Senin, 02 September 2013

G-20 dan Exit-Strategy Stimulus Moneter AS

G-20 dan Exit-Strategy Stimulus Moneter AS
Firmanzah ;   Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan
KORAN SINDO, 02 September 2013


Pemimpin 20 kekuatan ekonomi dunia akan kembali melakukan pertemuan tingkat tinggi tahun ini, 5–6September2013diSt Petersburg, Rusia. KTT G-20 akan membahas sejumlah tema strategis seperti menciptakan pertumbuhan berkualitas dan berkelanjutan ( sustainable, inclusive, and balanced growth) serta penciptaan lapangan kerja (job creation) di seluruh dunia. 

Secara lebih spesifik, KTT St Petersburg berkeinginan mewujudkan model pertumbuhan baru melalui investasi dan pekerjaan yang berkualitas, trust dan transparansi, serta regulasi yang efektif (effective regulation). Pertemuan KTT G-20 kali ini harus berhadapan dengan persoalan besar terkait dengan gejolak pasar keuangan dunia akibat rencana bank sentral Amerika Serikat (AS) The Fed mengurangi stimulus moneter (quantitative easing-QE). 

Rencana The Fed untuk keluar (exit strategy) dari kebijakan moneter yang longgar telah mendapatkan perhatian dari banyak pemimpin negara dan lembaga internasional. Sejumlah lembaga internasional seperti Bank Dunia, IMF, PBB, Financial Stability Board, OECD, WTO, dan ILO dipastikan akan mengikuti rangkaian pertemuan puncak G-20. Terutama terkait dengan pencarian solusi bersama untuk mengatasi gejolak pasar keuangan dunia akibat rencana The Fed mengurangi atau keluar dari kebijakan moneter longgar. 

Bagi AS, kebijakan pelonggaran moneter dilakukan untuk memberikan stimulus pemulihan perekonomian, terutama akibat krisis subprime mortgage. Selama ini, kebijakan ini telah membuat pasokan dolar mengalir cukup besar tidak hanya ke dalam ekonomi AS, tetapi juga ke banyak negara di dunia. Membanjirnya likuiditas membuat banyak mata uang terapresiasi dan mendongkrak volume perdagangan pasar modal di banyak negara. 

Namun, semakin membaiknya perekonomian AS telah membuat The Fed berencana mengurangi stimulus moneter. Langkah ini ditempuh untuk menjaga keseimbangan antara pasokan dolar dengan sektor riil. Melimpahnya pasokan dolar dalam jangka panjang tanpa diimbangi dengan perbaikan sektor riil dikhawatirkan menciptakan gelembung ekonomi (bubble economy). 

Namun, rencana exit strategy yang akan ditempuh The Fed telah menciptakan guncangan dan kepanikan di pasar uang dan saham dunia. Akhirakhir ini kita menyaksikan pemberitaan tertekannya nilai tukar mata uang Asia dan Amerika Latin akibat ditarik kembalinya (sudden reversal) dana dari negara berkembang dan emerging markets oleh investor global. Selain itu, pasar modal di banyak negara juga mengalami tekanan setelah investor menarik dananya baik di pasar modal, uang maupun kepemilikan surat berharga. 

Dampaknya tidak hanya dari sektor keuangan, tetapi juga dikhawatirkan mengganggu tercapainya agenda pembangunan, penciptaan lapangan kerja, pengurangan kemiskinan, dan target Millennium Development Goals (MDGs) di banyak negara. Tantangan utama selama KTT G-20 adalah merumuskan kebijakan mitigasi dampak exit strategy stimulus moneter yang akan dilakukan The Fed. 

Terlebih, akibat rencana ini, negaranegara anggota G-20 yang memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi seperti China, Indonesia, India, Brasil, dan Turki terpaksa merevisi target pertumbuhan mereka. Berkurangnya pertumbuhan di negara tersebut dipastikan juga berdampak pada target pertumbuhan regional dan dunia. Sesungguhnya, bagi negara maju seperti AS dan sejumlah negara Eropa anggota G-20, kondisi ini juga kurang menguntungkan. 

Melemahnya pertumbuhan ekonomi di pusat pertumbuhan dunia berdampak serius pada penurunan volume perdagangan, investasi, dan momentum menjaga lapangan kerja dunia. Pembahasan tentang stabilisasi gejolak pasar keuangan dunia akan menjadi tema yang penting selama KTT G-20. Terlebih, sejumlah negara seperti India dan Brasil telah menempuh langkah stabilisasi yang membutuhkan anggaran tidak kecil. Baru-baru ini, Brasil terpaksa melakukan intervensi dari cadangan devisa sebesar USD65 miliar untuk stabilisasi nilai tukar dan pasar keuangan. 

Jumlah ini merupakan bagian dari total anggaran stabilisasi yang berjumlah USD100 miliar. Selain itu, India telah mengalokasikan subsidi pangan lebih dari USD22 miliar. Naiknya subsidi pangan untuk mengompensasi lonjakan inflasi dan penurunan daya beli akibat depresiasi rupee dan pelemahan perekonomian India. Pernyataan dari negara-negara G-20 terhadap Amerika Serikat untuk lebih berhati-hati dalam melakukan pengurangan stimulus moneter akan sangat mewarnai pertemuan kali ini. Terlebih rencana dan realisasi kebijakan The Fed tidak hanya berdampak bagi perekonomian AS saja, tetapi juga akan berdampak bagi banyak negara. 

Dalam jangka pendek, pertumbuhan ekonomi dunia akan sangat tergantung pada langkah-langkah exit strategy yang akan ditempuh The Fed untuk menjaga keseimbangan antara pasokan dolar dengan kondisi sektor riil. Ketika langkah tersebut dilakukan secara mendadak, dampaknya akan sangat dirasakan oleh banyak negara berkembang dan emerging-market. Kita tentunya berharap, pertemuan pemimpin G-20 akan mampu memberikan kesadaran kepada AS tentang pentingnya menjaga stabilitas pasar keuangan dunia secara kolektif. 

Terlebih 1 minggu setelahnya, pada tanggal 12 September 2013, akan dilakukan rapat FOMC yang salah satu agendanya adalah kepastian arah kebijakan stimulus moneter yang dilakukan oleh The Fed. Saat ini para investor dunia juga dalam posisi wait-and-see hasil pertemuan pemimpin G- 20 dan hasil rapat FOMC yang akan menentukan kelanjutan quantitative-easing. 

Bagi Indonesia, selain peran aktif dalam menyuarakan aspirasi negara berkembang dan emerging markets di forum G-20, kita perlu mempersiapkan diri kalau keputusan untuk keluar dari kebijakan moneter yang longgar benar-benar dilakukan The Fed. Dipastikan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama pemimpin G-20 lainnya akan mencari solusi bersama agar exit strategy dapat dilakukan dengan risiko gejolak pasar keuangan dunia seminimal mungkin. 

Di dalam negeri, kesigapan dan kewaspadaan untuk terus merumuskan kebijakan baik dari sisi moneter maupun sektor riil akan terus kita lakukan. Pemerintah bersama dengan BI, LPS, dan OJK akan terus berkoordinasi dan harmonisasi kebijakan untuk mitigasi dampak exit strategy yang akan ditempuh The Fed terhadap perekonomian nasional kita. Dari sisi fiskal dan sektor riil, kebijakan untuk menjaga agar daya beli masyarakat terjaga akan terus dilakukan dengan sejumlah kebijakan seperti pengelolaan inflasi, pencegahan tidak terjadinya PHK, dan kebijakan proinvestasi. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar