Kamis, 12 September 2013

Di Balik Harga Kedelai

Di Balik Harga Kedelai
Purbayu Budi Santosa  ;    Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Undip 
REPUBLIKA, 11 September 2013


Komoditas kedelai yang mempunyai kedudukan strategis, berupa keterkaitan ke belakang dan ke depan, menjadi masalah besar kalau harganya naik di luar kewajaran. Kalau merujuk pada Peraturan Presiden No 32/2013 tentang penugasan untuk pengamanan harga dan penyaluran kedelai serta Permendagri no 26/M-DAG/PER/5/2013 HPP (Harga Patokan Penjualan) ditetapkan sebesar Rp 7.450 per kilogram, sementara di berbagai daerah sudah menembus harga di atas Rp 10 ribu. Bukan saja perajin tahu dan tempe yang kelimpungan dalam produksi dan penjualan, melainkan bahaya yang terbuka lebar karena disparitas harga yang besar.

Gabungan Produsen Tempe dan Tahu Indonesia (Gakoptindo) mogok produksi selama tiga hari yakni pada 9 September-11 September 2013, jika harga kedelai tidak mengalami penurunan. Sekiranya para produsen masih sanggup memproduksi makanan kaya gizi tersebut dengan keuntungan yang kecil sekalipun, mereka akan tetap memproduksinya. Hal ini mengingat umumnya bekerja sebagai perajin tahu tempe merupakan usaha yang turun-temurun, dan dapat dikatakan sebagai melestarikan budaya usaha yang sering mengalami masalah tersebut.

Belum lagi, karena bekerja pada kerajinan tersebut memerlukan keahlian khusus, dan sekarang yang namanya bekerja di sektor lainnya bukan merupakan suatu hal yang mudah, meskipun keuntungannya minim tetap saja dilakukan.
Daripada masuk ke jajaran pengangguran, akan begitu merugikan karena terkait dengan tanggung jawab menafkahi keluarga dan terkena sanksi sosial berupa jatuhnya nilai kemanusian sebagai penganggur. Tetapi, sekiranya tetap berusaha dengan kerugian yang cukup besar, meskipun dampak negatif dari pengangguran yang begitu besar, tetap tidak dapat dihindari. Mogok produksi sampai 11 September, di mana dunia akan mengenang jatuhnya menara kembar di New York sebagai simbol dari kepongahan negara yang sok kuasa tersebut, dampaknya akan luar biasa dan tidak kalah dengan pelecehan terhadap negara AS. 

Bisa diduga, banyak orang di dalam negeri apalagi di luar negeri akan menertawakan Indonesia yang hanya mengurus masalah kedelai saja sudah tidak mampu.  Kita akan mengenang bagai mana dulu negara yang terkenal akan kejayaan pertaniannya (negara agraris), sekarang ini di ujung kejatuhan satu per satu komoditas pertaniannya. Mengapa bisa demikian?

Motif mencari rente?

Banyak pihak berpendapat kenaikan harga kedelai mula-mula disebabkan dan sebagai dampak kenaikan harga BBM, yang berakibat naiknya biaya pengangkutan sehingga terjadi lonjakan dalam biaya distribusi. Alasan lainnya adalah melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, yang menembus angka di atas Rp 10 ribu/dolar. Hal ini mengakibatkan harga komoditas kedelai impor mengalami kenaikan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor kedelai semester awal 2013 (Januari-Juli) tercatat sebesar 1,1 juta ton atau senilai Rp 6,7 triliun. Rinciannya, pada Juli impor kedelai adalah sebesar 227 ribu ton atau 140 juta dolar AS. Angka tersebut meningkat dibandingkan bulan Juni yang sebesar 175 ribu ton atau 105 juta dolar AS. Begitu juga dengan Mei yang tercatat 184 ribu ton atau 113 juta dolar AS. Dengan demikian, sampai sekarang Indonesia tercatat menjadi salah satu negara pengimpor kedelai terbesar di dunia.

Kalau dilihat produsen kedelai terbanyak di dunia adalah AS (tahun 2008 sebanyak 80.739.700 ton) dan Indonesia pada tahun yang sama hanya menempati posisi ke-10 dengan total produksi 775.710 ton (tahun 2012 produksi diperkirakan 851,65 ribu ton, yang berarti terus mengalami kenaikan). Meskipun produksi kedelai dalam negeri mengalami kenaikan, akan tetapi karena kenaikan konsumsi per kapita, kebutuhan rata-rata per tahun di atas dua juta ton. 

Dari jumlah itu, sekitar 88 persen digunakan sebagai bahan baku pembuatan tahu tempe, 10 persen untuk pengolahan lainnya seperti industri tepung dan pati serta sisanya sebanyak dua persen untuk benih. Sebagian besar kedelai impor berasal dari AS, Kanada, Argentina, dan Brasil. Alasan lainnya yang dapat dikemukan karena terjadinya cuaca ekstrem pada beberapa negara produsen kedelai, maka produksi kedelai di negara besar penghasil kedelai juga mengalami penurunan. Dengan kata lain, karena ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran maka harga kedelai di berbagai negara produsen juga mengalami kenaikan. Masalahnya, apakah kenaikan harga kedelai di negara produsen masih wajar dan tidak mengerikan seperti yang terjadi di Indonesia sekarang ini?

Sinyalemen munculnya praktik kartel impor kedelai harus menjadi kewaspadaan bagi pihak-pihak berwenang, karena sepertinya pada waktu lalu terjadi berbagai keanehan. Saat terjadi panen raya padi dan harganya mengalami penurunan, justru dilakukan impor. Akibatnya, petani padi mengalami pukulan harga yang telak, sehingga banyak yang mengalami kerugian. Kejadian impor bawang dan daging sapi yang sampai sekarang belum juga selesai masalah kriminalitasnya, perlulah diteliti secara mendalam di luar yang sering dikemukakan banyak pihak.

Besarnya impor kedelai Indonesia ternyata hanya dikuasai oleh beberapa kelompok importir, yang berarti struktur pasarnya oligopolis. Pengalaman mencolok pada impor daging sapi yang mengaitkan kegiatan mencari rente ekonomi pada partai tertentu, perlu juga menjadi kewaspadaan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU). Lembaga ini perlu juga untuk menyelidiki masalah komoditas kedelai secara lebih mendalam. Berbagai tindakan yang akan dilakukan pemerintah untuk mengatasi kemelut kedelai bersifat jangka pendek dan berkesan "manajemen pemadam kebakaran". Pembukaan kran impor kedelai dengan bebas bea masuk memang akan dapat menurunkan harga kedelai, akan tetapi kebijakan ini sifatnya sementara.

Kebijakan yang mestinya diambil adalah mendorong kemandirian dalam memproduksi kedelai, sehingga dalam jangka panjang tidak perlu mengimpor lagi. Masalah teknologi budi daya tidaklah menjadi halangan, karena kita dapat melihat bagaimana negara gurun pasir, seperti Arab Saudi bisa menanam tanaman tropis. Berbagai lembaga penelitian, baik di perguruan tinggi maupun pemerintah dan swasta akan membantu dengan sekuat tenaga untuk menaikkan produktivitas kedelai (maupun komoditas strategis lainnya), asal ada dukungan dari pihak penguasa.

Justru yang dikhawatirkan, keenakan impor yang menguntungkan berbagai pihak dengan motivasi mencari rente akan merugikan rakyat banyak dan NKRI pada masa mendatang. Semestinya masalah pengejaran rente untuk menghalalkan segala cara harus dapat dihentikan. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar