal tersebut, prinsip trial and error tampaknya bukan hal yang tabu bagi pelaksanaan sebuah kebijakan. Begitu juga nantinya dalam kasus PKL Tanah Abang. Jika nanti ada yang perlu dievaluasi, Jokowi dan Ahok tak usah sungkan dan malu memperbaikinya. Waktu akan melihat apakah Ahok masih akan menjadi sosok yang tahan banting di DKI, dan apakah Jokowi tetap kalem menangani segudang permasalahan di Ibu Kota. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar