|
Saat ini DPR sedang sibuk menyiapkan
revisi Undang- Undang Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil.
Mengapa
direvisi? Karena Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2010 telah membatalkan
beberapa pasal terkait dengan hak pengusahaan perairan pesisir (HP3) yang
dianggap bertentangan dengan konstitusi. Bagaimana desain revisi yang bisa
diusulkan?
Kerangka revisi
Sejak UU ini
disahkan pada 2007, perdebatan publik tentang HP3 tak kunjung usai. Sebenarnya
baik kalangan LSM maupun pemerintah memiliki argumentasi yang sama kuat dan
semangat sama tinggi untuk membela rakyat. Namun, tampaknya sulit mencapai
titik temu sehingga penyelesaian secara demokratis melalui uji materi di MK
harus ditempuh.
MK sebagai
institusi demokrasi merupakan pintu terakhir segala perdebatan tentang posisi
sebuah UU dalam perspektif konstitusi. Tentu, keputusan MK ini bukan soal
kalah-menang, tetapi merupakan bagian dari proses demokrasi yang hasilnya harus
dihormati bersama. Karena itu, agenda berikutnya bukanlah meratapi atau
selebrasi atas keputusan itu, melainkan memperbaiki lubang-lubang yang ada
untuk menjamin kepastian hukum dalam pengelolaan pesisir. Bagaimanapun, UU ini
sangat penting. Sebagai salah satu negara berpesisir terluas dan pulau-pulau
kecil terbanyak di dunia, tentu instrumen hukum untuk mengelolanya harus ada.
Lalu hal apa yang perlu diperhatikan?
Pertama,
kalimat pasal per pasal bukanlah kalimat netral, tetapi cerminan dari kerangka
filosofis dan pendekatan yang ada. Paling tidak ada tiga pendekatan dalam
pengelolaan sumber daya: serba- negara, pasar, dan komunitarian untuk tiga
dimensi, yakni ekologi, sosial, dan ekonomi. Nah, HP3 ditolak karena kuatnya
orientasi pasar (dimensi ekonomi) yang dikhawatirkan berpotensi menyingkirkan
masyarakat. Meski pada pasal lain orientasi komunitarian untuk kepentingan
hak-hak masyarakat lokal (dimensi sosial) juga tak kalah kuat. Begitu pula
prinsip desentralisasi juga mewarnai UU No 27/2007.
Jadi,
perdebatan tentang dimensi sosial dan ekonomilah yang tampaknya mengemuka,
sementara perdebatan dimensi ekologi tentang rehabilitasi, konservasi, dan
pengelolaan sumber daya relatif kecil. Pilihan pendekatan tersebut mestinya
harus berdasar konstitusi, yang menegaskan bahwa negara berkuasa atas sumber
daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Persoalannya, kapan negara
boleh mendelegasikan atau mendevolusikan kewenangannya kepada masyarakat atau
swasta. Dalam bahasa yang lebih konkret, pada titik mana pemerintah dan
masyarakat memiliki ruang kelola dan pemanfaatan, dan pada kondisi seperti apa
swasta dilarang atau diperbolehkan memanfaatkan sumber daya pesisir.
Kedua, pasal
HP3 telah dihapus dan selanjutnya pasal 16 draf Revisi UU Pesisir ini memuat
tentang izin lokasi. Tentu HP3 dan izin memiliki perbedaan mendasar sebagaimana
pandangan pakar hukum Maria Sumardjono dan Nurhasan Ismail. Secara hukum, HP3
adalah hak kebendaan, sementara izin adalah hak perorangan. Hak kebendaan
memungkinkan terjadinya hubungan kepemilikan sehingga biasanya diiringi dengan
hak untuk mengalihkan serta menjadikannya sebagai jaminan utang. Sementara hak
perorangan merupakan hubungan pemanfaatan semata yang kewenangannya sangat
terbatas, dan tidak dapat mengalihkan obyek hak kepada pihak lain. Dengan
ketentuan izin ini, negara memiliki kontrol yang lebih kuat terhadap
pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut.
Harus diakui
bahwa saat ini setiap sektor sudah memiliki pengaturan sendiri tentang izin
pemanfaatan melalui peraturan perundangan sektoral. Karena itu, revisi UU ini
mengatur aktivitas pemanfaatan wilayah pesisir yang sudah diatur tersebut
melalui izin lokasi, sebagai dasar untuk mendapatkan izin pemanfaatan. Izin
lokasi hanya dikeluarkan untuk aktivitas yang peruntukannya sesuai dengan
rencana zonasi. Pada Pasal 17 ditegaskan, pemberian izin lokasi wajib
mempertimbangkan kelestarian ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil,
masyarakat hukum adat, kepentingan nasional, dan hak lintas damai bagi kapal
asing. Posisi masyarakat hukum adat tetap kuat karena Pasal 16 Ayat (5)
menegaskan bahwa pemanfaatan sumber daya perairan pesisir pada wilayah
masyarakat hukum adat oleh masyarakat hukum adat menjadi kewenangan masyarakat
hukum adat setempat.
Izin lokasi ini
penting untuk menjawab kekosongan pengaturan. Selama ini pemanfaatan wilayah
pesisir sering tumpang tindih antarsektor. Masing-masing mengatur dirinya
sendiri melalui mekanisme izin atas dasar peraturan perundangan sektoral yang
sudah ada. Namun, dasar sebuah aktivitas bisa dilakukan di satu tempat atau
tempat lain, ternyata tak ada pegangannya. Semua bergantung ”kebijakan”
pemerintah yang tidak ada dasar hukumnya.
Beberapa
kalangan masih berkeberatan terhadap ketentuan izin lokasi yang dianggap masih
berorientasi pasar dan tidak ada bedanya dengan HP3. Kekhawatiran ini
didasarkan fakta di lapangan di mana nelayan sering jadi korban aktivitas
pemanfaatan wilayah pesisir oleh swasta. Masa lalu pesisir memang belum diatur,
dan ini yang membuat kejadian-kejadian seperti itu muncul. Hadirnya sebuah UU
justru diperuntukkan menjawab persoalan itu dan bukan malah memperparah. Lalu,
kira-kira apa yang perlu diantisipasi agar harapan tersebut tercapai?
Tiga langkah antisipasi
Pertama,
sebenarnya yang paling krusial bukan terletak pada izin, melainkan pada rencana
zonasi. Pada rencana zonasi inilah ketentuan jenis dan pelaku aktivitas
pemanfaatan dibuat melalui peraturan daerah (perda). Dengan demikian, rencana
zonasi adalah produk politik. Rencana zonasi sangat krusial karena menjadi
dasar dikeluarkannya izin. Jika keputusan politik daerah sepakat bahwa wilayah
pesisirnya tertutup untuk aktivitas ekonomi yang berarti zona pemanfaatan
menjadi minim, maka tentu tidak akan ada izin lokasi yang dikeluarkan.
Persoalan adalah bahwa hingga saat ini hanya tiga provinsi dan tujuh kabupaten
yang sudah memiliki rencana zonasi dengan perda. Hal ini terkait dengan masih
lemahnya komitmen daerah untuk menyusun rencana zonasi.
Kedua, akselerasi
penyusunan rencana zonasi pesisir di daerah menjadi penting. Karena itu,
pemerintah pusat perlu menciptakan instrumen fiskal untuk memacu daerah, berupa
insentif dan disinsentif fiskal. Besaran dana alokasi umum (DAU) dan dana
alokasi khusus (DAK) bisa dijadikan alat kendali untuk memaksa daerah membuat
rencana zonasi.
Ketiga, memberi
akses yang lebih luas kepada masyarakat pesisir untuk bisa turut menentukan
rencana zonasi. Di sinilah sebenarnya peran masyarakat sipil seperti LSM,
akademisi, dan pers untuk turut mengontrol proses penyusunan rencana zonasi
yang adil. Harus diakui, rencana zonasi adalah arena politik, bukan arena
teknis. Di sinilah berbagai kepentingan akan bertemu. Karena itu, memberdayakan
masyarakat pesisir menjadi penting agar kepentingannya selalu terjaga.
Tentu pada saat
yang sama, politisi dan pemerintah juga harus punya komitmen bersama untuk
terus melindungi masyarakat pesisir ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar