Kamis, 19 September 2013

Museum dan Kesadaran Sejarah

Museum dan Kesadaran Sejarah
Endang Suryadinata  ;    Penulis dan Peminat Sejarah
KORAN TEMPO, 19 September 2013


Hilangnya koleksi benda bersejarah di Museum Nasional Jakarta baru-baru ini sungguh sangat disesalkan. Empat benda bersejarah peninggalan Kerajaan Mataram Kuno sekitar abad X-XI yang semuanya terbuat dari emas dicuri dari tempat penyimpanannya di ruang koleksi emas di Lantai Gedung A. Benda-benda itu baru disadari tidak ada di tempatnya pada Rabu, 11 September 2013, pukul 09.10 pagi, dan anehnya tidak langsung dilaporkan kepada polisi. Pelaporan ke polisi baru dilakukan pada Kamis, 12 September lalu.
Anehnya, kasus ini hanya pengulangan, seperti pepatah "l'histoire se repete" (sejarah berulang). Semoga kita ingat kasus hilang atau dipalsukannya wayang kuno koleksi Museum Radya Pustaka, Solo; serta pencurian 75 koleksi emas abad VIII dan X milik Museum Sonobudoyo, Yogyakarta. 
Memang kasus hilangnya benda-benda bersejarah ini bisa dianalisis dari berbagai sudut pandang. Namun penulis sampai pada kesimpulan bahwa bangsa kita memang cenderung kurang menghargai warisan sejarah para leluhurnya, sehingga kesadaran sejarah kita juga rendah. 
Kesimpulan ini bukan hanya muncul akibat hilangnya benda-benda bersejarah di museum kita. Tapi juga ada banyak fakta lain yang mendukung, seperti rusaknya situs-situs bersejarah kita yang tersebar di banyak tempat di Tanah Air. Misalnya situs Majapahit di Jalan Raya Mojokerto-Jombang, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto.
Baru-baru ini masyarakat, pemerhati sejarah, dan DPRD Mojokerto meminta agar pembangunan pabrik baja PT Manunggal Sentral Baja di kawasan situs Majapahit di Jalan Raya Mojokerto-Jombang, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, dihentikan. Sungguh tak habis pikir, pabrik baja tersebut sudah mengantongi izin prinsip dari Bupati Mojokerto dan izin mendirikan bangunan (IMB) yang dikeluarkan BPPTPM Kabupaten Mojokerto (Tempo.co, 23 Juli 2013).
Malah situs Majapahit di Trowulan pernah dirusak pemerintah sendiri. Ini terjadi ketika di bekas ibu kota Kerajaan Majapahit itu hendak dibangun Majapahit Park seluas 2.190 meter persegi. Peletakan batu pertama Majapahit Park dilakukan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik pada 3 November 2008. 
Konyolnya, dalam proses pembangunan, akibat penanaman 50 tiang pancang beton di dalam tanah, justru terjadi perusakan sejumlah peninggalan bersejarah, seperti dinding sumur kuno, gerabah, dan pelataran rumah kuno. Proyek Majapahit Park jelas mengulangi kesalahan yang pernah dilakukan Kodam VIII Brawijaya ketika membangun gedung pendopo berbentuk "joglo" di salah satu kawasan di situs Majapahit pada 1966.
Yang lebih memprihatinkan, tindakan destruktif juga dilakukan sebagian masyarakat Trowulan yang menggali tanah dan menjadikannya batu bata. Ini sudah menjadi mata pencaharian mereka, bahkan menjadi industri. Yang paling parah, pencurian, penggalian serampangan, serta perdagangan benda purbakala di pasar gelap sudah lama berlangsung tanpa dapat ditindak secara tegas. Yang terakhir ini jelas merupakan sebuah vandalisme yang patut dikutuk.
Akibatnya, hari-hari ini, situs Majapahit benar-benar memasuki fase paling pahit dalam perjalanan sejarahnya. Jika tidak ada upaya penyelamatan segera, jelas situs Majapahit akan menjadi puing-puing yang hancur dan tidak lagi memiliki nilai sejarah. Padahal situs Trowulan adalah salah satu saksi sekaligus bukti kita memiliki nenek moyang dengan peradaban tinggi, tidak kalah oleh bangsa-bangsa di Eropa.
Jangan lupa pula, bangsa-bangsa Eropa, seperti Belanda atau Inggris, pun tahu betapa bernilainya situs Trowulan, sehingga mereka pun tertarik untuk meneliti dan mengapresiasinya. Peneliti pertama adalah Wardenaar pada 1815 atas instruksi Gubernur Thomas Raffles. Hasil penelitian Wardenaar kemudian ikut dicantumkan dalam buku History of Java (1817). 
Dalam buku itu di antaranya ditulis, "Situs Trowulan, terletak 60 kilometer barat daya Kota Surabaya, mungkin merupakan ibu kota kerajaan Majapahit. Di kawasan seluas 11 x 9 kilometer, telah ditemukan sedikitnya 32 kanal, satu kolam seluas lebih-kurang 6,5 hektare, serta dua pintu gerbang; Gapura Bajangratu dan Gapura Wringin Lawang. Selain itu, ditemukan permukiman dan pendapa kuno, candi Hindu dan Buddha, seperti Candi Brahu, Candi Tikus, dan Candi Gentong. Sebagai bekas ibu kota, Situs Trowulan memang memiliki ratusan ribu pening­galan arkeologis, baik berupa artefak, ekofak, serta fitur berbagai obyek arkeologis."
Kemudian banyak peneliti lain mengikuti jejak Wardenaar, seperti W.R. van Hovell (1849), J.V.G. Brumund, dan Jonathan Rigg. Kemudian R.D.M. Verbeek (1889), R.A.A. Kromodjojo Adinegoro, Bupati Mojokerto (1849-1916), J. Knebel (1907), dan kemudian Henry Maclaine Pont (1921-1924).Yang menarik menurut Maclain Pont, ibu kota Majapahit di Trowulan berulang kali tertimpa debu gunung berapi sehingga bekas ibu kota yang menjadi saksi kejayaan Majapahit dari tahun 1293 hingga 1521 Masehi itu semakin lama semakin tertimbun di dalam tanah.
Para peneliti yang notabene orang asing itu tahu betapa berharganya warisan sejarah kita, seperti situs Trowulan. Mereka juga punya kesadaran sejarah yang luar biasa, sehingga punya apresiasi tinggi kepada kita. Para pengelola museum dan situs memang harus mau belajar dari Belanda. Di Negeri Belanda, misalnya, banyak tersimpan semua hal yang terkait dengan warisan budaya kita yang hingga kini terus mengundang decak kagum kalangan ilmuwan atau awam. 
Malah, konyolnya, jika sejarawan atau mahasiswa Indonesia ingin memperdalam atau mengetahui bahasa atau warisan budaya Jawa, misalnya, mereka harus ke Universitas Leiden atau mengaduk-aduk semua literatur di perpustakaan KITLV, yang merupakan pusat dokumentasi terbesar di dunia.

Kita sendiri suka terkagum-kagum pada prestasi bangsa atau negara lain. Kita tidak mau menggali mengapa mereka menjadi besar. Mereka menjadi besar karena mereka begitu menghargai warisan sejarahnya. Mereka punya kesadaran sejarah, kesadaran spasio temporal (ruang dan waktu) bahwa masa depan tidak bisa dibangun tanpa pemahaman yang benar tentang masa lalu. Negara-negara Eropa Barat bisa maju karena mereka sadar akan sejarah masa lalunya. Kesadaran sejarah mereka mendorong mereka menjadi bangsa yang sungguh menghargai waktu, sangat berdisiplin, suka bekerja keras, dan bertanggung jawab. Kemajuan pun akhirnya mereka capai. Beda dengan bangsa kita, yang maunya instan meraih kemajuan, namun disertai sikap menolak atau mengingkari masa lalunya.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar