Selasa, 24 September 2013

Antara Prestasi dan Realitas Hidup

Antara Prestasi dan Realitas Hidup
Kurniawan Adi Santoso  ;    Guru Tidak Tetap Sekolah Dasar di Malang
KORAN JAKARTA, 24 September 2013



Pagi itu, seorang siswa datang lebih pagi dari biasanya. Ia berjalan menuju ruang kelas tiga, lalu meletakkan tas di bangku. Ia mengambil bungkusan kresek dari dalam tas dan membawa ke luar kelas. Bungkusan kresek itu berisi jajanan gorengan berupa weci, tahu isi, pisang goreng, dan lumpia. Singkat cerita, anak yang masih duduk di kelas tiga sekolah dasar yang bernama Sofyan Apriza tersebut ternyata berniat menjual gorengan kepada teman-temannya. 

Langkah anak yang masih berumur delapan tahun tadi sebenarnya tak terdapat di dalam kurikulum formal pendidikan. Itu merupakan hasil belajar dari hidup yang keras. Dia harus berjuang menjual gorengan kepada temannya di waktu pagi, sebelum jam pelajaran mulai, demi memperoleh uang saku yang tak dapat diberikan orang tuanya.

Kurikulum pendidikan lebih mementingkan prestasi akademik. Murid ditekankan berkompetisi dan dipacu agar menjadi juara (peringkat) 1. Ketika mendapat nilai jelek, anak dimarahi habis-habisan. Padahal, nilai secara akademik belum tentu menjamin bisa mendapat pekerjaan yang layak. 

Tak jarang anak sekolah yang diberi predikat "juara kelas" hanya bisa memajang ijazah karena jadi pengangguran. Inilah yang bisa menghambat negara lepas dari jerat kemiskinan. Lulusan sekolah tak dididik untuk hidup kreatif dan mandiri. 

Meski negara sudah berusia 68 tahun, kemakmuran belum dirasakan rakyat. Jumlah kemiskinan masih besar, apalagi yang mendekati kemiskinan atau pengangguran. Di samping itu, negara belum bisa menghentikan urbanisasi besar-besaran setiap tahun, pascalebaran. Kaum urban sebagian besar sejatinya tak diinginkan pasar tenaga kerja di kota. Mereka unskilled worker atau tenaga kerja minim keahlian dan berpendidikan rendah. Kehadiran mereka hanya menambah jumlah pengangguran dan kemiskinan.

Peralihan tenaga kerja dari desa ke kota tidak mampu tertampung di sektor formal. Akibatnya, terjadi deformasi atau menurunnya kualitas dan bentuk pendapatan. Pada akhirnya terciptalah kantong-kantong kemiskinan.

Kesepakatan global dalam Millennium Development Goals (MDGs) yang terdiri 8 tujuan, 18 target, dan 48 indikator menyatakan tahun 2015 setiap negara berkembang harus mampu menurunkan kemiskinan hingga 50 persen dari kondisi pada tahun 1990. Untuk itu, pemerintah harus mereduksi laju pengangguran dengan penciptaan lapangan kerja seluas mungkin dan penanggulangan kemiskinan.

Problem serius terkait pengangguran dan kemiskinan tentu menjadi pekerjaan rumah yang berat. Per Februari 2013, pengangguran mencapai 5,92 persen dari total angkatan kerja yang berjumlah 121,2 juta orang. Jumlah ini bisa bertambah hingga 1,5 juta seiring melambatnya pertumbuhan ekonomi.

Pemerintah berjanji mulai tahun 2014 akan mencetak 4,8 juta lapangan kerja baru. Tetapi, menurut BPS, dalam dua tahun terakhir, pemerintah hanya menciptakan 4,6 juta lapangan kerja baru. Salah satu cara memenuhi target 4,8 juta lapangan kerja dengan pendidikan kewirausahaan bagi generasi muda agar mandiri.

Diperlukan pengusaha-pengusaha baru untuk mengatasi kemiskinan untuk membantu pemerintah menyediakan lapangan pekerjaan. Maka, kewirausahaan penting dibangkitkan di dunia pendidikan dengan mengubah pola pikir seseorang, bekerja menggunakan ide dan kreativitas. Berwirausaha membuat seseorang terus melatih jiwa kreativitas dan inovatif yang tinggi dalam hidupnya untuk menemukan peluang (opportunity) dan perbaikan (preparation) hidup. Dengan demikian, akan tercipta kemakmuran bagi dirinya sendiri, masyarakat, dan lingkungan. 

BPS mencatat 53 persen pengangguran berusia di bawah 25 tahun, dan mayoritas berpendidikan SMA atau lebih tinggi (74 persen). Maka, pendidikan kewirausahaan jelas penting untuk diajarkan di sekolah formal. Anak yang telah lulus, jika tak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi, minimal memiliki dasar-dasar pengetahuan merintis usaha sehingga tidak menganggur. 

Kewirausahaan merupakan pendidikan kecakapan hidup (lifeskill) untuk memahami dunia usaha serta mengaktualisasikan sikap dan perilaku usaha dalam kehidupan sehari-hari. Peserta didik kewirausahaan dibidik jadi individu kreatif, berdaya, bercipta, berkarya, dan berusaha dalam rangka meningkatkan pendapatan.

Pendidikan kewirausahaan sangat bisa dimasukkan ke kurikulum sekolah. Alternatif yang bisa ditempuh antara lain memasukkan kewirausahaan sebagai mata pelajaran muatan lokal dan menyelenggarakan ekstrakurikuler wajib berupa kewirausahaan.

Setiap sekolah bisa saja memiliki perbedaan dalam memilih jenis pendidikan kewirausahaan yang perlu diajarkan karena latar belakang sosial ekonomi juga lain. Dalam hal ini, sekolah bisa menentukan jenis pendidikan kewirausahaan yang cocok untuk dipelajari siswa-siswinya sesuai kondisi lingkungan.

Pendidikan kewirausahaan harus menonjolkan pengetahuan praktis mengenai dasar-dasar bisnis seperti produksi dan marketing. Bahan ajar bisa diambil dari buku, majalah, karya tulis, internet, lingkungan, atau narasumber. 

Kesederhanaan bahan ajar tetap mempertimbangkan potensi peserta didik, relevansi dengan tuntutan lingkungan, serta kebermanfaatan. Dengan demikian, memudahkan siswa untuk mempraktikkan, baik di sekolah maupun di masyarakat, sesuai dengan kompetensi.

Selain pengetahuan praktis, pola pikir anak harus dirangsang ke arah mentalitas wirausaha. Mental wirausaha harus ditanamkan sejak SD. Siswa perlu diajari kemandirian, keberanian mengemukakan pendapat, belajar menyelesaikan konflik dengan teman, belajar menjadi pemimpin di kelas, anti mencontek, serta mampu mengembangkan ide kreatif dan inovatif. 

Pendidikan kewirausahaan sejak dini bisa mengubah paradigma pendidikan yang telanjur menjadi birokrasi minded, melulu difokuskan untuk mencetak generasi baru yang hanya berorientasi pegawai. Jika melihat fakta angka pengangguran terdidik masih tinggi, birokrasi minded tak layak dibiarkan merasuki mental generasi berikut. Sudah saatnya anak-anak sejak dini diajari untuk mengenal berbagai jenis kewirausahaan sebagai alternatif menghadapi masa depan di luar pegawai. 

Mental priayi sebagai konsekuensi dari birokrasi minded, yang selama ini menjadi tipe pendidikan, harus dihapus. Sudah terlalu banyak lulusan perguruan tinggi yang bermental priayi. Mereka tidak bersedia merintis usaha kecil dan memilih menganggur sambil mondar-mandir keluar-masuk kantor menawarkan surat lamaran.

Generasi muda yang bermental priayi, ujung-ujungnya, hanya akan menjadi kuli di negara lain sehingga makin menguatkan citra Indonesia sebagai pengekspor tenaga kerja. Jika ini terus berlanjut, dikhawatirkan bisa memperburuk citra bangsa. 

Fakta menunjukkan lowongan pekerjaan menjadi pegawai atau karyawan selalu terbatas. Sebaliknya, peluang menjadi pengusaha terbuka lebar untuk semua generasi. Karena itu, sangat diharapkan pula adanya political will dari otoritas pendidikan agar mengajarkan pendidikan kewirausahaan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar