Selasa, 24 September 2013

Cokrik, Ciu, dan ICU

Cokrik, Ciu, dan ICU
Toto Subandriyo  ;    Alumnus Teknologi Pertanian IPB,
Pegiat di Lembaga Nalar Terapan (LeNTera), Tegal
JAWA POS, 24 September 2013


Minuman keras (miras) kembali merenggut korban jiwa. Sedikitnya nyawa 11 warga Surabaya terenggut setelah mengonsumsi cokrik (sejenis miras oplosan). Belasan warga lainnya dirawat di ruang penanganan intensif (ICU) rumah sakit untuk menjalani cuci darah guna mengeluarkan racun yang masuk dalam tubuh mereka. Dalam waktu hampir bersamaan, sedikitnya tiga nyawa warga Gresik juga melayang setelah minum miras di kafe pinggir jalan di kawasan Jalan Embong Malang, Surabaya (Jawa Pos, 21 September 2013).

Korban nyawa yang berjatuhan dalam peristiwa memilukan itu menambah panjang deretan korban miras. Sudah tidak terhitung jumlah korban sia-sia karena barang haram tersebut dan tersebar di seluruh tanah air. Misalnya, yang menimpa warga Kota Banjar dan Kabupaten Indramayu (Jawa Barat), Kota Semarang dan Kota Tegal (Jawa Tengah), Kabupaten Sanglah (Bali), Ma­nokwari (Papua), warga Kota Jogjakarta, dan masih banyak lagi lainnya.

Akhir Juni 2009 pasca tewasnya 23 warga Kota Tegal setelah pesta minuman keras oplosan (warga Tegal menyebutnya besotan), penulis beserta kawan-kawan aktivis Lembaga Nalar Terapan (LeNTera) menyelenggarakan diskusi bertajuk Refleksi 40 Hari Tragedi Besotan. Seorang peserta diskusi sempat menggugat lemahnya pengawasan besotan sehingga menelan banyak korban jiwa.

Di satu sisi, dalam komitmen penanggulangan wabah flu babi (swine flu), meski belum ada korban jiwa, upaya penanggulangan sudah gencar dilakukan pemerintah. Kenyataan itu dinilai sangat tidak seimbang dengan upaya menanggulangi dampak besotan yang telah menelan banyak korban jiwa. 


Dalam perspektif sejarah, tradisi mabuk di kalangan masyarakat kita terjadi sejak era kolonial. Pemerintah kolonial Belanda cukup dipusingkan oleh banyaknya industri alkohol tradisional yang dikelola masyarakat. Laporan yang dilansir Algemenee Politie di Batavia menengarai adanya beberapa daerah produsen miras di Jawa. Antara lain, Madiun, Gombong, dan Bekonang (Solo). Bahkan, J. Kats dalam tulisannya Heet Alcoholkwaad (1899) menyatakan bahwa 30 persen kematian penduduk di Jawa disebabkan minuman beralkohol. 

Kondisi dilematis dihadapi pemerintah Hindia Belanda. Bagaimanapun, tradisi minum miras adalah bagian dari pergaulan sosial dalam birokrasi kolonial yang menunjukkan status sosial elitis. Kajian Heather Sutherland (1979) yang dituangkan dalam The Making of Bureaucratic Elite menyebutkan, tradisi mabuk dan minuman beralkohol merupakan gaya hidup elite tradisional masyarakat Hindia Belanda. Lebih jauh, Sutherland menulis, hajatan pernikahan seorang putri Wedana di Blora pada 1897 selama seminggu diisi pertunjukan hiburan, judi, dan minum-minum. 

Pada era sekarang, meski belum didukung data empiris penelitian, maraknya kasus miras lebih merupakan bentuk fenomena eskapisme. Menurut Kartini Kartono (2005), fenomena eskapisme itu merupakan cara melarikan diri dari tekanan masalah yang dipicu tekanan sosial-ekonomi. Fenomena eskapisme merupakan bentuk frustrasi negatif yang sangat merugikan pribadi seseorang.

Penyelesaian frustrasi mengandung usaha untuk meredusasi ketegangan-ketegangan yang ada. Melambungnya harga kebutuhan pokok sehari-hari serta kegaduhan sosial-politik luar biasa di negeri ini sedikit banyak akan memicu stres serta ketegangan. Sesuai sifatnya, miras dipilih untuk meredusasi stres dan ketegangan tersebut, meski hanya bersifat sementara waktu (eskapisme semu). Susbstansi permasalahan sebenarnya belum terpecahkan, hanya mengalami penundaan untuk sementara. 

Beberapa peristiwa tragis yang terulang dan terulang itu menunjukkan bahwa fungsi pengawasan serta penegakan hukum terhadap miras belum berjalan optimal. Ketentuan hukum belum diterapkan secara tegas untuk menimbulkan efek jera bagi para pelanggar ketentuan. Selama ini, pengawasan pihak berwajib lebih difokuskan pada produk miras resmi, belum banyak menyentuh miras oplosan seperti cokrik dan besotan yang umumnya dijual secara terselubung dan kucing-kucingan.

Tragedi yang menewaskan banyak jiwa tersebut seharusnya membuka mata semua pemangku kepentingan akan pentingnya pengawasan miras. Tragedi itu juga menunjukkan betapa kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap bahaya mengonsumsi miras oplosan. Sulit diterima akal sehat, secara sadar seseorang minum minuman berkadar alkohol 99 persen, kecuali jika bermotif ingin bunuh diri. 

Tidak ada lagi alasan bagi pemangku kepentingan untuk bersikap masa bodoh terhadap persoalan tersebut. Upaya memerangi peredaran miras harus dibangun dari individu-individu dan keluarga. Membentengi diri dan keluarga dari keinginan mengonsumsi miras, mempertebal keimanan, dan membina kehidupan keluarga yang lebih bertanggung jawab menjadi tugas kita semua. 

Harus ada pihak-pihak yang tidak bosan memberikan pencerahan tentang bahaya miras bagi keselamatan jiwa. Peran para tokoh masyarakat, alim ulama, akademisi, serta komponen masyarakat lainnya perlu lebih dintensifkan dalam memberikan pencerahan tentang bahaya miras oplosan.

Last but not least, upaya penegakan hukum terhadap para pelanggar ketentuan menjadi kata kunci keberhasilan penanggulangan dampak buruk peredaran miras. Selama ini, upaya penegakan hukum terhadap para pelanggar ketentuan peredaran miras masih terasa lemah. Masyarakat dibuat heboh ketika terjadi peristiwa memilukan seperti tragedi cokrik itu, namun tak lama kemudian masuk peti es dan heboh kembali setelah muncul kasus baru lainnya. Ingat, batas antara cokrik, ciu, dan ICU itu sangat dekat, maka waspadalah, waspadalah!  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar