Selasa, 03 September 2013

Kutolak Sekuntum Mawar dengan Hamdalah

Kutolak Sekuntum Mawar dengan Hamdalah
Denny Indrayana  Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, 
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM
KORAN SINDO, 03 September 2013


Ada satu judul buku yang terkenal bagi para jomblo yang akan mengakhiri masa lajangnya. Judulnya, ”Kupinang Engkau dengan Hamdalah”. Saya teringat buku karangan Mohammad Fauzil Adhim itu ketika menulis judul kolom ini. 

Terbayang para petugas lapas, imigrasi dan setiap pegawai Kemenkumham lainnya menolak semua pungli, bahkan dalam bentuk sekuntum mawar sekalipun dan berkata, ”Kutolak Sekuntum Mawar dengan Hamdalah”. Sikap demikian terinspirasi dari ketegasan petugas KPK yang menolak sekuntum bunga yang akan diberikan kepada mereka saat akan melakukan penyitaan beberapa mobil mewah di kantor DPP PKS, sambil berkata, ”Kami tidak boleh menerima pemberian apapun ketika menjalankan tugas.”

Perubahan menuju kebaikan sering kali dimulai dari hal-hal kecil. Tetapi tidak jarang hal yang kecil itu sebenarnya sangat prinsip dan mendasar. Ambil contoh Menkumham dan saya selalu menolak untuk diberikan oleh-oleh setiap kali kunjungan kerja ke daerah. Sebagian orang menganggap itu hal kecil, tetapi bagi kami itu persoalan yang mendasar dan prinsip. Bukan dari nilai uangnya yang mungkin tidak seberapa, tetapi pada prinsip bahwa kami tidak boleh menerima— apalagi memberatkan—pegawai dengan berbagai pengeluaran yang tidak tersedia anggarannya. Dampaknya bisa ke manamana. 

Tanpa ketersediaan anggaran, untuk oleh-oleh, untuk menjamu makan dan lain-lain, akhirnya menjadi justifikasi untuk melakukan pungutan liar dan penyimpangan anggaran lainnya. Dalam salah satu dialog, seorang kalapas dengan terus terang berkata, ”Pak Wamen, karena kami ingin mendapatkan penilaian baik dari pimpinan, padahal anggaran yang tersedia untuk lapas sangat terbatas, maka kami melakukan berbagai ”improvisasi”.” Saya bertanya, ”Improvisasi bagaimana.” 

Dijawab dengan jujur, “Terus terang, kami menginjak kiri-kanan untuk mendapatkan tambahan pendanaan.” Keterusterangan demikian tentu perlu diapresiasi, tetapi pastinya tidak ada apresiasi untuk improvisasi yang dilakukan. Senyatanya itu ”pelecehan” terhadap kata improvisasi yang pada dasarnya bermakna positif. Saya katakan dengan tegas, dan penekanan intonasi, ”Saya minta dihentikan improvisasi yang menyimpang demikian. Kami justru lebih menilai baik lapas yang sederhana, tanpa pungli, ketimbang fasilitasnya mewah tetapi dari hasil pungutan liar. Hentikan.”
Kebiasaan memberikan oleh-oleh, menjamu pimpinan dan sejenisnya menjadi justifikasi untuk melakukan pungli, atau bahkan setoran berjenjang yang saya dengar masih ada, meskipun telah berkurang. Maka, meskipun hanya oleh-oleh, Pak Menteri dan saya tegas-tegas menolaknya. Kepada jajaran yang masih nekat memberikan oleh-oleh, terpaksa kami kembalikan lagi melalui pos. Atau jika sudah diingatkan dan ditegur keras, masih juga nekat, dalam satu kejadian, saya terpaksa mengatakan, ”Bagi saya pemaksaan oleh-oleh yang Bapak ingin berikan adalah suap. Hentikan. Jangan pernah lakukan lagi”.

Oleh-oleh itu adalah suap. Inilah mindset yang harus dibangun, itulah budaya yang harus ditanamkan. Karena tidak jarang pemberian oleh-oleh itu berlindung pada kebiasaan. ”Mohon diterima Pak, karena di budaya kami tidak sopan jika tidak memberikan oleh-oleh.” Terhadap alasan demikian saya katakan, budaya itu berbau suap, beraroma korupsi, apalagi kalau pemberian dari bawahan kepada atasan. 

Bukanlah rahasia umum, bahwa dalam sistem birokrasi yang koruptif, budaya sowan, memberikan cendera mata, adalah upaya untuk membangun kolusi dan ujungnya korupsi. Maka dalam setiap kunjungan ke daerah, kami tidak hanya menolak oleh-oleh; melarang jajaran mengeluarkan anggaran jamuan dan sejenisnya; lebih jauh, kami juga mendorong agar pegawai yang menjemput tidak dalam jumlah besar. Selain akan mengganggu pelayanan di wilayah, jumlah besar penjemput biasanya berkorelasi dengan kebiasaan setor muka kepada pimpinan.

Dalam banyak kesempatan saya tegaskan, ”Yang menentukan promosi bukan koneksi, tetapi prestasi. Jadi tidak perlu repot-repot setor muka, tetapi bekerja sajalah sebaik mungkin, insya Allah setiap prestasi akan diganjar promosi.” Sistem promosi dan mutasi berbasis prestasi, dan bukan koneksi sebenarnya adalah hal standar. Namun, konsep standar demikian sudah lama dirusak dengan sistem sowan dan ”oleh-oleh”. 

Maka dalam 414 hari waktu yang tersisa, menjelang 20 Oktober 2014, di antara banyak masalah yang perlu diselesaikan, kami memilih untuk fokus pada penyempurnaan sistem promosi dan mutasi. Dasar pikirnya sederhana, dalam sistem kerja yang terbatas anggaran serta fasilitas, tumpuan utama akan bersandar pada kerja manusianya. Jika SDMnya juga tidak berintegritas, runtuhlah seluruh sistem kerja yang memang sudah penuh dengan keterbatasan tersebut. 

Maka ketika Menkumham memerintahkan saya untuk memberi masukan terkait promosi dan mutasi, sistem penilaian yang lebih objektif lah yang kami bangun. Bagaimanapun, sistem promosi yang berdasarkan koneksi, sowan. ”Oleh-oleh” pastilah sangat subjektif dan pastinya sangat merusak. Maka sistem promosi di Baperjakat Kemenkumham terus kami sempurnakan, termasuk dengan menggunakan CAT (computer assisted test) untuk melakukan penilaian. Dengan penilaian berbasis teknologi demikian, bisa subjektivitas sama sekali tidak mempunyai tempat. 

Oleh karena itu, Kemenkumham mendorong penuh proses seleksi CPNS 2013 ini dengan menggunakan sistem CAT. Pelantikan eselon II yang baru lalu di Kemenkumham, termasuk di antaranya perputaran dan penggantian 15 kakanwil, direktur pada jajaran Imigrasi, termasuk beberapa kalapas kelas I, disiapkan dengan sistem penilaian yang lebih ketat. Mekanismenya sederhana, kandidat dengan skor tertinggi akan ditempatkan pada posisi dengan bobot tertinggi pula. 

Tidak ada pertimbangan lain, hanya prestasi. Tidak perlu koneksi, apalagi sekadar ”oleh-oleh”. Tentu saja di dalam makna prestasi terkandung juga konsep reward and punishment. Artinya, yang berprestasi mendapatkan penghargaan, sedangkan yang melakukan kesalahan akan mendapatkan hukuman. Terkait punishment, budaya lain yang juga harus dibiasakan adalah, hukuman kepada yang bersalah harus dipandang sebagai keniscayaan, sebagaimana penghargaan kepada prestasi adalah keharusan. 

Belas kasihan dan permakluman atas kesalahan, sering kali berujung pada keengganan menjatuhkan hukuman disiplin yang setimpal. Maka ketika menkumham dan saya dalam beberapa kesempatan memberikan hukuman disiplin yang berat, beberapa reaksi yang muncul adalah: hukuman demikian tidak perlu dilakukan. Padahal, pembiaran atas kesalahan tentu saja makin merusak organisasi. Hukuman adalah obat pahit yang harus diberikan justru untuk menyembuhkan sakit yang tidak jarang sudah parah. 

Kembali ke soal yang seolah sederhana tentang oleh-oleh. Semakin jelas, pemberian oleholeh itu bukan lagi soal yang kecil. Itu sebabnya salah satu program awal KPK adalah melarang pemberian parsel. Esensinya bukan pada parselnya, tapi budaya koruptif yang menyertainya. Demikian pula halnya dengan oleh-oleh. Prinsip yang dilarang bukan terletak pada ”oleh-oleh”-nya, tetapi bagaimana cendera mata yang kemudian menjadi budaya setoran wajib kepada pimpinan itu membangun relasi koruptif. Hubungan yang berbasis pada koneksi-sowan bukan prestasi kerja. 

Dalam budaya kerja yang seharusnya, jangankan oleh-oleh, pemberian apa pun dalam rangka tugas sebaiknya tidak diterima. Sebagaimana petugas KPK yang menolak pemberian sekuntum bunga mawar karena tidak mau menerima apa pun dalam rangka tugas. Bayangkan, alangkah indahnya jika standar moral seluruh pejabat negeri ini menolak suap dalam bentuk apa pun. Jangankan mobil mewah, uang dolar dalam kedok kata sandi apel Washington, bahkan sekuntum mawar sekalipun ditolak dengan hamdalah. Demi Indonesia yang lebih baik, lebih antikorupsi. Keep on fighting for the better Indonesia. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar