Senin, 16 September 2013

Paradoks Jaringan dan Kemacetan

Paradoks Jaringan dan Kemacetan
Doni J Widiantono  ;   Pemerhati Masalah Transportasi
KOMPAS, 16 September 2013


Sebagaimana banyak diwacanakan, Jakarta akan mengalami kemacetan total pada tahun 2014. Pasalnya, jumlah kendaraan bermotor yang beredar di Jakarta telah melampaui kapasitas ruas jalan yang ada.
Berdasarkan data yang ada, Jakarta memiliki panjang jalan 7.659 kilometer dengan luas permukaan jalan 4.010 hektar, hanya 6,7 persen dari luas wilayah DKI Jakarta. Sementara kendaraan yang beredar di Jakarta tercatat 6,6 juta unit, 2,4 juta di antaranya kendaraan roda empat.
Dengan kondisi ini, artinya setiap kilometer panjang jalan akan dijejali oleh lebih dari 300 kendaraan roda empat dan 540 kendaraan roda dua. Dengan asumsi rata-rata ruas jalan yang ada terdiri dari dua lajur, maka rata-rata kepadatan adalah 150 kendaraan roda empat dan 270 kendaraan roda dua atau setara dengan 217,5 satuan mobil penumpang per kilometer lajur. Secara teoretis, angka ini telah melampaui angka maksimum yang dapat ditampung oleh sebuah ruas jalan, yaitu kurang lebih 167 satuan mobil penumpang per kilometer lajur.
Dengan tingkat kepadatan seperti itu, kecepatan rata-rata kendaraan dipastikan akan menurun hingga titik paling rendah sehingga waktu tempuh rata-rata juga akan jadi lebih lama. Dengan rata-rata kecepatan tempuh 10- 20 kilometer/jam pada saat puncak, maka jarak 30 kilometer harus ditempuh dalam waktu 1,5-3 jam perjalanan.
Hal ini tentu menyebabkan kerugian ekonomi tidak sedikit, baik dari sisi penggunaan bahan bakar, biaya operasi, maupun nilai waktu yang hilang. Selain kerugian pemborosan bahan bakar dan nilai waktu, kemacetan tersebut juga berdampak lainnya, seperti polusi udara, menurunnya produktivitas, dan meningkatnya stres bagi pengemudi.
Paradoks jaringan
Secara teoretis, kemacetan lalu lintas umumnya disebabkan dua hal. Pertama, peningkatan volume lalu lintas yang mendekati kapasitas jalan. Kedua, adanya gangguan terhadap arus kendaraan yang ada, seperti penyempitan jalan, terjadi kecelakaan, kerusakan jalan, atau adanya gangguan dari aktivitas di samping jalan. Kemacetan ini ada yang bersifat permanen karena memang secara fisik mengalami penyempitan atau ada pula yang bersifat temporer dan situasional karena penumpukan beban lalu lintas pada saat-saat tertentu seperti jam puncak pagi dan sore.
Penanganan masalah kemacetan melalui cara-cara instan seperti pembangunan jalan baru, jalan layang, dan rencana pengembangan jaringan jalan dalam kota tampaknya tidak selalu akan meningkatkan kapasitas jaringan jalan. Dalam teori jaringan, hal ini dikenal dengan istilah network paradox atau paradoks jaringan. Kapasitas jaringan pada dasarnya lebih banyak ditentukan oleh kapasitas persimpangan yang ada. Tepatnya, dalam suatu koridor jalan volume kendaraan yang dapat melewati ruas jalan di sepanjang koridor tersebut ditentukan oleh kapasitas simpang yang terkecil (minimum). Artinya, jika terjadi penyempitan jalan pada suatu persimpangan, hal itu berdampak pada ruas yang lain di sepanjang koridor.
Jika bagian-bagian ujung dari ruas jalan layang itu berakhir pada persimpangan dengan kapasitas yang terbatas, maka pembangunan jalan layang tersebut pada hakikatnya tidak akan menambah kapasitas jaringan secara berarti. Hal ini telah terbukti pada ruas jalan layang non-tol Antasari yang langsung mengalami kemacetan panjang pada hari pertama dioperasikan.
Strategi utama yang harus dilakukan seharusnya melakukan upaya-upaya peningkatan kapasitas persimpangan. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa suatu ruas jalan yang memasuki persimpangan sebidang, maka kapasitas setiap lengan simpangnya hanya akan menjadi sepertiga atau seperempat dari kapasitas ruas pendekat yang ada karena harus dibagi dengan jumlah lengan simpang yang lain. Dalam upaya mengatasi kemacetan kota Jakarta dan sekitarnya telah banyak konsep dan studi transportasi yang dilakukan, tetapi tampaknya belum banyak yang diimplementasikan.
Sejak 2000-an saja setidaknya ada tiga kajian transportasi, yaitu Study on Integrated Transportation Master Plan (SITRAMP) Jabodetabek tahap I pada tahun 2000, dilanjutkan SITRAMP tahap II tahun 2004 yang dibantu Japan International Cooperation Agency (JICA). Kantor Menko Perekonomian juga mengembangkan Jabodetabek Urban Transportation Policy Integration (JUTPI) sebagai upaya pemutakhiran kajian terdahulu.
Pemerintah melalui Menko Perekonomian juga telah merumuskan 17 kebijakan yang kemudian dikembangkan menjadi 20 kebijakan untuk penanganan masalah transportasi Jabodetabek ini. Namun, ini pun belum terlihat keseriusan masing-masing pihak untuk menangani persoalan kemacetan lalu lintas di Jakarta. Alhasil, yang dirasakan masyarakat sejauh ini adalah suasana kesemrawutan dan kurangnya koordinasi serta kemauan politik. Seharusnya semua pihak, termasuk pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat, memahami peran dan tugas masing- masing sehingga tidak justru memperburuk keadaan yang pada akhirnya justru menimbulkan kerugian yang lebih besar.
Penanganan multifaset
Penanganan masalah kemacetan yang sudah sangat akut seperti Jakarta tampaknya tidak dapat dilakukan sepotong-sepotong dan parsial belaka. Perlu adanya pendekatan multifaset yang lebih terintegrasi dan terpadu, baik antarjenjang pemerintahan, lintas wilayah, dan antarpemangku kepentingan lainnya (swasta, komunitas, pakar). Kebijakan dan strategi penanganan masalah kemacetan tersebut perlu ditinjau dari sisi makro, mezzo, maupun mikro. Selain itu, aspek yang dilakukan juga harus mencakup aspek teknis, penegakan hukum, dan aspek pendidikan secara menyeluruh dan bersamaan.
Pada level makro, pembangunan kota-kota baru yang berfungsi sebagai counter magnet terhadap kota Jakarta perlu didorong agar tumbuh jadi kota-kota mandiri di mana 70 persen penduduknya tinggal dan bekerja di kota tersebut. Untuk itu perlu dipertimbangkan relokasi beberapa kantor BUMN atau gedung-gedung perkantoran swasta lainnya sehingga tidak semua perkantoran terpusat di Jakarta.
Penataan ruang perkotaan di kota inti dan kota-kota satelit perlu dikembangkan ke arah model perencanaan kota yang bersifat kompak dan terhubung dengan jaringan transportasi massal, baik busway maupun mass rapid transit (MRT) atau yang dikenal dengan konsep transit oriented development (ToD). Untuk itu perlu dikembangkan kawasan-kawasan terpadu yang kompak, yang memadukan fungsi-fungsi hunian, perkantoran, dan komersial secara terintegrasi dalam suatu superblok.
Pada level mezzo di koridor barat (BSD), timur (Cikarang), selatan (Depok, Cibubur, Sentul), perlu dikembangkan sistem angkutan umum massal yang terintegrasi, di mana moda transportasi lokal (feeder) dan antarwilayah (busway) serta jaringan KA dapat terhubung lancar sehingga pengguna angkutan umum dapat berganti-ganti moda tanpa halangan yang berarti.
Dalam upaya mengoptimalkan kapasitas ruas-ruas jalan yang ada, perlu dikembangkan skema-skema transport demand management, seperti penyediaan fasilitas parkir di stasiun-stasiun atau terminal angkutan umum massal. Selain itu, perlu kebijakan yang memprioritaskan kendaraan dengan okupansi tinggi, seperti angkutan antar-jemput, berkendaraan bersama dalam satu tempat kerja, atau pengembangan sistem angkutan shuttle dari lokasi-lokasi hunian yang disediakan secara swadaya oleh penghuni/pengembang.
Kebijakan pada level mikro perlu diarahkan pada keterpaduan penanganan prasarana dan sarana serta penerapan skema-skema manajemen lalu lintas. Komponen prasarana dan sarana yang perlu ditangani antara lain menyangkut penanganan/peningkatan kapasitas persimpangan melalui pelebaran lengan-lengan simpang, pemasangan alat pengatur instrumen lalu lintas yang terkoordinasi, pembangunan jembatan layang atau terowongan pada persimpangan yang padat maupun pelintasan jalan dengan rel KA, perbaikan kerusakan kondisi jaringan jalan dan pelebaran bagian- bagian yang mengalami penyempitan, dan penyediaan bahu jalan, rambu-rambu, lampu penerangan dan fasilitas pejalan kaki di perkotaan yang memadai.
Dari segi rekayasa dan manajemen lalu lintas, perlu pembatasan terhadap penggunaan kendaraan pribadi dan kendaraan barang pada waktu-waktu tertentu, melalui skema rekayasa lalu lintas. Misalnya, penerapan road pricing atau tol bagi kendaraan yang memasuki suatu area tertentu seperti jalan-jalan utama dan pusat bisnis; pembatasan lalu lintas melalui sistem ganjil-genap atau pembatasan kendaraan yang beroperasi pada hari kerja; penerapan tarif parkir yang tinggi pada zona-zona tertentu dan pembatasan waktu parkir; serta penggunaan sistem informasi lalu lintas yang dapat memberikan informasi akurat mengenai kondisi lalu lintas.
Selain upaya-upaya itu, perlu upaya penegakan hukum dan penyuluhan yang efektif melalui penerbitan SIM yang lebih selektif, penindakan yang tegas terhadap pelanggar peraturan lalu lintas, dan penertiban pengguna jalan yang tidak semestinya.

Masalah kemacetan lalu lintas seperti Jakarta memang butuh tindakan besar yang kompleks dan rumit. Untuk itu dibutuhkan upaya bersama dan kemauan politik yang kuat dari semua pihak secara sinergis dan sistemik, tidak sekadar simptomatik. Sudah saatnya kita berkaca pada kota- kota global lainnya di Asia, seperti Hongkong, Kuala Lumpur, dan Singapura, yang sudah cukup berhasil mengatasi persoalan kemacetan lalu lintasnya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar