Senin, 09 September 2013

Menyikapi Perang Sejuta Peta Syria

Menyikapi Perang Sejuta Peta Syria
Hasibullah Satrawi ;   Analis Politik Timur Tengah dan Dunia Islam,
Alumnus Al Azhar, Kairo
JAWA POS, 09 September 2013



RENCANA serangan Amerika Serikat (AS) ke Syria kian dekat. Walau gagal mendapat dukungan pada pertemuan G-20 di St Peterburg yang baru berakhir, Presiden Barack Obama akan tetap menggempur Negeri Syam itu. Bagi Obama, lampu hijau Kongres AS sudah cukup. 

Penolakan Presiden SBY sebagai pemimpin negara muslim terbesar sulit mengubah pikiran perang pemenang Nobel Perdamaian 2008 itu. Itu mengingatkan bahwa ketika Presiden Megawati pada November 2001 meminta ''jeda kemanusiaan'' pada Ramadan atas agresi Presiden George W. Bush ke Afghanistan, permintaan tersebut diabaikan juga. Kalau ada maunya, memang sulit membendung adikuasa. 

Obama meyakini rezim Bashar al-Assad menggunakan senjata kimia dalam upaya melumpuhkan perlawanan kelompok revolusi yang berkobar sejak dua tahun terakhir. Ratusan jiwa menjadi korban, termasuk warga sipil.

Intervensi militer dalam konteks Syria sebenarnya dilematis. Bagi masyarakat luas, intervensi militer seperti itu akan dipahami sebagai arogansi negara adidaya tersebut terhadap negara-negara yang tidak menuruti kepentingannya. Terlebih lagi, intervensi militer kembali dilakukan AS terhadap negara yang berpenduduk mayoritas muslim seperti Syria, begitu juga terhadap Iraq, Libya, dan Afghanistan.

Di sisi lain, kita bisa menyaksikan secara kasat mata bahwa perang saudara di Syria sulit diakhiri tanpa adanya intervensi militer dari negara-negara kuat, baik secara langsung (dalam bentuk perang) maupun secara tidak langsung (mempersenjatai kelompok revolusi). Faktanya, perang saudara yang terjadi dua tahun itu memakan korban puluhan ribu jiwa.

Kelompok revolusi (atau pemberontak menurut Assad) secara berulang-ulang telah meminta negara-negara maju agar segera mempersenjatai mereka. Itu untuk melawan pasukan Bashar al-Assad yang didukung Hizbullah di Lebanon, Iran, dan Rusia. Namun, opsi mempersenjatai revolusioner tersebut tidak pernah dilaksanakan secara sepenuh hati.

AS tidak menghendaki senjata-senjata yang diberikan jatuh ke tangan kelompok militan yang dapat mengulang pengalaman traumatik di Afghanistan. Senjata dan ilmu teknik militer yang diberikan AS kepada kelompok militan dalam perang melawan Uni Soviet justru digunakan untuk menyerangnya pada hari kemudian. 

Kawan Lawan Ruwet 

Perang saudara di Syria dapat disebut sebagai konflik dengan ''sejuta peta''. Pihak eksternal terlibat, mulai AS hingga Rusia. Di sisi lain, konflik tersebut juga melibatkan banyak kelompok yang saling bermusuhan di luar persoalan Syria, tapi justru berada dalam satu kepentingan dalam konflik Syria. Begitu juga sebaliknya, konflik Syria acap membenturkan kelompok-kelompok yang bersahabat di luar persoalan Syria, tapi justru pecah kongsi gara-gara konflik tersebut.

Sebagai contoh, AS dan para pendukung Al Qaeda jelas bermusuhan pasca serangan 11 September. Afghanistan yang menjadi basis para pendukung Al Qaeda dihancurkan AS. Osama bin Laden, bos Al Qaeda, pun ditembak mati di Pakistan.

Namun, dalam konflik di Syria, dua pihak yang saling bermusuhan itu justru berada dalam ''satu perahu'' antirezim Bashar al-Assad. Meski bisa saja mengatakan tidak berhubungan, keduanya setidaknya telah dipersatukan (meski tidak menjadi satu) oleh kepentingan yang sama. 

Sebaliknya, contoh lain, Hizbullah di Lebanon bersahabat dengan kelompok-kelompok perjuangan muslim yang lain, khususnya dalam menghadapi Israel. Namun, dalam konteks konflik di Syria, kekuatan-kekuatan tersebut saling bermusuhan. Khususnya setelah Hizbullah melibatkan diri secara lang­sung di Syria untuk membantu dan memperkuat pasukan Al-Assad. 

Dalam konteks seperti itu, serangan militer AS dan sekutunya teradap Syria bisa menjadi bola liar yang dapat dikapitalisasi (secara politik) sedemikian rupa oleh banyak pihak. Kelompok prorezim Al-Assad, contohnya, bisa menjadikan serangan tersebut sebagai bahan kampanye anti-AS yang, bahkan, dapat dikembangkan untuk menyulut ketegangan antara Barat dan dunia Islam. Sementara kelompok antirezim Bashar al-Assad bisa menjadikan serangan itu sebagai ''bantuan berharga'' untuk memenangi konflik.

Sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim, Indonesia harus mengantisipasi bola liar agresi AS ke Syria. Apalagi, di Indonesia terdapat kalangan-kalangan yang mendukung pihak-pihak yang kini bertikai di Syria. Terlebih, masyarakat muslim secara umum mempunyai sensitivitas yang sangat tinggi terkait dengan pelbagai macam persoalan di Timur Tengah. Jangan sampai perang di sana menularkan ''perang'' di sini.  ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar