Jumat, 06 September 2013

Kontroversi Miss World

Kontroversi Miss World
Fajar Kurnianto ;  Alumnus Teologi dan Filsafat UIN Jakarta
SINAR HARAPAN, 05 September 2013


Kontes Miss World atau Ratu Kecantikan tahun ini rencananya akan digelar di Indonesia. Menurut panitia, akan ada sekitar 150 negara yang mengirimkan wakilnya. Wakil-wakil tersebut merupakan Miss di negaranya masing-masing.

Ketika di luar negeri, ajang ini cukup populer dan disambut dengan antusias, tetapi di negeri ini banyak mendapat reaksi penolakan dari beberapa organisasi kemasyarakatan dan keagamaan (baca: Islam). Majelis Ulama Indonesia (MUI), misalnya tegas menyatakan penolakan.

Apa yang Salah?

Menarik mencermati argumen-argumen yang dilontarkan para pihak yang menolak kontes Miss World ini tampak terlalu berlebihan dan tidak punya arah yang jelas terkait ajang ini. Misalnya, dikatakan, ajang ini hanya ajang “umbar aurat” yang sangat dilarang dalam ajaran agama (baca: Islam) yang menyuruh kaum perempuan menutupi seluruh tubuh, kecuali muka, telapak tangan, dan telapak kaki.

Jika ini yang jadi argumen, tentu dengan sendirinya terpatahkan ketika ajang ini tidak “umbar aurat”. Artinya, masalah selesai. Menurut panitia sendiri, Miss World kali ini akan bernuansa Indonesia. Selain itu, hukum di negara ini juga bukan hukum agama.

Argumen lain yang dilontarkan para penolak Miss World yang merupakan kelanjutan dari argumen “umbar aurat” adalah ajang ini merupakan ajang kemungkaran. Sebagai umat beragama, kata mereka, kita harus mencegah kemungkaran.

Pertanyaannya, apakah mempertunjukkan suatu keindahan, kecantikan, kecerdasan, dan kepribadian seorang perempuan adalah sesuatu yang mungkar? Bukankah dalam agama disebutkan bahwa Tuhan menciptakan makhluk dalam bentuk yang paling indah? Tuhan sendiri adalah Mahaindah dan mencintai keindahan. Tuhan juga suka jika karunia-Nya, antara lain dalam bentuk keindahan, dipertunjukkan.

Toh dalam kontes kali ini sudah ditegaskan tidak akan ada “umbar aurat” seperti terjadi pada kontes-kontes di luar negeri. Artinya, apa yang dianggap kemungkaran itu tidak ada. Selain itu, perlu diperhatikan juga bahwa ajang ini bukan semata-mata melihat pada keindahan yang terpancar dari perempuan secara fisik, tetapi keindahan yang terpancar dari kecantikan pikiran (kecerdasan), emosi, dan kepribadian. Artinya, ketika perempuan memperlihatkan kecantikan lain -selain kecantikan fisik- justru ini bukan termasuk kemungkaran, tetapi sesuatu yang positif. Mereka pun bisa seperti kaum laki-laki yang punya kecerdasan dan kepribadian.

Kenapa mesti ditolak? Apakah kaum laki-laki merasa risih jika ada perempuan-perempuan cerdas ditampilkan di ruang publik?

Para penolak Miss World juga mengatakan bahwa ajang tersebut merupakan bentuk eksploitasi dan kapitalisasi atas tubuh perempuan.

Berdasarkan penuturan Kamidia Radisti, Miss Indonesia 2007, di TV One yang pernah jadi “subjek” atau pelaku langsung ajang ini, mereka sama sekali tidak merasa tubuh mereka dieksploitasi atau menjadi “objek” komoditas. Betul di belakang ini ada kepentingan bisnis banyak produk, tetapi apa bisnis ini melanggar hukum? Apakah salah memilih orang yang 
dianggap Ratu Kecantikan sebagai ikon suatu produk? Bagi diri “sang subjek” sendiri ajang ini menjadi tantangan untuk memperlihatkan kemampuan dan kecerdasan, bukan hanya kecantikan fisik.

Argumen para penolak Miss World sesungguhnya lebih kentara logika berpikir patriarkal yang menempatkan laki-laki di atas segalanya, dan menempatkan perempuan dalam kuasa dan di bawah laki-laki. Perempuan harus “ditutupi” dan jangan “ditampilkan” ke ruang publik. Hal ini tiada lain berangkat dari logika berpikir kaum perempuan tidak boleh keluar rumah dan harus di dalam rumah untuk melayani suami dan keluarga. Perempuan tidak boleh berekspresi di ruang publik dan tidak boleh berkarier. Perempuan harus berada di ruang rumah bersama suami dan anak-anak.

Hanya laki-lakilah yang boleh keluar rumah. Ini tentu logika berpikir yang keliru. Tuhan sendiri sudah menegaskan tidak ada beda antara laki-laki dan perempuan. Di mata Tuhan semua sama. Yang membedakan hanyalah ketakwaan.

Sisi positif

Jika para penolak kontes Miss World menyebut ajang ini lebih banyak mudaratnya dibandingkan manfaatnya, sebetulnya justru sebaliknya. Manfaatnya lebih banyak daripada mudaratnya. Mari kita lihat, ajang ini tidak dimaksudkan untuk sesuatu yang buruk.

Betapa naifnya jika ini tujuannya. Ajang ini, seperti yang berkali-kali ditegaskan panitia, berkaitan dengan promo pariwisata Indonesia ke dunia internasional. Mereka yang dianggap Miss di negara mereka masing-masing adalah ikon yang setelah ajang ini selesai akan menjadi “marketer” yang memperkenalkan pariwisata Indonesia ke negara mereka. Ini justru kesempatan emas.

Tidak hanya itu sebetulnya, mereka juga akan memperkenalkan Indonesia dan ragam budayanya. Bahwa betul Indonesia adalah negara dengan budaya yang beraneka ragam yang mungkin para Miss tidak temukan di negara-negara mereka.

Tidak banyak orang luar yang tahu Indonesia. Atau sekadar tahu nama tanpa tahu isi. Menurut panitia, ada sekitar 140 channel televisi internasional yang akan meliput kegiatan Miss World ini secara langsung.

Setidaknya, ini akan sedikit menghilangkan stereotipe dan kekhawatiran orang luar terhadap Indonesia yang dianggap sebagai negara yang tidak aman bagi para wisatawan, misalnya, dari bahaya terorisme.
Tentu saja masih terekam dengan jelas dalam ingatan mengenai bom yang meledak di Bali pada 12 Oktober 2002 dan 1 Oktober 2005. Ledakan bom tersebut menewaskan banyak orang asing yang merupakan wisatawan.

Ajang Miss World merupakan kesempatan emas untuk memperkenalkan kembali Indonesia ke dunia luar dan menyedot para wisatawan. Kita menyebut negeri kita “zamrut katulistiwa”, tetapi bagaimana caranya kita memperkenalkan sebutan ini kepada dunia luar? Ajang ini memang bukan satu-satunya cara.


Akan tetapi, mengingat peserta ajang ini adalah ikon perempuan dari tiap-tiap negara karena mereka merupakan Miss yang mewakili negaranya. Hal ini setidaknya menjadi kesempatan emas yang sayang dilewatkan. Setiap orang bebas menyikapi ajang ini, tetapi mestinya dilakukan dengan cara-cara yang arif dan tanpa kekerasan. Tidak semua suka dengan ajang ini, tetapi tentu tidak bisa seenaknya melarang karena ajang ini sudah dijamin akan “bernuansa Indonesia”. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar