Senin, 16 September 2013

Menyisir UU Pesisir

Menyisir UU Pesisir
Arif Satria  ;   Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB
KOMPAS, 16 September 2013


Saat ini DPR sedang sibuk menyiapkan revisi Undang- Undang Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Mengapa direvisi? Karena Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2010 telah membatalkan beberapa pasal terkait dengan hak pengusahaan perairan pesisir (HP3) yang dianggap bertentangan dengan konstitusi. Bagaimana desain revisi yang bisa diusulkan?
Kerangka revisi
Sejak UU ini disahkan pada 2007, perdebatan publik tentang HP3 tak kunjung usai. Sebenarnya baik kalangan LSM maupun pemerintah memiliki argumentasi yang sama kuat dan semangat sama tinggi untuk membela rakyat. Namun, tampaknya sulit mencapai titik temu sehingga penyelesaian secara demokratis melalui uji materi di MK harus ditempuh.
MK sebagai institusi demokrasi merupakan pintu terakhir segala perdebatan tentang posisi sebuah UU dalam perspektif konstitusi. Tentu, keputusan MK ini bukan soal kalah-menang, tetapi merupakan bagian dari proses demokrasi yang hasilnya harus dihormati bersama. Karena itu, agenda berikutnya bukanlah meratapi atau selebrasi atas keputusan itu, melainkan memperbaiki lubang-lubang yang ada untuk menjamin kepastian hukum dalam pengelolaan pesisir. Bagaimanapun, UU ini sangat penting. Sebagai salah satu negara berpesisir terluas dan pulau-pulau kecil terbanyak di dunia, tentu instrumen hukum untuk mengelolanya harus ada. Lalu hal apa yang perlu diperhatikan?
Pertama, kalimat pasal per pasal bukanlah kalimat netral, tetapi cerminan dari kerangka filosofis dan pendekatan yang ada. Paling tidak ada tiga pendekatan dalam pengelolaan sumber daya: serba- negara, pasar, dan komunitarian untuk tiga dimensi, yakni ekologi, sosial, dan ekonomi. Nah, HP3 ditolak karena kuatnya orientasi pasar (dimensi ekonomi) yang dikhawatirkan berpotensi menyingkirkan masyarakat. Meski pada pasal lain orientasi komunitarian untuk kepentingan hak-hak masyarakat lokal (dimensi sosial) juga tak kalah kuat. Begitu pula prinsip desentralisasi juga mewarnai UU No 27/2007.
Jadi, perdebatan tentang dimensi sosial dan ekonomilah yang tampaknya mengemuka, sementara perdebatan dimensi ekologi tentang rehabilitasi, konservasi, dan pengelolaan sumber daya relatif kecil. Pilihan pendekatan tersebut mestinya harus berdasar konstitusi, yang menegaskan bahwa negara berkuasa atas sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Persoalannya, kapan negara boleh mendelegasikan atau mendevolusikan kewenangannya kepada masyarakat atau swasta. Dalam bahasa yang lebih konkret, pada titik mana pemerintah dan masyarakat memiliki ruang kelola dan pemanfaatan, dan pada kondisi seperti apa swasta dilarang atau diperbolehkan memanfaatkan sumber daya pesisir.
Kedua, pasal HP3 telah dihapus dan selanjutnya pasal 16 draf Revisi UU Pesisir ini memuat tentang izin lokasi. Tentu HP3 dan izin memiliki perbedaan mendasar sebagaimana pandangan pakar hukum Maria Sumardjono dan Nurhasan Ismail. Secara hukum, HP3 adalah hak kebendaan, sementara izin adalah hak perorangan. Hak kebendaan memungkinkan terjadinya hubungan kepemilikan sehingga biasanya diiringi dengan hak untuk mengalihkan serta menjadikannya sebagai jaminan utang. Sementara hak perorangan merupakan hubungan pemanfaatan semata yang kewenangannya sangat terbatas, dan tidak dapat mengalihkan obyek hak kepada pihak lain. Dengan ketentuan izin ini, negara memiliki kontrol yang lebih kuat terhadap pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut.
Harus diakui bahwa saat ini setiap sektor sudah memiliki pengaturan sendiri tentang izin pemanfaatan melalui peraturan perundangan sektoral. Karena itu, revisi UU ini mengatur aktivitas pemanfaatan wilayah pesisir yang sudah diatur tersebut melalui izin lokasi, sebagai dasar untuk mendapatkan izin pemanfaatan. Izin lokasi hanya dikeluarkan untuk aktivitas yang peruntukannya sesuai dengan rencana zonasi. Pada Pasal 17 ditegaskan, pemberian izin lokasi wajib mempertimbangkan kelestarian ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, masyarakat hukum adat, kepentingan nasional, dan hak lintas damai bagi kapal asing. Posisi masyarakat hukum adat tetap kuat karena Pasal 16 Ayat (5) menegaskan bahwa pemanfaatan sumber daya perairan pesisir pada wilayah masyarakat hukum adat oleh masyarakat hukum adat menjadi kewenangan masyarakat hukum adat setempat.
Izin lokasi ini penting untuk menjawab kekosongan pengaturan. Selama ini pemanfaatan wilayah pesisir sering tumpang tindih antarsektor. Masing-masing mengatur dirinya sendiri melalui mekanisme izin atas dasar peraturan perundangan sektoral yang sudah ada. Namun, dasar sebuah aktivitas bisa dilakukan di satu tempat atau tempat lain, ternyata tak ada pegangannya. Semua bergantung ”kebijakan” pemerintah yang tidak ada dasar hukumnya.
Beberapa kalangan masih berkeberatan terhadap ketentuan izin lokasi yang dianggap masih berorientasi pasar dan tidak ada bedanya dengan HP3. Kekhawatiran ini didasarkan fakta di lapangan di mana nelayan sering jadi korban aktivitas pemanfaatan wilayah pesisir oleh swasta. Masa lalu pesisir memang belum diatur, dan ini yang membuat kejadian-kejadian seperti itu muncul. Hadirnya sebuah UU justru diperuntukkan menjawab persoalan itu dan bukan malah memperparah. Lalu, kira-kira apa yang perlu diantisipasi agar harapan tersebut tercapai?
Tiga langkah antisipasi
Pertama, sebenarnya yang paling krusial bukan terletak pada izin, melainkan pada rencana zonasi. Pada rencana zonasi inilah ketentuan jenis dan pelaku aktivitas pemanfaatan dibuat melalui peraturan daerah (perda). Dengan demikian, rencana zonasi adalah produk politik. Rencana zonasi sangat krusial karena menjadi dasar dikeluarkannya izin. Jika keputusan politik daerah sepakat bahwa wilayah pesisirnya tertutup untuk aktivitas ekonomi yang berarti zona pemanfaatan menjadi minim, maka tentu tidak akan ada izin lokasi yang dikeluarkan. Persoalan adalah bahwa hingga saat ini hanya tiga provinsi dan tujuh kabupaten yang sudah memiliki rencana zonasi dengan perda. Hal ini terkait dengan masih lemahnya komitmen daerah untuk menyusun rencana zonasi.
Kedua, akselerasi penyusunan rencana zonasi pesisir di daerah menjadi penting. Karena itu, pemerintah pusat perlu menciptakan instrumen fiskal untuk memacu daerah, berupa insentif dan disinsentif fiskal. Besaran dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK) bisa dijadikan alat kendali untuk memaksa daerah membuat rencana zonasi.
Ketiga, memberi akses yang lebih luas kepada masyarakat pesisir untuk bisa turut menentukan rencana zonasi. Di sinilah sebenarnya peran masyarakat sipil seperti LSM, akademisi, dan pers untuk turut mengontrol proses penyusunan rencana zonasi yang adil. Harus diakui, rencana zonasi adalah arena politik, bukan arena teknis. Di sinilah berbagai kepentingan akan bertemu. Karena itu, memberdayakan masyarakat pesisir menjadi penting agar kepentingannya selalu terjaga.

Tentu pada saat yang sama, politisi dan pemerintah juga harus punya komitmen bersama untuk terus melindungi masyarakat pesisir ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar