Jumat, 06 September 2013

Islam, Indonesia, dan Cak Nur

Islam, Indonesia, dan Cak Nur
Mamang M Haerudin ;  Ketua LP3M STID Al-Biruni Cirebon
KOMPAS, 06 September 2013


Dalam tradisi intelektual Islam dikenal istilah qaul qadim dan qaul jadid. Istilah itu lekat dengan salah satu mazahib al-’Arba’ah (inspirator empat mazhab), Imam Syafi’i.
Qaul qadim adalah periode intelektual Imam Syafi’i saat ia bermukim di Mesir. Sementara qaul jadid periode intelektual saat ia bermukim di Irak. Sepintas tak tampak perbedaan berarti di antara kedua periode. Bisa dimaklumi barang kali karena jarak kepindahan dari Irak tahun 195 H, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, baru kemudian menetap di Mesir tahun 199 H, sampai ia wafat tahun 204 H, tak lebih dari sepuluh tahun.
Apa pelajaran yang dapat dipetik dari transformasi intelektual Imam Syafi’i? Adalah betapa urgen terkait penyegaran (tajdid) pemikiran dan pemahaman Islam. Bahwa penyegaran pemikiran dan pemahaman dalam Islam adalah niscaya. Dari situ kita dapat memaknai atau mengolaborasikan tiga esensi penyegaran antara masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Fitrah hidup itu dinamis. Fatwa atau produk pemikiran apa pun selalu berurusan langsung dengan letak geografis, latar belakang keilmuan, waktu, usia, dan lain sebagainya.
Bangsa Indonesia begitu beruntung punya guru bangsa sekelas Nurcholish Madjid (Cak Nur). Indonesia sendiri negeri Bhinneka Tunggal Ika. Bangsa yang dianugerahi kekayaan alam dan budaya melimpah. Terdiri dari belasan ribu pulau dari Sabang sampai Merauke. Dihuni masyarakat dengan ragam adat, suku, bahasa, agama, dan lain-lain. Meski berbeda dan beragam, kita mesti bersyukur karena memiliki perekat ampuh, selain Bhinneka Tunggal Ika; yakni Pancasila, UUD 1945, dan NKRI.
Kenyataan itulah yang dipahami Cak Nur ketika berbicara Islam untuk Indonesia. Maka, untuk Islam dan Indonesia (Islam Indonesia), Cak Nur menulis buku Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan. Di sana Cak Nur mencita-citakan sekaligus menggagas sebuah pencerahan untuk agama dan bangsa yang selaras dengan kemodernan. Karena, menurut Cak Nur, modernisasi itu rasionalisasi, bukan westernisasi. Modernisasi yang mencerminkan sebuah masyarakat yang terbuka, demokratis, dan partisipatif. Islam yang diamalkan Cak Nur Islam substantif, Islam nonsimbol, nir-kekerasan dan intoleransi. Lebih daripada itu, Cak Nur juga telah memberikan teladan kepada kita, regenerasi bangsa, untuk mendakwahkan Islam yang ramah, bukan Islam marah. Islam yang merangkul, bukan Islam yang gemar memukul. Islam yang siap memberikan pertolongan, bukan Islam pentungan. Islam yang bertradisi Indonesia, bukan Islam Arab Saudi atau Barat-Eropa.
Cak Nur-lah gerbong Islam yang menyegarkan. Maka, tak berlebihan jika apa yang dilakukan Cak Nur adalah spirit dari intelektualisme Imam Syafi’i. Di mana Islam mesti selalu up to date dengan dinamika zaman, shalih likulli zamanin wa makanin. Islam yang menuntun tetapi tetap santun. Islam yang memegang prinsip amar makruf dengan cara makruf dan nahi mungkar tetap dengan cara makruf. Islam yang tidak arogan dan mau menang sendiri. Islam yang tidak memutlakkan pandangan. Atas hal ini, Imam Syafi’i juga mengatakan, pendapat saya benar mungkin salah, pendapat yang lain salah mungkin benar.
Ada banyak sekali pandangan Cak Nur yang menohok nurani, salah satunya saat ia mengatakan, satu hal yang biasanya dianggap dengan sendirinya benar adalah bahwa mutu lebih penting daripada jumlah. Namun, justru umat Islam Indonesia sekarang ini melakukan yang sebaliknya; lebih mementingkan jumlah daripada mutu. Ia menyampaikan pandangan ini tahun 1970, ironisnya pernyataan ini semakin akurat, betapa benar umat Islam Indonesia semakin nyata menjadi buih di lautan, yang jauh dari berkualitas.
Apa yang dinyatakan Cak Nur dulu menjadi kenyataan hingga dari ini. Umat Islam di Indonesia menjadi umat yang hanya peduli kuantitas, tetapi jauh dari kualitas. Umat Islam yang mudah terprovokasi, menyalahkan, dan konflik. Perbedaan sebagai rahmat tak lagi menjadi modal untuk membangun harmoni. Ia justru menjadi laknat untuk mencari kambing hitam sambil menyalahkan banyak pihak yang berbeda. Dan menjadi bumerang yang mudah menyerang pihak lain yang tidak segolongan.
Ide-ide segar Cak Nur
Jika dirunut, sejumlah gagasan segar Cak Nur bermuara pada satu kunci: daya tonjok psikologi atau dalam bahasanya ”kekuatan maknawi yang ampuh’ (psychological striking force). Demikian tatkala Cak Nur mengomentari pandangan OW Holmes: kebaikan terakhir yang dikehendaki lebih baik dicapai melalui perdagangan-perdagangan bebas dalam ide-ide. Bahwa sebaik-baiknya ujian bagi suatu kebenaran adalah kekalutan pikiran untuk membuat dirinya dapat diterima dalam kompetisi pasar, dan bahwa kebenaran adalah satu-satunya landasan di mana keinginan- keinginan mereka dengan selamat dapat dilaksanakan.
Cak Nur berkomentar, katanya, karena tiadanya pikiran-pikiran yang segar kita telah kehilangan apa yang dikemukakan di muka, yaitu psychological striking force (kekuatan maknawi yang ampuh) sebab tak ada suatu badan dengan pikiran bebas yang memusatkan perhatiannya kepada tuntutan-tuntutan segera daripada kondisi-kondisi masyarakat yang tumbuh terus, baik di bidang ekonomi, politik, maupun sosial. Berikut beberapa dari sekian banyak ide segar yang pernah disampaikan Cak Nur.
Pertama, Islam yes, partai Islam no! Cak Nur mempertanyakan realitas kuantitas Islam yang sampai hari ini semakin banyak, apakah atas dasar hati atau hanya sebagai adaptasi sosial-politik? Dan menegaskan bahwa partai yang selalu ”mendagangkan” Islam akan memfosil dan kehilangan dinamika. Kedua, liberalisasi Islam. Yakni mendinamisasikan pemikiran dari nostalgia atau orientasi masa lampau. Pada saat yang sama, Cak Nur juga menganjurkan untuk melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional dan mencari nilai-nilai yang berorientasi kepada masa depan.
Ketiga, sekularisasi. Cak Nur menjelaskan, sekularisasi menjadi mesti akibat daripada perjalanan sejarahnya sendiri, tidak sanggup lagi membedakan di antara nilai-nilai yang disangkanya Islamis mana yang transendental dan mana yang temporal. Malahan, kata Cak Nur, hierarki nilai itu sering dalam keadaan terbalik, transendental menjadi temporal dan sebaliknya atau menjadi transendental semuanya, bernilai ukhrawi tanpa kecuali. Keempat, kebebasan berpikir. Kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat, menurut Cak Nur, adalah yang paling berharga, yang harus dipegang teguh bahwa semua bentuk pikiran dan ide, betapapun anehnya kedengaran di telinga, haruslah mendapatkan jalan untuk dinyatakan. Tidak jarang pikiran-pikiran dan ide-ide itu yang umumnya semula dikira salah dan palsu ternyata kemudian benar. Kelima, idea of progress dan sikap terbuka. Sikap dinamis dan mental terbuka berupa kesediaan menerima dan mengambil nilai-nilai (duniawi) dari mana saja asal mengandung kebenaran.
Melanjutkan penyegaran
Akhirnya, juga masih menurut Cak Nur, agar ide-ide segar itu tetap segar dan ajek, perlu kelompok pembaru yang bebas. Menurut Thoha Hamim (2000), ciri umum gerakan pembaruan, antara lain, kembali kepada ajaran Al Quran, sunah, dan tradisi salaf, menolak praktik-praktik taklid (ittiba’), berpikir rasional yang menafsir sumber-sumber ajaran Islam secara aktual, dan yang paling menonjol tentu saja memerangi bid’ah dan khurafat.

Namun, memang konsekuensinya, sebagaimana pandangan Ahmad Syafii Maarif, setiap pembaru di mana pun di muka bumi ini hampir pasti dilawan, dicaci maki, dan dimusuhi, tetapi ajaibnya diam-diam diikuti. Ini juga berlaku atas Nurcholish Madjid yang telah bekerja keras mengawinkan keislaman dan keindonesiaan. Walhasil, tugas kita tak lain melanjutkan penyegaran pemikiran dan pemahaman Islam itu sendiri, terutama terhadap ide-ide segar Cak Nur.  ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar