Kamis, 12 September 2013

Bias Sensasi Petaka di KM 8+200

Bias Sensasi Petaka di KM 8+200
Katamsi Ginano  ;   Penikmat Buku
TEMPO.CO, 12 September 2013


NAHAS itu terjadi Minggu dinihari, 8 September 2013, di Km 8+200 Tol Jagorawi. Lancer B-80-SAL dari Bogor menuju Jakarta yang dikemudikan AQJ, 13 tahun, kehilangan kendali, menggasak pembatas jalan, masuk ke jalur untuk kendaraan berlawanan arah, menabrak Toyota Avanza dan menghantam Daihatsu Gran Max yang sedang melaju. Korban berjatuhan. Enam orang tewas, dan sembilan lainnya kini menjalani perawatan intensif.

Media pun geger. Terlebih AQJ adalah putra pasangan pesohor yang tak henti membuat sensasi, Ahmad Dhani dan Maia Estianty. Magnet artis inilah yang tampaknya menjadikan kecelakaan itu perhatian nasional dan menyesaki pemberitaan. Gegar yang mengemuka bahkan melebihi liputan tragedi kecelakaan bus PO Giri Indah di Jalan Raya Puncak, Kabupaten Bogor, Rabu (21 Agustus 2013) lalu, yang merenggut 19 korban jiwa.

Bila dicermati, pemberitaan di media memang dengan cepat mengerucut dan terfokus pada AQJ dan keluarganya. Media dengan rinci melaporkan cedera yang dialami; proses penanganan di rumah sakit; bagaimana ayah dan ibunya setia menemani; kerabat, kenalan, bahkan tokoh yang menjenguk; hingga pernak-pernik yang masih berada di rongsokan mobil yang ia kendarai. Doa, simpati, dan empati terhadap AQJ juga dideraskan, dilahap, serta diolah oleh para jurnalis, dan seketika menjadi konsumsi publik.

Kendati memiliki kriteria berbeda-beda perihal layak-tidaknya sebuah peristiwa ditulis atau disiarkan, umumnya media tak lepas dari formula rumusan Johan Galtung dan Mari Holmboe Ruge (1963) dan dipublikasikan pada 1965 di Journal of Peace Research, Volume 2 (The Structure of Foreign News: The Presentation of the Congo, Cuba and Cyprus Crises in Four Norwegian Newspapers). Galtung dan Ruge ini mempengaruhi sejumlah pemikir komunikasi, misalnya Stanley Cohen, dalam The Manufacture of News: A Reader (Sage Publications, 1973), serta Tony Harcup dan Deirdre O'Neill, yang melakukan penelitian di Inggris dan merumuskan 10 kriteria layak berita (What Is News? Galtung and Ruge Revisited, Journalism Studies, 2, Number 2, 2001).

Temuan Harcup dan O'Neill menunjukkan peristiwa layak berita dan diangkat di media yang mereka teliti bila berkaitan dengan the power elite; celebrity; entertainment, surprise; bad news; good news; magnitude; relevance; follow-up; dan newspaper agenda. Fakta kecelakaan di Km 8+200 yang melibatkan AQJ setidaknya memenuhi lima kriteria dari 10 formula Harcup dan O'Neill. AQJ adalah bagian dari komunitas selebritas papan atas negeri ini. Dia baru melewati usia 13 tahun, memacu mobil melebihi 100 km per jam, dinihari, jauh dari kediamannya, dan memicu kecelakaan fatal dengan jumlah korban signifikan.

Di lain pihak, peristiwa itu juga relevan dengan isu lebih besar, yakni tingginya angka kecelakaan yang melibatkan pengendara mobil atau sepeda motor di bawah usia 16 tahun. Menurut catatan Ketua Umum Road Safety Association (RSA), Rusyanto ("Anak Celaka di Jalan, Orangtua Lalai", Detik.com, 8 September 2013), di wilayah Polda Metro Jaya saja angka kecelakaan yang diakibatkan pengendara di bawah umur melonjak 160 persen dari kasus pada 2011 menjadi 104 kasus pada 2012.

Dalam konteks peristiwa dan berita, faktor-faktor yang menyertai petaka di Km 8+200 "seperti ruas ketemu buku". Harus diberitakan sedetail-detailnya hingga ke taraf yang (disadari atau tidak) menggiring para wartawan dan media melupakan aspek fundamental jurnalisme dan etika jurnalistik. Mereka masyuk menyiarkan haru-biru serta empati dan simpati terhadap AQJ dan keluarganya, sembari pada saat yang sama tampak dengan sengaja tak terlampau tertarik menelisik enam korban tewas dan delapan lainnya yang tengah dirawat intensif.

Parade selebritas dan tokoh yang sekadar mengucapkan doa atau menyampaikan simpati diperlakukan sedemikian penting hingga lebih layak diwartakan dibanding pelanggaran hukum dan norma sosial yang dilakukan AQJ, arogansi para pesohor, dan orang tua yang mengabaikan tanggung jawab atas anak di bawah umur. Bahkan permintaan doa yang di-tweet Ahmad Dhani untuk AQJ pun ditulis sebagai berita, tanpa mempertanyakan mengapa dia tak menyinggung permintaan yang sama untuk korban lain yang juga sedang dirawat?

Sikap kritis itu juga majal ketika memamah pernyataan bahwa AQJ semata adalah korban keretakan hubungan orang tuanya. Saya tak menemukan satu pun media menseriusi fakta bahwa, di usia belia, dia telah mengorbankan enam jiwa yang sebagian di antaranya memiliki anak. Tidak ada pula yang menyikapi dengan kritis ihwal, misalnya, mengapa tokoh yang juga mantan Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Seto Mulyadi hanya menyambangi AQJ dan keluarganya; tidak menyambangi anak-anak yang orang tuanya yang jatuh sebagai korban.

Pasal 1 dan Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang disepakati seluruh organisasi wartawan di negeri ini memaktubkan keberimbangan dalam setiap penulisan dan penyiaran berita. Sekalipun satu peristiwa amat layak diberitakan, dengan tidak diindahkannya etika, apa yang dilaporkan wartawan dan media rentan tergelincir menjadi sensasi belaka.

Sensasi yang berlebihan, seperti yang dipraktekkan para pewarta dan media dalam meliput dan memberitakan peristiwa di Km 8+200 Tol Jagorawi, tak berbeda dengan diskriminasi terhadap pihak lain yang sama-sama menjadi subyek atau obyek peristiwa ini. Apakah karena mereka cuma orang biasa yang tanpa daya, lalu boleh diabaikan suara dan kepentingannya? Padahal Pasal 8 KEJ menegaskan wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi, serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa, atau cacat jasmani.

Pemberitaan peristiwa di Km 8+200 Tol Jagorawi yang bias sensasi artis dan pesohor itu kian mengukuhkan wajah buruk jurnalisme yang oleh dua pakar komunikasi penulis Mass Communication Theory: Foundations, Ferment, and Future (2006), Stanley J. Baran dan Danis K Davis, disebut "jurnalisme selera rendah". Padahal praktek jurnalisme, yang menjamur di Indonesia sejak 1998 ini, berfaedah bagi kepentingan ego dan narsisisme orang-orang tertentu yang diuntungkan atau memang mencari panggung dengan menunggang peristiwa apa pun, termasuk yang semestinya adalah musibah dan dukacita.  ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar