Selasa, 03 September 2013

Bonus (atau Bencana) Demografi?

Bonus (atau Bencana) Demografi?
Saeful Millah  Alumnus Graduate School Departement of Sociology, Mississippi State University-MSU, USA, Dosen Universitas Suryakancana Cianjur
KORAN SINDO, 03 September 2013


Dari perspektif kependudukan, hanya ada dua pilihan yang bisa diangkat untuk menjelaskan perjalanan bangsa Indonesia ke depan, termasuk Jawa Barat dengan 46 juta penduduknya ini, bangkit atau terpuruk. 

Inilah pula dua pilihan kemungkinan yang harus diperhitungkan Gubernur Jawa Barat terpilih dalam merumuskan kebijakan dan program-programnya. Sebagai dampak dari adanya penurunan angka kelahiran (fertilitas) dan kematian (mortalitas) dalam empat dekade terakhir ini, struktur penduduk di negeri ini terus mengalami perubahan. 

Indikatornya, angka ketergantungan (dependency ratio) yang menggambarkan besarnya proporsi penduduk produktif (usia 15–64 tahun) terhadap penduduk usia tidak produktif (anak usia 0–14 tahun plus penduduk usia 65 tahun ke atas) terus mengalami penurunan. 

Itu semua terjadi karena besarnya jumlah dan proporsi kelompok penduduk usia anak produk dari ledakan bayi (baby boom) yang terjadi dalam dekade tujuh puluhan, dekade sebelum program Keluarga Berencana (KB) dicanangkan, secara alami telah dan akan terus bergeser menjadi kelompok penduduk usia produktif. Itulah kecenderungan demografis yang telah membuat angka ketergantungan dalam empat dekade terakhir dan dua dekade ke depan bangsa ini akan terus mengalami penurunan. 

Peluang emas 

Gambaran konkretnya, jika rasio ketergantungan tahun 1971 masih mencatat angka 86, maka pada 2000 turun menjadi 54,7 dan turun lagi menjadi hanya 51 pada 2010. Artinya, jika setiap 100 penduduk usia produktif pada 1971 harus membiayai hidup sebanyak 86 penduduk usia tidak produktif, maka tahun 2000 turun menjadi 54,7 penduduk dan turun lagi menjadi hanya 51 penduduk pada 2010. 

Sepuluh tahun berikutnya, tahun 2020, angka ketergantungan itu diperkirakan akan mengalami titik paling rendah karena setiap 100 penduduk usia produktif hanya akan menanggung 44 penduduk tidak produktif dan diperkirakan akan berlangsung hingga 2030. Jelasnya, jumlah maupun besarnya proporsi penduduk yang potensial bisa bekerja—sering disebut juga sebagai mesin pertumbuhan (engine of growth)— dalam periode 10 tahun itu akan mencapai dua kali lipat lebih dibanding jumlah dan proporsi penduduk yang harus mereka tanggung. 

Dampak ekonomisnya, pada saat itu diharapkan akan lebih banyak lagi jumlah penduduk yang bisa menghasilkan dan menabungsertamenginvestasikan kembali tabungannya untuk terus meningkatkan produktivitas dan kesejahteraannya. Inilah momentum bagi bangsa Indonesia, dengan jumlah penduduknya terbesar keempat di dunia, untuk bangkit dari berbagai ketertinggalannya. 

Itulah fenomena demografis sekaligus jendela peluang (window of opportunity), yang oleh para pakar kependudukan disebut “bonus demografi” (demographic dividend) yang akan terjadi hanya satu kali dalam sejarah kependudukan sebuah bangsa. Mengapa? Karena setelah kurun waktu 2030, angka ketergantungan itu diperkirakan akan kembali mengalami peningkatan. 

Bukan karena adanya peningkatan usia di bawah 15 tahun, melainkan karena semakin meningkatnya penduduk lansia sebagai dampak dari semakin meningkatnya rata-rata usia harapan hidup. Dalam evolusi kependudukan, sebuah negara akan mengalami sekaligus menikmati bonus demografi ketika angka ketergantungan penduduknya berada di rentang antara 40–50, yang berarti bahwa 100 orang usia produktif hanya menanggung 40–50 penduduk usia tidak produktif. 

Dengan kriteria di atas, tercatat sejumlah negara di Eropa yang telah melewati masa keemasan bonus demografinya karena terjadi secara bervariasi antara 1950–2000. Sementara China sudah mulai menikmati bonus demografinya sejak 1990 dan akan berlangsung hingga 2015. 

India, hampir sama dengan Indonesia, terjadi mulai 2010, disusul negara-negara di belahan Afrika yang bonus demografinya diperkirakan akan datang lebih lambat lagi dan akan berakhir hingga 2045. 

Harus dipersiapkan 

Namun, peluang emas yang merupakan bonus demografi itu tidak akan terjadi secara linier, apalagi datang begitu saja secara taken for granted. Artinya, butuh prasyarat untuk bisa mewujudkannya. Butuh konsep matang dan realistik untuk mempersiapkannya. Karena itu, paling tidak ada dua agenda besar yang harus dilakukan bangsa pada saat ini, termasuk oleh Jawa Barat sebagai provinsi paling besar jumlah penduduknya. 

Agenda besar pertama dan utama adalah menyangkut upaya untuk terus meningkatkan sekaligus mengakselerasi pendidikan penduduknya, termasuk derajat kesehatannya. Logikanya, bagaimana mungkin produktivitas penduduk muda itu bisa ditingkatkan jika kebanyakan di antara mereka hanya memiliki ijazah SD atau SMP seperti umumnya potret saat ini. 

Bagaimana mungkin produktivitas penduduk usia muda itu juga bisa ditingkatkan jika kondisi fisik mereka begitu rentan dengan banyak penyakit lantaran kekurangan gizi dan sebagainya. Jangan lupa, bagaimana mungkin produktivitas penduduk usia muda itu juga bisa ditingkatkan jika pemerintah gagal menyediakan lapangan kerja yang mereka butuhkan. 

Di situlah pula relevansinya bagi bangsaini—salahsatunya—untuk terus mengembangkan lebih banyak sekolah, termasuk perguruan tinggi berbasis vokasi atau kejuruan yang diarahkan pada upaya memperkuat sekaligus memperluas pusat-pusat pertumbuhan ekonomi setiap wilayah. Agenda besar kedua adalah keniscayaan bagi pemerintah untuk bisa menjamin kelangsungan program KB yang saat ini nyaris sudah tidak terdengar gaungnya. 

Pasalnya, jika angka kelahiran (fertilitas) kembali meningkat, hampir bisa dipastikan bahwa angka ketergantungan penduduk juga akan kembali mengalami peningkatan. Dampaknya, peluang emas yang diproyeksikan bakal terjadi pada 2020–2030 itu bukan saja akan molor, melainkan juga akan sulit diwujudkan. 

Skenario terburuk 

Berat memang, tetapi hanya dengan itu peluang emas bernama bonus demografi yang bakal dimiliki bangsa Indonesia kelak bisa dijadikan momentum untuk bisa bangkit dari banyak keterpurukannya. Itulah pula skenario pertama yang harus jadi pilihan sekaligus komitmen semua komponen bangsa saat ini. Jika tidak, peluang emas itu justru akan berubah menjadi “bencana kependudukan”–demographic disaster. 

Sebab, besarnya populasipenduduk usia produktif kelak akan menambah beban berat negara lantaran kehadirannya justru hanya akan menambah besarnya angka pengangguran, gelandangan, kemiskinan, kriminalitas, kerusakan lingkungan dengan segala dampak sosial buruk yang bakal ditimbulkannya. Inilah skenario kedua, skenario terburuk yang harus dihindari. Wallahu a’lam bish-shawab. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar