|
Kalau tidak karena peristiwa
yang menimpa Suyat pada awal tahun 1998, pasti tidak akan ada perubahan yang
menempatkan mereka pada posisi seperti yang mereka nikmati saat ini. Tetapi,
sayangnya mereka seperti lupa itu semua.
Itulah penggalan keprihatinan
sekaligus kekecewaan Suyatno, kakak kandung Suyat, salah satu korban
penghilangan paksa 1997/1998 dalam beberapa wawancara dan ditulis Mugiyanto,
Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia, dalam artikel berjudul ”Mengenang
Para Martir Perubahan”.
Rentangan baris kata refleksi
dari Suyatno bukanlah tanpa dasar mengingat Suyat beserta aktivis prodemokrasi
yang hilang pada 1997/1998 hingga kini masih belum ditemukan. Sementara itu,
para pemimpin di era Reformasi tak memiliki kemauan politik untuk mengungkap
kasus penculikan. Padahal, kekuasaan yang dinikmati para pemimpin hari ini
tentu tidak bisa dilepaskan dari peran Suyat dan para pejuang demokratik lain
yang lantang menentang rezim Orde Baru (Orba) demi kehidupan politik yang
demokratik.
Meski terdapat faktor lain yang
memicu perubahan 1998, sejarah tak bisa menyembunyikan peran para pejuang
demokratik itu. Mereka yang hilang merupakan pejuang perubahan yang membawa
semangat perlawanan untuk menjatuhkan rezim Soeharto pada Mei 1998.
Sungguh sulit dibayangkan, di
tengah tekanan rezim yang represif saat itu, para aktivis demokratik melakukan
aksi-aksi masa menyuarakan suara-suara yang terpendam dan teraniaya. Di tengah
sebagian besar masyarakat bungkam karena takut kejamnya rezim militeristik
Orba, para pejuang muda demokratik seolah tak kenal rasa takut dan terus
bergerak melawan rezim Orba. Stigma komunis dan tuduhan mengganggu stabilitas
keamanan adalah santapan setiap hari yang disandangkan kepada mereka. Bahkan,
respons dan tindakan represif ala rezim Soeharto tak membuatnya gentar.
Keyakinan dan cita- cita mulia untuk melakukan perubahan sepertinya menjadi
semangat yang tidak bisa dikalahkan moncong senjata. Meski keyakinan akan
perubahan itulah yang akhirnya membawa mereka dihilangkan.
Misteri
Kasus penghilangan orang
merupakan sebuah misteri yang tak pernah kunjung terungkap secara tuntas hingga
kini. Banyak buku sudah diterbitkan mengulas kasus ini, tetapi tetap saja
kontroversi kasus penculikan terus terjadi. Dalam akhir masa pemerintahan Orba,
kasus penghilangan orang terjadi pada kurun 1997-1998. Kasus penghilangan orang
itu tak bisa dilepaskan dari konteks politik yang terjadi saat itu. Keinginan
untuk terus melanggengkan rezim Soeharto dalam kekuasaan telah menempatkan
metode penculikan sebagai strategi kotor yang digunakan rezim untuk menghadapi
kelompok anti-Orba.
Ada 23 orang yang menjadi korban
dalam peristiwa itu. Sebanyak 13 orang hingga kini masih hilang: Yani Afrie,
Sonny, Herman Hendrawan, Dedi Hamdun, Noval Alkatiri, Ismail, Suyat, Bimo
Petrus Anugerah, Wiji Thukul, Ucok Munandar Siahaan, Hendra Hambali, Yadin
Muhidin, dan Abdun Naser. Sembilan orang dibebaskan dalam keadaan hidup:
Mugiyanto, Aan Rusdianto, Nezar Patria, Faisol Reza, Rahaja Waluyo Jati,
Haryanto Taslam, Andi Arief, Pius Lustrilanang, Desmon J Mahesa. Satu ditemukan
dalam keadaan meninggal, Leonardus Gilang.
Kesaksian para korban yang
selamat dari peristiwa itu mengungkapkan bahwa mereka tak sekadar diculik,
tetapi juga mengalami sejumlah penyiksaan luar biasa selama disekap dan
diinterogasi. Kondisi tangan dan kaki diikat, mata ditutup, pukulan dan
tendangan selalu dilayangkan ke sekujur tubuh mereka oleh para interogator,
bahkan disetrum berkali-kali. (Mugiyanto,
Mencari Keadilan, 2013)
Pada mulanya, institusi keamanan
menyangkal tuduhan melakukan penculikan, tetapi dengan desakan masyarakat
akhirnya ABRI melakukan penyelidikan dan kemudian mengakui ada aparatnya yang
terlibat dalam kasus penghilangan. Perkembangan penyelidikan mengungkap
keterlibatan satuan elite Angkatan Darat (Kopassus) melalui satuan tim bernama
Tim Mawar. Meski pimpinan ABRI saat itu telah membawa beberapa pelaku ke sidang
mahkamah militer, pengungkapan kasus penculikan sesungguhnya belum selesai dan
masih menyisakan banyak tanda tanya. Khususnya terkait jumlah korban,
keberadaan korban yang masih hilang dan pertanggungjawaban hukum komando atas
peristiwa penculikan.
Saling tuding dan pembelaan
dilakukan pihak-pihak yang diduga bertanggung jawab atau paling tidak
mengetahui kasus penculikan melalui sejumlah buku yang sudah ditulis oleh
mereka sendiri atau rekan sejawatnya. Namun, buku-buku tersebut tak akan pernah
menjawab kepastian hukum atas peristiwa penghilangan orang mengingat pengadilan
orang hilang tak kunjung dibentuk pemerintah. DPR sudah merekomendasikan kepada
pemerintah untuk membentuk pengadilan HAM kasus orang hilang tetapi tetap saja
rezim SBY tak kunjung membentuknya.
Pejuang HAM
Dalam kompleksitas kasus
penghilangan orang tersebut, seorang anak muda bernama Munir Said Thalib hadir
mengungkap peristiwa penghilangan paksa yang terjadi pada 1997-1998. Bersama
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), pejuang HAM
itu tampil dengan berani di depan publik mendesak negara bertanggung jawab atas
peristiwa penculikan. Meski perjuangan Munir sebagai pejuang HAM sudah
dilakukan lama, yakni sejak LBH Surabaya pos Malang (YLBHI), tetapi kiprahnya
dalam mengungkap kasus orang hilang telah menjadi sorotan banyak pihak. Di
tengah rezim Orba yang masih represif, Munir bersama Kontras lantang
menyampaikan peristiwa penculikan sehingga akhirnya sembilan aktivis
dilepaskan.
Kasus orang hilang tentunya
menjadi salah satu kasus yang sangat serius ditangani Munir. Di luar itu,
banyak kasus- kasus pelanggaran HAM yang juga menjadi perhatian serius
almarhum; Marsinah, Tragedi Trisakti, Kerusuhan Mei, Semanggi, Tanjung Priok,
Talangsari Lampung, Timur Leste, Papua, Aceh, Ambon, Poso dan lainnya. Dalam
menangani kasus orang hilang atau pelanggaran HAM lain tentu langkah Munir
mengalami jalan berliku yang penuh tantangan, hambatan, bahkan ancaman.
Berulang kali almarhum mendapat ancaman, bahkan mengalami kekerasan langsung
sebagaimana terjadi ketika kantor Kontras diserang kelompok tak bertanggung
jawab. Bahkan, rumah almarhum di Batu, Malang, sampai dipasangi bom oleh orang
tidak dikenal.
Ada pelaku yang diduga terlibat
kasus pelanggaran HAM mencoba merayu dan menawarkan almarhum duduk di kursi
parlemen. Kepada penulis, almarhum menceritakan, dia diminta tak usah
meributkan kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masa Orba dengan iming-iming
akan diberi kursi di DPR. Dengan terang-terangan, Munir menolak tawaran
tersebut. Keyakinan untuk memuliakan kemanusiaan sepertinya telah menghilangkan
rasa takut dalam dirinya dan menghilangkan hasrat materi yang menggiurkan.
Batas ketakutan dan material telah ditembusnya hanya karena keyakinannya untuk
memperjuangkan penegakan HAM dan demi memajukan kemanusiaan. Dengan berkendara
sepeda motor, Munir mengambil langkah-langkah pasti dalam memperjuangkan korban.
Bahkan, ketika almarhum harus
dalam perawatan di rumah sakit, diskusi dan desakan agar kawan-kawan
seperjuangannya menyikapi kasus pelanggaran HAM terus dilakukan. Sampai ketua
dewan pendiri Imparsial, Todung Mulya Lubis, marah kepada Munir dan rekan-rekan
Imparsial karena membiarkan Munir membawa laptop dan menulis ketika ia dalam
perawatan serius di rumah sakit dan memintanya istirahat. Di sisi lain, boleh
saja orang menilai Munir tak nasionalis, tetapi faktanya karena keyakinannya
atas nasionalisme dan cinta Tanah Air itulah Munir menghadapi ajal akhirnya 7
September 2004. Jelang kepergian almarhum, beberapa kawan di Imparsial
mempertanyakan mengapa Munir memilih Garuda untuk ke Belanda, padahal ia dapat
menggunakan maskapai penerbangan negara lain karena biaya pesawat ditanggung
pihak yang memberikan beasiswa.
Jawaban almarhum sederhana,
”Kalau saya pakai Garuda, uangnya akan masuk Indonesia, tetapi kalau saya
menggunakan maskapai penerbangan negara lain, uangnya akan masuk ke negara
tersebut.” Andai tidak menggunakan Garuda, operasi pembunuhan Munir yang diduga
melibatkan oknum Badan Intelijen Negara hampir dipastikan sulit dilakukan.
Jadi, jangan tanyakan nasionalisme Munir, tanyakanlah nasionalisme mereka yang
katanya NKRI tetapi sikap dan perbuatannya jauh dari rasa kebangsaan, apalagi
rasa kemanusiaan.
Kita semua punya utang sejarah
kepada para pejuang demokrasi yang mati dan hilang pada masa Orba ataupun pada
masa Reformasi. Karena mereka, kita meraih kebebasan hari ini meski politik
kini belum sepenuhnya menunjukkan wajah otentiknya. Membawa para pelaku
pelanggaran HAM dan pembunuhan Munir ke meja pengadilan adalah tugas suci kita
bersama. Jangan biarkan mereka menjadi penguasa di negeri ini. Jika itu
terjadi, tentu sejarah akan malu mencatatnya. Semoga di hari internasional
orang hilang 30 Agustus dan di hari wafatnya Pejuang HAM Indonesia, 7
September, keadilan bagi korban dapat segera terwujud. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar