Sabtu, 21 September 2013

Dialog Kiai dan Sangidi

Dialog Kiai dan Sangidi
Adian Husaini  ;   Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan Islam—Universitas Ibn Khaldun Bogor,
Nama-nama yang disebut dalam tulisan ini hanya fiktif belaka
HIDAYATULLAH, 16 September 2013


ALKISAH, di suatu waktu, di sebuah pondok pesantren, di pelosok Sukabumi, Jawa Barat, Kiai Marwan Syarifin tampak sedang terlibat dialog serius dengan seorang mantan santrinya.  Sangidi Riawan, sang mantan santri itu sengaja datang dari Jakarta menemui gurunya. Ia dilanda kegelisahan mendalam tentang situasi umat Islam akhir-akhir ini, terkait dengan isu Miss World. Di kampusnya, mahasiswa terbelah dua:  yang pro dan kontra terhadap penyelenggaraan kontes Miss World. Bahkan, di kalangan aktivis mahasiswa Islam, ada juga yang secara terbuka mendukung kontes Miss World.

Sangidi gelisah. Gurunya, Kiai Marwan, dilihatnya tergabung dalam demonstrasi menentang kontes Miss World. Di mata Sangidi, penyelenggara Miss World telah melakukan upaya mulia untuk kemajuan bangsa, karena telah mengubah konsep Miss World menjadi kontes tanpa bikini. Budaya dan pariwisata Indonesia pun diharapkan dapat makin meningkat.

Meski sempat mengenyam pendidikan pesantren, di bawah asuhan Kiai mumpuni pula,  pergaulan hidup dan informasi global telah mengubah pola pikirnya. Sangidi kini dikenal sebagai aktivis mahasiswa. Latar belakangnya sebagai lulusan pesantren terkenal pun menambah daya tarik tersendiri. Lidahnya fasih melafalkan berbagai hujjah, dilengkapi dengan hiasan istilah-istilah Inggris dan Arab.

Meskipun sangat tidak lazim bagi seorang santri untuk mmengkritisi pendapat atau tindakan Kiai, kali ini, Sangidi memaksakan diri bertanya dan jika  perlu mengkritisi pendapat-pendapat gurunya. Tekadnya sudah bulat untuk – jika mungkin – membawa gurunya itu ke kubu pendukung kontes Miss World. Sekurangnya, tidak aktif menentangnya.

“Pak Kiai, saya mohon dijelaskan, kenapa Pak Kiai ikut-ikutan demo menentang kontes Miss World?”  Sangidi memberanikan diri menggugat Kiainya. Jantungnya berdegup cukup kencang.

“Saya tidak ikut-ikutan, Sangidi! Saya sangat sadar dengan apa yang saya lakukan. Ini kewajiban kita sebagai Muslim,” jawab Kiai Marwan.

“Kewajiban yang mana, Pak Kiai?”  tanya Sangidi, sambil memandang wajah Kiainya. 

“Harusnya sebagai lulusan pesantren kamu tahu. Ini kan kewajiban al-amaru bil-ma’ruf wal-nahyu ‘anil munkar.  Kita wajib menegakkan kebenaran dan mencegah kemungkaran.  Itu salah satu pilar ajaran agama kita. Bahkan, kata Imam al-Ghazali, itu yang menentukan hidup matinya umat Islam.  Kata Nabi kita Shallallahu ‘alaihi Wassalam, siapa yang melihat kemungkaran, maka hendaknya ia berusaha mengubah dengan kekuatannya. Jika tidak mampu, dengan kata-kata atau pikirannya; dan jika tidak mampu juga, cukup dengan hati. Jadi, minimal, ingkar dan tidak ridho terhadap kemungkaran.  Kamu kan paham akan hadis Nabi itu, Sangidi!

Sangidi terdiam.  Ia tampak gelisah. Kiai Marwan seperti memahami kondisi pemikiran mantan santrinya itu.  Ia menduga, mantan santrinya telah menjadi korban propaganda jaringan pendukung Miss World. Dengan kekuatan uang, media massa, dan lobi-lobi politik yang dimilikinya,  panitia Miss World cukup mampu membangun citra mulia atas tindakannya di tengah masyarakat.  Karena itu, Kiai Marwan pun tak heran jika ada sebagian organisasi Islam bahkan oknum ulama yang berselingkuh mendukung kontes Miss World

Sambil memandangi wajah dan gerak-gerik anggota tubuh Sangidi, Kiai Marwan mencoba membaca pemikiran salah satu santri yang dulu sempat dibanggakannya itu. Dibiarkannya saja Sangidi bergulat dengan pemikirannya, sampai Sangidi sendiri buka mulutnya.

 “Maaf Pak Kiai, apa yang Pak Kiai maksud dengan ‘mungkar’. Apa kontes Miss World ini termasuk mungkar? Dimana letak kemungkarannya?”  Sangidi buka mulut lagi.

“Ya, Sangidi! Justru kontes Miss World dan sejenisnya ini kemungkaran yang sangat canggih, terencana dengan rapi. Bahkan lebih parah lagi, kemungkaran ini dibungkus dengan propaganda hebat, sehingga tercitrakan sebagai sebuah kebaikan bagi bangsa kita. Bukan hanya kontesnya yang bermasalah, tapi mengkampanyekan, bahwa bentuk maksiat seperti itu adalah kebaikan bagi bangsa Indonesia yang mayoritas Muslim. Ibaratnya, melacur itu dosa; korupsi itu dosa. Tapi mengatakan bahwa melacur itu adalah amal sholeh. Itu lebih besar kejahatannya. Coba kamu baca tafsir QS at-Taubah ayat 31.”
“Saya masih belum mengerti jalan pikiran Pak Kiai. Bukankah mereka sudah tampil dengan sangat  sopan dan tidak melanggar etika dan norma budaya kita?” kata Sangidi lagi.

Kiai Marwan tersenyum simpul mendengar pertanyaan sang murid.  Sangidi pun menyela, “Mengapa Pak Kiai senyum-senyum?”

“Sangidi... Sangidi…!  Kamu itu santri cerdas, yang mestinya  sudah memahami masalah seperti ini. Mengapa kamu sampai termakan propaganda-propaganda dengan logika yang dangkal seperti itu? Harusnya kamu paham tentang kiat-kiat setan dalam menipu dan menyesatkan manusia, sebagaimana disebutkan dalam banyak ayat al-Quran.”

Sangidi masih terdiam. Wajah Kiai Marwan dipandanginya, diam-diam. Tetap saja wajah itu menyungging senyuman.

“Begini Sangidi…. Saya maklum, kamu bisa terjebak.  Ada juga pejabat yang kuliahnya di Timur Tengah pun ikut menyarankan agar peserta kontes Miss World  itu mengenakan kebaya. Ia tidak dengan tegas menolak kontesnya. Hanya bajunya yang dia persoalkan.”

“Bukankah itu saran yang bagus Pak Kiai?”

“Saran itu tidak cukup dan tidak mendasar. Yang mendasar pada masalah kontes Miss World ini adalah konsep dan cara pandang terhadap manusia dan martabatnya. Ini kontes tubuh manusia! Yang ikut kontes itu manusia; bukan anjing atau kucing. Kita orang Muslim punya cara pandang yang khas terhadap manusia. Seorang manusia disebut manusia karena akalnya, karena jiwanya. Kita memberikan nilai tinggi kepada manusia juga karena ketinggian iman, akhlak, dan amalnya. Kata Nabi saw: sebaik-baik manusia adalah yang memberikan kemanfaatan kepada manusia. Pada dasarnya, orang cantik, jelek, normal, cacat, itu kehendak Allah.  Itu bukan prestasi. Kecantikan itu anugerah dan sekaligus ujian dari Allah. Karena itu, tidak patut dilombakan! Jangan kamu buat, misalnya, kontes mulut termonyong, lomba bibir terlebar, dan sebagainya! ”

“Tapi, Pak Kiai, bukankah yang dinilai dalam Miss World bukan hanya kecantikannya, tapi juga kecerdasan dan perilakunya?”

“Ha… ha... ha… Sangidi… Sangidi…!  Cobalah pikir! Sederhana  saja! Di Indonesia ini, perempuan yang memiliki prestasi kecerdasan tinggi itu berjubel; ribuan jumlahnya. Mereka-mereka sudah mengharumkan nama bangsa di berbagai forum ilmiah internasional. Mereka melakukan riset-riset ilmiah dan sukses membuat temuan-temuan hebat di bidang ilmu pengetahuan. Prestasi intelektualnya jauh di atas perempuan yang terpilih jadi miss Indonesia itu!”

“Peserta Miss World ini juga harus punya proyek sosial, Pak Kiai, bukan kecantikan saja yang dinilai?” Sangidi masih berusaha meyakinkan gurunya.

“Itu juga bukan hal yang inti, Sangidi! Kalau mau cari perempuan Indonesia yang sangat mulia, yang berjasa besar kepada keluarga dan masyarakatnya, terlalu banyak di negeri ini. Bukan sekedar buat proyek insidental. Bukan sekedar show amal, tapi kehidupan mereka sehari-hari sudah bergelut dengan kerja-kerja mulia untuk kemanusiaan.”

Sangidi terdiam. Ia sebenarnya memahami logika Kiainya. Tapi ia belum bisa menerima logika itu sampai harus membatalkan Miss World di Indonesia. Sebab, faktanya, Miss World memang mendatangkan manfaat. Indonesia jadi lebih dikenal dunia. Peserta Miss World pun ikut mempromosikan budaya Indonesia. Jadi, kecantikan punya nilai tambah tersendiri. Cukup lama Sangidi merenung di depan Sang Kiai. Hatinya bergolak. Ia sudah terlanjur menulis dalam blog-nya, bahwa kontes Miss World di Indonesia kali ini benar-benar membawa manfaat bagi bangsa.

“Begini Pak Kiai…. Indonesia ini kan bukan negara Islam. Mengapa Pak Kiai selalu bawa-bawa Islam untuk menilai kontes Miss World? Ini kan masalah bangsa?”

“Siapa yang mengatakan Indonesia bukan negara Islam? Kalau bukan negara Islam, lalu Indonesia negara apa?  Apa negara kafir?  Kamu mikir,  Sangidi! Jangan hanya ikut-ikutan buat pernyataan seperti orang-orang yang kurang memahami sejarah bangsa kita!”

“Lho apa memangnya, Indonesia ini negara Islam, Pak Kiai?”

“Dengar baik-baik ya, Sangidi! Indonesia ini negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan sudah ditegaskan oleh para perumusnya, bahwa Tuhan Yang Maha Esa  itu adalah Allah Subhanahu Wata’ala, sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ketiga. Juga latar belakang rumusan Ketuhanan Yang Maha Esa itu adalah sebagai ganti dari tujuh kata yang dihapus dalam Piagam Jakarta. Ringkasnya, Indonesia ini Negara berdasar atas Tauhid, sebagaimana konsep Islam. Itu ditegaskan dalam Munas Alim Ulama NU tahun 1983 di Situbondo!”

“Tapi Pak Kiai, itu kan menurut Pak Kiai yang Islam. Bagaimana dengan warga Indonesia yang beragama lain?”

“Kamu itu orang Islam atau bukan!? Bukankah seharusnya kamu berpikiran semacam itu, sebagai orang Islam. Kalau soal orang non-Muslim, itu urusan mereka. Kita hormati cara berpikir mereka.”

“Ya benar. Hanya saja, Pak Kiai… kita ini kan warga Negara Indonesia yang plural, tidak bisa memaksakan nilai-nilai Islam kita kepada yang lain?”

“Yang memaksakan itu siapa?  Kita tidak memaksa siapa-siapa.”

“Itu buktinya, Kiai memaksakan kontes Miss World dibatalkan!”

“Penyelenggara yang memaksakan kontes munkar itu diadakan di Indonesia. Mereka tidak sensitif dengan aspirasi umat Islam Indonesia. Di Masa Pak Harto, mengirimkan wakil ke Miss-miss-an seperti itu saja dilarang. Apalagi jadi tuan rumahnya! Ini sangat keterlaluan, mentang-mentang punya uang dan media!  Acara ini juga sangat mudah memicu prasangka dan konflik bernuansa ras dan agama. Ini yang tidak kita kehendaki. Karena itu, jauh-jauh sebelum acara ini berlangsung, saya sudah mengingatkan penyelenggara, baik lewat tulisan atau pun lobi.  Jangan teruskan acara ini! Jangan merusak dan memecah belah bangsa kita dengan cara-cara yang akan memunculkan kontroversi. Karena itu, kami para pimpinan pesantren,  tidak tinggal diam! Itu makanya saya turun langsung berdemonstrasi memprotes acara Miss World ini!!!!!”  suara Kiai Marwan agak meninggi.

“Apa Pak Kiai mau memaksakan untuk dibatalkan, padahal pemerintah pun sudah melokalisasi acara ini di Bali!”

“Orang seperti saya ini tidak punya kuasa. Bagaimana mau memaksakan? Yang memaksakan itu yang punya uang, yang punya televisi, yang punya keberanian menantang Tuhan! Yang bertanggung jawab dunia akhirat itu ya Pak SBY dan para pejabat di bawahnya.  Saya hanya menyampaikan aspirasi sekuat tenaga dan pikiran. Terserah pemerintah dan panitia penyelenggara mau dengar atau tidak!” 

“Maaf, Pak Kiai, apa tidak sebaiknya Pak Kiai menerima kenyataan, bahwa masyarakat kita sekarang sangat sulit menerima pemahaman seperti Pak Kiai ini. Pak Kiai akan dianggap makhluk aneh, karena pada umumnya manusia senang melihat tontonan yang melibatkan orang-orang cantik.  Bahkan, sekarang, artis-artis jauh lebih popular daripada ulama. Apa Pak Kiai tidak bisa berkompromi sedikit?”

“Kebenaran itu, Sangidi, tidak bisa dikompromikan.  Kita harus menyatakan yang haq itu haq, yang benar itu benar. Katakan saja, meskipun itu pahit; begitu pesan Nabi kita, Nabi Muhammad saw. Dan saya yakin, kebenaran itu pasti ada pendukungnya. Mungkin tidak banyak. Tapi, yang sedikit itu, jika serius, akan mampu memimpin yang banyak. Anak babi itu banyak; anak singa sedikit. Tapi, anak singa makan babi… he he he….”  Kiai Marwan tertawa lirih sambil senyum-senyum memandangi Sangidi yang mulai salah tingkah.

“Kamu kenapa sih Sangidi…. Kok kelihatan gelisah. Kamu kan tidak ada hubungan apa-apa dengan panitia Miss World?”

“Maaf… maaf… Pak Kiai, benar-benar saya minta maaf ya Pak Kiai…. Saya ke sini sebenarnya ada maksud membawa amanah dari seseorang yang meminta saya melunakkan pendapat Pak Kiai soal Miss World ini…”

“Ya, saya sudah menduga… tidak biasa-biasanya kamu datang ke sini, sejak lulus pesantren dua tahun lalu…saya menduga pasti kamu membawa misi sesuatu! Terus, … kamu sendiri bagaimana sikapmu terhadap kontes Miss World ini.”

 “Saya coba pikir-pikir Pak Kiai. Saya baru mendengar hujjah yang agak jelas tentang masalah ini.”

“Begini Sangidi, kuncinya ada di hatimu; kuncinya pada kejujuranmu. Apa kamu jujur?  Apa kamu jujur kalau kamu Muslim? Apa kamu jujur dengan ikrarmu, dengan syahadatmu; bahwa Allah itu Tuhanmu, bukan cukong penyandang danamu; bukan hawa nafsumu! Apa kamu masih jujur dengan ikrarmu. Apa kamu masih mengakui Nabi Muhammad saw itu suri tauladan dan idolamu; apa idolamu sudah berubah menjadi Che Guevara atau Hartawijaya?

“Ya Pak Kiai, saya jujur insya Allah! Tapi, kan ini masalah bangsa Pak Kiai? Bukan sekedar masalah agama saja! Ada yang bilang, secara hukum positif di Indonesia, tidak ada yang dilanggar dalam kontes Miss World. Bagaimana itu Pak Kiai?”

“Saya tidak habis pikir, jika yang ngomong seperti itu orang Islam.  Di Indonesia ini, menurut hukum positif, berzina saja – asal suka sama suka dan sama-sama dewasa – tidak melanggar hukum positif. Apa lalu orang boleh berzina, karena tidak melanggar hukum positif? Cari pasal dalam KUHP, apa ada larangan masuk masjid dengan mengenakan bikini!!! Sudahlah Sangidi… kamu harusnya sering-sering silaturrahim ke sini. Kamu sudah terlalu banyak bergaul dengan orang-orag liberal, sampai pikiranmu mulai rusak; tidak bisa lagi membedakan mana yang salah dan mana yang benar.  Hati-hati, kamu sepertinya sudah mulai terbuai dengan pujian dan sedikit popularitas yang kamu nikmati sekarang!”
Sangidi terdiam. Ia tak sanggup lagi menatap wajah gurunya. Kata-kata Kiai Marwan seperti menyayat-nyayat perasaannya. “Doakan saya Pak Kiai, semoga saya masih bisa istiqamah!”

“Saya selalu mendoakan. Tapi, kamu sendiri harus punya niat untuk tidak sesat!”

“Baik, Pak Kiai… saya mohon ijin untuk pamit,”  Sangidi mengakhiri ucapannya.

“Ya, jaga diri. Ingat orang tuamu, berharap kamu jadi anak shalih!”

Sejurus kemudian, sebuah sedan hitam metalik, membawa Sangidi meninggalkan pesantren. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar