|
Sebagaimana banyak diwacanakan,
Jakarta akan mengalami kemacetan total pada tahun 2014. Pasalnya, jumlah
kendaraan bermotor yang beredar di Jakarta telah melampaui kapasitas ruas jalan
yang ada.
Berdasarkan
data yang ada, Jakarta memiliki panjang jalan 7.659 kilometer dengan luas
permukaan jalan 4.010 hektar, hanya 6,7 persen dari luas wilayah DKI Jakarta.
Sementara kendaraan yang beredar di Jakarta tercatat 6,6 juta unit, 2,4 juta di
antaranya kendaraan roda empat.
Dengan kondisi
ini, artinya setiap kilometer panjang jalan akan dijejali oleh lebih dari 300
kendaraan roda empat dan 540 kendaraan roda dua. Dengan asumsi rata-rata ruas
jalan yang ada terdiri dari dua lajur, maka rata-rata kepadatan adalah 150
kendaraan roda empat dan 270 kendaraan roda dua atau setara dengan 217,5 satuan
mobil penumpang per kilometer lajur. Secara teoretis, angka ini telah melampaui
angka maksimum yang dapat ditampung oleh sebuah ruas jalan, yaitu kurang lebih
167 satuan mobil penumpang per kilometer lajur.
Dengan tingkat
kepadatan seperti itu, kecepatan rata-rata kendaraan dipastikan akan menurun
hingga titik paling rendah sehingga waktu tempuh rata-rata juga akan jadi lebih
lama. Dengan rata-rata kecepatan tempuh 10- 20 kilometer/jam pada saat puncak,
maka jarak 30 kilometer harus ditempuh dalam waktu 1,5-3 jam perjalanan.
Hal ini tentu
menyebabkan kerugian ekonomi tidak sedikit, baik dari sisi penggunaan bahan
bakar, biaya operasi, maupun nilai waktu yang hilang. Selain kerugian
pemborosan bahan bakar dan nilai waktu, kemacetan tersebut juga berdampak
lainnya, seperti polusi udara, menurunnya produktivitas, dan meningkatnya stres
bagi pengemudi.
Paradoks jaringan
Secara
teoretis, kemacetan lalu lintas umumnya disebabkan dua hal. Pertama,
peningkatan volume lalu lintas yang mendekati kapasitas jalan. Kedua, adanya
gangguan terhadap arus kendaraan yang ada, seperti penyempitan jalan, terjadi
kecelakaan, kerusakan jalan, atau adanya gangguan dari aktivitas di samping
jalan. Kemacetan ini ada yang bersifat permanen karena memang secara fisik
mengalami penyempitan atau ada pula yang bersifat temporer dan situasional
karena penumpukan beban lalu lintas pada saat-saat tertentu seperti jam puncak
pagi dan sore.
Penanganan
masalah kemacetan melalui cara-cara instan seperti pembangunan jalan baru,
jalan layang, dan rencana pengembangan jaringan jalan dalam kota tampaknya
tidak selalu akan meningkatkan kapasitas jaringan jalan. Dalam teori jaringan,
hal ini dikenal dengan istilah network paradox atau paradoks
jaringan. Kapasitas jaringan pada dasarnya lebih banyak ditentukan oleh
kapasitas persimpangan yang ada. Tepatnya, dalam suatu koridor jalan volume
kendaraan yang dapat melewati ruas jalan di sepanjang koridor tersebut
ditentukan oleh kapasitas simpang yang terkecil (minimum). Artinya, jika
terjadi penyempitan jalan pada suatu persimpangan, hal itu berdampak pada ruas
yang lain di sepanjang koridor.
Jika
bagian-bagian ujung dari ruas jalan layang itu berakhir pada persimpangan
dengan kapasitas yang terbatas, maka pembangunan jalan layang tersebut pada
hakikatnya tidak akan menambah kapasitas jaringan secara berarti. Hal ini telah
terbukti pada ruas jalan layang non-tol Antasari yang langsung mengalami
kemacetan panjang pada hari pertama dioperasikan.
Strategi utama
yang harus dilakukan seharusnya melakukan upaya-upaya peningkatan kapasitas
persimpangan. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa suatu ruas jalan yang
memasuki persimpangan sebidang, maka kapasitas setiap lengan simpangnya hanya
akan menjadi sepertiga atau seperempat dari kapasitas ruas pendekat yang ada
karena harus dibagi dengan jumlah lengan simpang yang lain. Dalam upaya
mengatasi kemacetan kota Jakarta dan sekitarnya telah banyak konsep dan studi
transportasi yang dilakukan, tetapi tampaknya belum banyak yang
diimplementasikan.
Sejak 2000-an
saja setidaknya ada tiga kajian transportasi, yaitu Study on Integrated Transportation Master Plan (SITRAMP)
Jabodetabek tahap I pada tahun 2000, dilanjutkan SITRAMP tahap II tahun 2004
yang dibantu Japan International
Cooperation Agency (JICA). Kantor Menko Perekonomian juga mengembangkan Jabodetabek Urban Transportation Policy
Integration (JUTPI) sebagai upaya pemutakhiran kajian terdahulu.
Pemerintah
melalui Menko Perekonomian juga telah merumuskan 17 kebijakan yang kemudian
dikembangkan menjadi 20 kebijakan untuk penanganan masalah transportasi
Jabodetabek ini. Namun, ini pun belum terlihat keseriusan masing-masing pihak
untuk menangani persoalan kemacetan lalu lintas di Jakarta. Alhasil, yang
dirasakan masyarakat sejauh ini adalah suasana kesemrawutan dan kurangnya
koordinasi serta kemauan politik. Seharusnya semua pihak, termasuk pemerintah,
dunia usaha, dan masyarakat, memahami peran dan tugas masing- masing sehingga
tidak justru memperburuk keadaan yang pada akhirnya justru menimbulkan kerugian
yang lebih besar.
Penanganan multifaset
Penanganan
masalah kemacetan yang sudah sangat akut seperti Jakarta tampaknya tidak dapat
dilakukan sepotong-sepotong dan parsial belaka. Perlu adanya pendekatan
multifaset yang lebih terintegrasi dan terpadu, baik antarjenjang pemerintahan,
lintas wilayah, dan antarpemangku kepentingan lainnya (swasta, komunitas,
pakar). Kebijakan dan strategi penanganan masalah kemacetan tersebut perlu
ditinjau dari sisi makro, mezzo, maupun mikro. Selain itu, aspek yang dilakukan
juga harus mencakup aspek teknis, penegakan hukum, dan aspek pendidikan secara
menyeluruh dan bersamaan.
Pada level
makro, pembangunan kota-kota baru yang berfungsi sebagai counter magnet terhadap kota Jakarta
perlu didorong agar tumbuh jadi kota-kota mandiri di mana 70 persen penduduknya
tinggal dan bekerja di kota tersebut. Untuk itu perlu dipertimbangkan relokasi
beberapa kantor BUMN atau gedung-gedung perkantoran swasta lainnya sehingga
tidak semua perkantoran terpusat di Jakarta.
Penataan ruang
perkotaan di kota inti dan kota-kota satelit perlu dikembangkan ke arah model
perencanaan kota yang bersifat kompak dan terhubung dengan jaringan transportasi
massal, baik busway maupun mass rapid transit (MRT) atau yang
dikenal dengan konsep transit
oriented development (ToD). Untuk itu perlu dikembangkan
kawasan-kawasan terpadu yang kompak, yang memadukan fungsi-fungsi hunian,
perkantoran, dan komersial secara terintegrasi dalam suatu superblok.
Pada level
mezzo di koridor barat (BSD), timur (Cikarang), selatan (Depok, Cibubur,
Sentul), perlu dikembangkan sistem angkutan umum massal yang terintegrasi, di
mana moda transportasi lokal (feeder)
dan antarwilayah (busway) serta
jaringan KA dapat terhubung lancar sehingga pengguna angkutan umum dapat
berganti-ganti moda tanpa halangan yang berarti.
Dalam upaya
mengoptimalkan kapasitas ruas-ruas jalan yang ada, perlu dikembangkan
skema-skema transport demand management,
seperti penyediaan fasilitas parkir di stasiun-stasiun atau terminal angkutan
umum massal. Selain itu, perlu kebijakan yang memprioritaskan kendaraan dengan
okupansi tinggi, seperti angkutan antar-jemput, berkendaraan bersama dalam satu
tempat kerja, atau pengembangan sistem angkutan shuttle dari lokasi-lokasi hunian yang disediakan secara swadaya
oleh penghuni/pengembang.
Kebijakan pada
level mikro perlu diarahkan pada keterpaduan penanganan prasarana dan sarana
serta penerapan skema-skema manajemen lalu lintas. Komponen prasarana dan
sarana yang perlu ditangani antara lain menyangkut penanganan/peningkatan
kapasitas persimpangan melalui pelebaran lengan-lengan simpang, pemasangan alat
pengatur instrumen lalu lintas yang terkoordinasi, pembangunan jembatan layang
atau terowongan pada persimpangan yang padat maupun pelintasan jalan dengan rel
KA, perbaikan kerusakan kondisi jaringan jalan dan pelebaran bagian- bagian
yang mengalami penyempitan, dan penyediaan bahu jalan, rambu-rambu, lampu
penerangan dan fasilitas pejalan kaki di perkotaan yang memadai.
Dari segi
rekayasa dan manajemen lalu lintas, perlu pembatasan terhadap penggunaan
kendaraan pribadi dan kendaraan barang pada waktu-waktu tertentu, melalui skema
rekayasa lalu lintas. Misalnya, penerapan road
pricing atau tol bagi kendaraan yang memasuki suatu area tertentu seperti
jalan-jalan utama dan pusat bisnis; pembatasan lalu lintas melalui sistem
ganjil-genap atau pembatasan kendaraan yang beroperasi pada hari kerja;
penerapan tarif parkir yang tinggi pada zona-zona tertentu dan pembatasan waktu
parkir; serta penggunaan sistem informasi lalu lintas yang dapat memberikan
informasi akurat mengenai kondisi lalu lintas.
Selain
upaya-upaya itu, perlu upaya penegakan hukum dan penyuluhan yang efektif melalui
penerbitan SIM yang lebih selektif, penindakan yang tegas terhadap pelanggar
peraturan lalu lintas, dan penertiban pengguna jalan yang tidak semestinya.
Masalah
kemacetan lalu lintas seperti Jakarta memang butuh tindakan besar yang kompleks
dan rumit. Untuk itu dibutuhkan upaya bersama dan kemauan politik yang kuat
dari semua pihak secara sinergis dan sistemik, tidak sekadar simptomatik. Sudah
saatnya kita berkaca pada kota- kota global lainnya di Asia, seperti Hongkong,
Kuala Lumpur, dan Singapura, yang sudah cukup berhasil mengatasi persoalan
kemacetan lalu lintasnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar