|
Mahatma Gandhi pernah mengatakan, "jika sebuah mata
harus dibalas dengan sebuah mata, hanya akan membuat seluruh dunia ini
buta".
Ungkapan tokoh perjuangan anti kekerasan ini memiliki arti
bagi kelangsungan hidup manusia di muka bumi. Konflik berkepanjangan yang
terjadi di Suriah merupakan bukti nyata apa yang disampaikan tokoh
inspirasional pada awal abad 20 ini. Pertikaian yang bermuara pada tuntutan
perubahan dan pergantian rezim Bashar al-Assad dari kekuasaan hampir lima
dasawarsa, memuncak pada tanggal 15 Maret 2011. Aksi ini terus berkembang,
berujung pada pemberontakan nasional dan perang saudara pada 2012. Ironisnya,
rezim pimpinan Basyar Assad merespon aksi ini dengan pembantaian secara brutal.
Keberadaan Rusia sebagai salah satu negara tetap Dewan
Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), bersama Cina berulang kali
ngeblok keinginan Barat yang ingin menjatuhkan Assad melalui resolusi.
Intervensi asing inilah yang mempercepat perang saudara dan membuat situasi
eksplosif jauh lebih buruk dan menciptakan konflik regional lebih luas, serta
pemicu perang dunia ke III.
Negeri Syam yang tadinya adalah "Kerajaan Sunyi",
kini telah berubah menjadi negara yang mengalami konflik horizontal, kekerasan
secara masif terus terjadi dan tidak pernah bisa menemukan titik terang menuju
konsiliasi. Langkah PBB ini seakan telah mengalami kelumpuhan, tidak mampu
bertindak, dan tidak mampu mengambil langkah tegas dalam penyelesaikan masalah.
Secara geopolitik, Timur Tengah sangat kompleks. Sangat
banyak kelompok di Indonesia mengecam kekerasan yang terjadi seperti di Suriah
dan Mesir. Arab Saudi, dan negara lainnya justru memilih mendukung kekerasan.
Resolusi Liga Arab yang sebelumnya telah berjanji akan memberikan dukungan bagi
rakyat Suriah untuk membela diri, ditolak oleh negara tetangga Suriah seperti
Lebanon, Irak, dan Aljazair atas alasan pengalaman mereka menghadapi resolusi
serupa. Disisi lain adanya negara Arab yang beraffiliasi dengan AS.
Pertemuan Liga Arab, tak lebih menyoroti perbedaan pandangan
Arab Saudi dan Mesir dalam menyikapi krisis Suriah. Mesir yang telah dijanjikan
bantuan 5 miliar dollar AS dari Arab Saudi terkait krisis politik itu,
menyatakan menolak segala bentuk intervensi ke Suriah. Dalam penetapan resolusi,
Mesir memilih abstain. Terlihat jelas, konflik ini telah dijadikan ajang adu
kekuatan penguasa dunia. Inilah sumber utama masalah di Timur Tengah yang harus
segera dihentikan. Namun, yang patut diingat, efek dari pertikaian ini adalah
terhadap rakyat Suriah. Oleh karenanya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
menyerukan agar semua pihak (utamanya PBB dan Liga Arab) lebih aktif.
Dalam pernyataanya SBY menilai, pertikaian yang terjadi di
Suriah semakin mengkhawatirkan. Konflik ini telah menimbulkan kerugian materil
yang cukup besar, serta bertambahnya jumlah korban jiwa, yang mayoritas adalah
warga sipil tak berdosa.
Upaya menekan PBB pun dilakukan oleh Pemerintah Indonesia.
Tujuannya untuk menghentikan kekerasan oleh kedua belah pihak. Dalam konflik
ini pun, disinyalir Suriah telah menggunakan senjata kimia meski awalnya,
Pemerintah Suriah telah berjanji tidak akan menggunakan senjata kimia ataupun
senjata inkonvensional lainnya terhadap warga sipil, kecuali jika terjadi
serangan militer asing. Namun, kekhawatiran masyarakat internasional ini
akhirnya terbukti. Sebelumnya, telah
dilaporkan senjata kimia telah dipindahkan ke sejumlah lokasi di Suriah dan
adanya keterlibatan negara Paman Sam.
Adigium yang disampaikan
pemimpin spiritual dan politikus dari India ada benarnya. Dilihat realitas,
konflik di Suriah tak akan pernah surut. Pertikaian ini bukan hanya antar
rakyat Suriah dan pemerintah yang berkuasa, tetapi telah melahirkan dua kubu
besar di kalangan negara di dunia. Kubu pertama, mengiginkan menyerang Suriah,
dipimpin oleh Amerika Serikat, Prancis, dan Inggris. Ide untuk menyerang Suriah
disampaikan Obama pada Jumat lalu, 30 Agustus 2013. Dirinya dengan tegas
mengatakan, AS akan melakukan serangan terbatas. Hanya, kongres Inggris menolak
keinginan Perdana Menteri Inggris David Cameron untuk terlibat dalam
penyerangan itu.
Sebelum konflik ini berkecamuk, Indonesia telah mengirimkan
empat rekomendasi terkait penyelesaian konflik di Suriah ke Sekretaris Jenderal
PBB Ban Ki-mon oleh Yudhoyono. Rekomendasi itu diantaranya, segera dilakukan
penghentian tindakan kekerasan dan pertempuran, mempertimbangkan penyesuaian
mandat berdasarkan Pasal 7 Piagam PBB. Perubahan ini pada intinya
mentransformasi misi utama PBB, dari sebatas memelihara perdamaian menjadi misi
menciptakan perdamaian.
Selanjutnya, menciptakan perdamaian di Suriah. Rekomendasi
yang terakhir, membentuk peace making
force di bawah bendera PBB. Sikap netral Indonesia terlihat, meski mendesak
penciptaan perdamaian di Suriah. Tetapi langkah ini tidak dikaitkan dengan
tuntutan perubahan kekuasaan politik ataupun keberlanjutan pemerintahan Suriah.
Langkah Indonesia mendesak DK PBB, agar konflik Suriah segera dihentikan
melalui jalur diplomasi adalah langkah tepat. SBY saat bertemu dengan Sahabat
Indonesia, di Hotel Hyatt Regency, Warsawa, Polandia, Rabu (4/9) melihat,
banyaknya konflik di dunia akhir-akhir ini sulit mencapai solusi damai.
Alasanya, langkah penyelesaian masing-masing mengandalkan penyelesaian melalui
hard power ketimbang soft power.
Sahabat Indonesia merupakan bukti nyata, pendekatan soft
power yang menyatukan bangsa dan manusia. Diakui, membangun perdamaian di
tengah kepentingan masing-masing negara, ditambah mudahnya terpancing dalam
konflik, berujung peperangan memang sangat sulit. Namun lebih sulit lagi adalah
merawat perdamaian. Indonesia termasuk negara paling aktif dalam turut menjaga
perdamaian dunia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar