|
Komoditas
kedelai yang mempunyai kedudukan strategis, berupa keterkaitan ke belakang dan
ke depan, menjadi masalah besar kalau harganya naik di luar kewajaran. Kalau
merujuk pada Peraturan Presiden No 32/2013 tentang penugasan untuk pengamanan
harga dan penyaluran kedelai serta Permendagri no 26/M-DAG/PER/5/2013 HPP (Harga
Patokan Penjualan) ditetapkan sebesar Rp 7.450 per kilogram, sementara di
berbagai daerah sudah menembus harga di atas Rp 10 ribu. Bukan saja perajin
tahu dan tempe yang kelimpungan dalam produksi dan penjualan, melainkan bahaya
yang terbuka lebar karena disparitas harga yang besar.
Gabungan
Produsen Tempe dan Tahu Indonesia (Gakoptindo) mogok produksi selama tiga hari
yakni pada 9 September-11 September 2013, jika harga kedelai tidak mengalami
penurunan. Sekiranya para produsen masih sanggup memproduksi makanan kaya gizi
tersebut dengan keuntungan yang kecil sekalipun, mereka akan tetap memproduksinya.
Hal ini mengingat umumnya bekerja sebagai perajin tahu tempe merupakan usaha
yang turun-temurun, dan dapat dikatakan sebagai melestarikan budaya usaha yang
sering mengalami masalah tersebut.
Belum
lagi, karena bekerja pada kerajinan tersebut memerlukan keahlian khusus, dan
sekarang yang namanya bekerja di sektor lainnya bukan merupakan suatu hal yang
mudah, meskipun keuntungannya minim tetap saja dilakukan.
Daripada masuk ke jajaran pengangguran, akan begitu merugikan karena terkait
dengan tanggung jawab menafkahi keluarga dan terkena sanksi sosial berupa
jatuhnya nilai kemanusian sebagai penganggur. Tetapi, sekiranya tetap berusaha
dengan kerugian yang cukup besar, meskipun dampak negatif dari pengangguran yang
begitu besar, tetap tidak dapat dihindari. Mogok produksi sampai 11 September,
di mana dunia akan mengenang jatuhnya menara kembar di New York sebagai simbol
dari kepongahan negara yang sok kuasa tersebut, dampaknya akan luar biasa dan
tidak kalah dengan pelecehan terhadap negara AS.
Bisa
diduga, banyak orang di dalam negeri apalagi di luar negeri akan menertawakan
Indonesia yang hanya mengurus masalah kedelai saja sudah tidak mampu.
Kita akan mengenang bagai mana dulu negara yang terkenal akan kejayaan pertaniannya
(negara agraris), sekarang ini di ujung kejatuhan satu per satu komoditas
pertaniannya. Mengapa bisa demikian?
Motif mencari rente?
Banyak
pihak berpendapat kenaikan harga kedelai mula-mula disebabkan dan sebagai
dampak kenaikan harga BBM, yang berakibat naiknya biaya pengangkutan sehingga
terjadi lonjakan dalam biaya distribusi. Alasan lainnya adalah melemahnya nilai
tukar rupiah terhadap dolar AS, yang menembus angka di atas Rp 10 ribu/dolar.
Hal ini mengakibatkan harga komoditas kedelai impor mengalami kenaikan.
Berdasarkan
data Badan Pusat Statistik (BPS), impor kedelai semester awal 2013
(Januari-Juli) tercatat sebesar 1,1 juta ton atau senilai Rp 6,7 triliun.
Rinciannya, pada Juli impor kedelai adalah sebesar 227 ribu ton atau 140 juta
dolar AS. Angka tersebut meningkat dibandingkan bulan Juni yang sebesar 175
ribu ton atau 105 juta dolar AS. Begitu juga dengan Mei yang tercatat 184 ribu
ton atau 113 juta dolar AS. Dengan demikian, sampai sekarang Indonesia tercatat
menjadi salah satu negara pengimpor kedelai terbesar di dunia.
Kalau
dilihat produsen kedelai terbanyak di dunia adalah AS (tahun 2008 sebanyak
80.739.700 ton) dan Indonesia pada tahun yang sama hanya menempati posisi ke-10
dengan total produksi 775.710 ton (tahun 2012 produksi diperkirakan 851,65 ribu
ton, yang berarti terus mengalami kenaikan). Meskipun produksi kedelai dalam
negeri mengalami kenaikan, akan tetapi karena kenaikan konsumsi per kapita,
kebutuhan rata-rata per tahun di atas dua juta ton.
Dari jumlah
itu, sekitar 88 persen digunakan sebagai bahan baku pembuatan tahu tempe, 10
persen untuk pengolahan lainnya seperti industri tepung dan pati serta sisanya
sebanyak dua persen untuk benih. Sebagian besar kedelai impor berasal dari AS,
Kanada, Argentina, dan Brasil. Alasan lainnya yang dapat dikemukan karena terjadinya
cuaca ekstrem pada beberapa negara produsen kedelai, maka produksi kedelai di
negara besar penghasil kedelai juga mengalami penurunan. Dengan kata lain,
karena ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran maka harga kedelai di
berbagai negara produsen juga mengalami kenaikan. Masalahnya, apakah kenaikan
harga kedelai di negara produsen masih wajar dan tidak mengerikan seperti yang
terjadi di Indonesia sekarang ini?
Sinyalemen
munculnya praktik kartel impor kedelai harus menjadi kewaspadaan bagi
pihak-pihak berwenang, karena sepertinya pada waktu lalu terjadi berbagai
keanehan. Saat terjadi panen raya padi dan harganya mengalami penurunan, justru
dilakukan impor. Akibatnya, petani padi mengalami pukulan harga yang telak,
sehingga banyak yang mengalami kerugian. Kejadian impor bawang dan daging sapi
yang sampai sekarang belum juga selesai masalah kriminalitasnya, perlulah
diteliti secara mendalam di luar yang sering dikemukakan banyak pihak.
Besarnya
impor kedelai Indonesia ternyata hanya dikuasai oleh beberapa kelompok
importir, yang berarti struktur pasarnya oligopolis. Pengalaman mencolok pada
impor daging sapi yang mengaitkan kegiatan mencari rente ekonomi pada partai
tertentu, perlu juga menjadi kewaspadaan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha
(KPPU). Lembaga ini perlu juga untuk menyelidiki masalah komoditas kedelai
secara lebih mendalam. Berbagai tindakan yang akan dilakukan pemerintah untuk
mengatasi kemelut kedelai bersifat jangka pendek dan berkesan "manajemen
pemadam kebakaran". Pembukaan kran impor kedelai dengan bebas bea masuk
memang akan dapat menurunkan harga kedelai, akan tetapi kebijakan ini sifatnya
sementara.
Kebijakan
yang mestinya diambil adalah mendorong kemandirian dalam memproduksi kedelai,
sehingga dalam jangka panjang tidak perlu mengimpor lagi. Masalah teknologi
budi daya tidaklah menjadi halangan, karena kita dapat melihat bagaimana negara
gurun pasir, seperti Arab Saudi bisa menanam tanaman tropis. Berbagai lembaga
penelitian, baik di perguruan tinggi maupun pemerintah dan swasta akan membantu
dengan sekuat tenaga untuk menaikkan produktivitas kedelai (maupun komoditas
strategis lainnya), asal ada dukungan dari pihak penguasa.
Justru
yang dikhawatirkan, keenakan impor yang menguntungkan berbagai pihak dengan
motivasi mencari rente akan merugikan rakyat banyak dan NKRI pada masa
mendatang. Semestinya masalah pengejaran rente untuk menghalalkan segala cara
harus dapat dihentikan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar