Jumat, 13 September 2013

Diplomasi, Solusi Konflik Suriah

Diplomasi, Solusi Konflik Suriah
Ferry Ferdiansyah  ;   Mahasiswa Pasca Sarjana Universits Mercu Buana, Jakarta
SUARA KARYA, 13 September 2013


Mahatma Gandhi pernah mengatakan, "jika sebuah mata harus dibalas dengan sebuah mata, hanya akan membuat seluruh dunia ini buta".

Ungkapan tokoh perjuangan anti kekerasan ini memiliki arti bagi kelangsungan hidup manusia di muka bumi. Konflik berkepanjangan yang terjadi di Suriah merupakan bukti nyata apa yang disampaikan tokoh inspirasional pada awal abad 20 ini. Pertikaian yang bermuara pada tuntutan perubahan dan pergantian rezim Bashar al-Assad dari kekuasaan hampir lima dasawarsa, memuncak pada tanggal 15 Maret 2011. Aksi ini terus berkembang, berujung pada pemberontakan nasional dan perang saudara pada 2012. Ironisnya, rezim pimpinan Basyar Assad merespon aksi ini dengan pembantaian secara brutal.

Keberadaan Rusia sebagai salah satu negara tetap Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), bersama Cina berulang kali ngeblok keinginan Barat yang ingin menjatuhkan Assad melalui resolusi. Intervensi asing inilah yang mempercepat perang saudara dan membuat situasi eksplosif jauh lebih buruk dan menciptakan konflik regional lebih luas, serta pemicu perang dunia ke III.

Negeri Syam yang tadinya adalah "Kerajaan Sunyi", kini telah berubah menjadi negara yang mengalami konflik horizontal, kekerasan secara masif terus terjadi dan tidak pernah bisa menemukan titik terang menuju konsiliasi. Langkah PBB ini seakan telah mengalami kelumpuhan, tidak mampu bertindak, dan tidak mampu mengambil langkah tegas dalam penyelesaikan masalah.

Secara geopolitik, Timur Tengah sangat kompleks. Sangat banyak kelompok di Indonesia mengecam kekerasan yang terjadi seperti di Suriah dan Mesir. Arab Saudi, dan negara lainnya justru memilih mendukung kekerasan. Resolusi Liga Arab yang sebelumnya telah berjanji akan memberikan dukungan bagi rakyat Suriah untuk membela diri, ditolak oleh negara tetangga Suriah seperti Lebanon, Irak, dan Aljazair atas alasan pengalaman mereka menghadapi resolusi serupa. Disisi lain adanya negara Arab yang beraffiliasi dengan AS.

Pertemuan Liga Arab, tak lebih menyoroti perbedaan pandangan Arab Saudi dan Mesir dalam menyikapi krisis Suriah. Mesir yang telah dijanjikan bantuan 5 miliar dollar AS dari Arab Saudi terkait krisis politik itu, menyatakan menolak segala bentuk intervensi ke Suriah. Dalam penetapan resolusi, Mesir memilih abstain. Terlihat jelas, konflik ini telah dijadikan ajang adu kekuatan penguasa dunia. Inilah sumber utama masalah di Timur Tengah yang harus segera dihentikan. Namun, yang patut diingat, efek dari pertikaian ini adalah terhadap rakyat Suriah. Oleh karenanya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyerukan agar semua pihak (utamanya PBB dan Liga Arab) lebih aktif.

Dalam pernyataanya SBY menilai, pertikaian yang terjadi di Suriah semakin mengkhawatirkan. Konflik ini telah menimbulkan kerugian materil yang cukup besar, serta bertambahnya jumlah korban jiwa, yang mayoritas adalah warga sipil tak berdosa.

Upaya menekan PBB pun dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Tujuannya untuk menghentikan kekerasan oleh kedua belah pihak. Dalam konflik ini pun, disinyalir Suriah telah menggunakan senjata kimia meski awalnya, Pemerintah Suriah telah berjanji tidak akan menggunakan senjata kimia ataupun senjata inkonvensional lainnya terhadap warga sipil, kecuali jika terjadi serangan militer asing. Namun, kekhawatiran masyarakat internasional ini akhirnya terbukti. Sebelumnya, telah dilaporkan senjata kimia telah dipindahkan ke sejumlah lokasi di Suriah dan adanya keterlibatan negara Paman Sam.

Adigium yang disampaikan pemimpin spiritual dan politikus dari India ada benarnya. Dilihat realitas, konflik di Suriah tak akan pernah surut. Pertikaian ini bukan hanya antar rakyat Suriah dan pemerintah yang berkuasa, tetapi telah melahirkan dua kubu besar di kalangan negara di dunia. Kubu pertama, mengiginkan menyerang Suriah, dipimpin oleh Amerika Serikat, Prancis, dan Inggris. Ide untuk menyerang Suriah disampaikan Obama pada Jumat lalu, 30 Agustus 2013. Dirinya dengan tegas mengatakan, AS akan melakukan serangan terbatas. Hanya, kongres Inggris menolak keinginan Perdana Menteri Inggris David Cameron untuk terlibat dalam penyerangan itu.

Sebelum konflik ini berkecamuk, Indonesia telah mengirimkan empat rekomendasi terkait penyelesaian konflik di Suriah ke Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-mon oleh Yudhoyono. Rekomendasi itu diantaranya, segera dilakukan penghentian tindakan kekerasan dan pertempuran, mempertimbangkan penyesuaian mandat berdasarkan Pasal 7 Piagam PBB. Perubahan ini pada intinya mentransformasi misi utama PBB, dari sebatas memelihara perdamaian menjadi misi menciptakan perdamaian.

Selanjutnya, menciptakan perdamaian di Suriah. Rekomendasi yang terakhir, membentuk peace making force di bawah bendera PBB. Sikap netral Indonesia terlihat, meski mendesak penciptaan perdamaian di Suriah. Tetapi langkah ini tidak dikaitkan dengan tuntutan perubahan kekuasaan politik ataupun keberlanjutan pemerintahan Suriah. Langkah Indonesia mendesak DK PBB, agar konflik Suriah segera dihentikan melalui jalur diplomasi adalah langkah tepat. SBY saat bertemu dengan Sahabat Indonesia, di Hotel Hyatt Regency, Warsawa, Polandia, Rabu (4/9) melihat, banyaknya konflik di dunia akhir-akhir ini sulit mencapai solusi damai. Alasanya, langkah penyelesaian masing-masing mengandalkan penyelesaian melalui hard power ketimbang soft power.

Sahabat Indonesia merupakan bukti nyata, pendekatan soft power yang menyatukan bangsa dan manusia. Diakui, membangun perdamaian di tengah kepentingan masing-masing negara, ditambah mudahnya terpancing dalam konflik, berujung peperangan memang sangat sulit. Namun lebih sulit lagi adalah merawat perdamaian. Indonesia termasuk negara paling aktif dalam turut menjaga perdamaian dunia. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar