Kamis, 19 September 2013

Memilih Hakim Agung

Memilih Hakim Agung
Achmad Fauzi  ;    Hakim Pengadilan Agama Kotabaru, Kalsel;
Penulis buku Pergulatan Hukum di Negeri Wani Piro
JAWA POS, 19 September 2013



Pemilihan hakim agung di Komisi III DPR menyita perhatian publik. Apalagi di tengah kontroversi terhadap putusan peninjauan kembali Sudjiono Timan yang kini tengah didalami oleh Komisi Yudisial (KY) terkait dengan kecurigaan adanya pelanggaran etik. DPR tentu memikul beban berat untuk menyeleksi dan menentukan sosok hakim yang benar-benar agung. Di antara 12 calon yang direkomendasikan KY, hanya empat yang dipastikan lolos. Mereka akan mengisi kekosongan kamar perdata, kamar pidana, dan tata usaha negara. 

Proses uji kelayakan dan kepatutan calon hakim agung mendapatkan atensi khalayak karena tak dimungkiri sosok pemakai toga kuning ini memiliki posisi sentral di lembaga peradilan. 

Indikasi kuatnya keterlibatan masyarakat dalam proses pemilihan hakim agung sebenarnya juga terjadi pada periode sebelumnya. Yakni, ketika salah seorang calon hakim agung, Muhamad Daming Sunusi, mengeluarkanpernyataan kontroversial di hadapan Komisi III DPR. Daming mencoba menimbang ulang vonis hukuman mati terhadap pelaku pemerkosaan dengan kemasan jawaban bernada lelucon. Dia berdalih pelaku dan korban pemerkosaan sama-sama merasakan kenikmatan. Seketika, pernyataan Daming menuai kecaman publik karena dianggap melukai perasaan perempuan korban pemerkosaan dan tidak sensitif gender. 

Namun, tulisan ini tidak akan menghakimi hakim Daming. Penulis hanya melukiskan betapa beratnya langkah karir untuk menuju kursi lembaga yang terletak di Medan Merdeka Utara itu. Ucapan dan tingkah laku calon hakim agung juga menjadi objek penilaian sebagai indikator kelayakan. 

Pemilihan Isu 

Pemilihan isu strategis dan aktual oleh DPR dalam materi uji kelayakan dan kepatutan sangat penting agar bisa digali lebih dalam sensitivitas dan kemampuan para calon. Isu pemerkosaan, misalnya, hingga kini masih menjadi persoalan aktual dalam masyarakat perkotaan karena beberapa alasan, di samping masih maraknya peristiwa pemerkosaan. 

Pertama, proses peradilan pidana belum sepenuhnya mencakup kondisi yang diderita oleh korban. Terutama menyangkut persoalan peranan pengadilan dalam mengalihkan perlindungan hukum ke dalam bentuk tanggung jawab sosial ketika korban kembali ke tengah-tengah masyarakat. Korban akan menghadapi sederet sikap apatis, cibiran, dan alienasi dari masyarakat yang tidak mudah untuk diabaikan begitu saja. 

Kedua, pasal pidana pemerkosaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana memiliki celah untuk "dipermainkan", terutama terkait dengan nihilnya aturan batas minimal ancaman pidana. Pasal 285 KUHP menegaskan barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Ketidaktersediaan batasan minimal acaman pidana secara tidak langsung memberikan ruang luas hakim memvonis sampai serendah-rendahnya. 

Hindari Politisasi 

Meski diraih melalui mekanisme politik, jabatan hakim agung diharapkan tidak dipolitisasi untuk kepentingan politik tertentu. 

Mekanisme pemilihan semacam ini pada akhirnya menghasilkan hakim-hakim penyelamat kebusukan parpol ketimbang pembawa risalah kebenaran. Hakim bekerja bukan lagi untuk menegakkan supremasi hukum karena tersandera oleh politik balas budi yang ditanamkan sejak perekrutan. 

Kondisi demikian membahayakan proses penegakan hukum dan menjadi rintangan terbesar terciptanya kekuasaan kehakiman yang merdeka. Kekuasaan yudikatif akan tersandera oleh kekuasaan legislatif yang dalam jangka panjang dapat memandulkan peran MA dalam melaksanakan tugas-tugas peradilan. Celakanya, tatkala kelak ada oknum hakim agung yang melakukan perbuatan tercela, MA menjadi muara cercaan. 

Rancang Kriteria 

Memilih hakim agung seharusnya berdasar kriteria yang jelas dan baku sebagai kebulatan sikap DPR. Selama ini fraksi-fraksi di DPR masih memiliki kriteria parsial. Fraksi Partai Golkar (FPG), misalnya, akan lebih mengutamakan masalah moral dan rekam jejak ketimbang kemampuan. Fraksi PDIP mengutamakan hakim karir dan yang berkeahlian tata usaha negara (TUN). Jalur karir lebih diutamakan karena komposisi hakim agung nonkarir di MA sudah mencapai 35 persen. Padahal, yang ideal, karir 70 persen dan nonkarir 30 persen. Begitu pula Fraksi Partai Demokrat lebih memprioritaskan kebutuhan MA berdasar keahlian. 

Kriteria yang ditetapkan setiap fraksi tersebut idealnya dikombinasikan dalam sebuah patokan baku. Sebab, semua kriteria bersifat logis. Mengutamakan hakim karir tentu tidak keliru karena semangat undang-undang lebih mengutamakan hakim karir (pasal 6B ayat (1) UU MA). Undang-undang menyebutkan, untuk menjadi calon hakim agung, paling sedikit 20 tahun berpengalaman menjadi hakim. 

Ketersediaan unsur hakim karir sangat urgen karena memiliki pengalaman strategi pengelolaan perkara secara baik sehingga problem tunggakan perkara dapat teratasi. Apalagi penerapan sistem kamar tidak memungkinkan hakim agung "loncat kamar". Karena itu, modal pengalaman dan keterampilan hakim karir dalam memeriksa dan mengadili perkara di tingkat pertama dan banding sangat menunjang penyelesaian perkara di tingkat kasasi. 

Namun, integritas juga perlu diperhatikan. Sebab, prioritas pemenuhan formasi yang kosong sesuai dengan keahlian akan melahirkan "gempa moral" di tubuh MA manakala porsi rekam jejak tidak lagi menjadi paket prasyarat utama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar