Kamis, 17 Januari 2013

Nada Sumbang Palu Pengadil


Nada Sumbang Palu Pengadil
Gunarto ;  Guru Besar Fakultas Hukum, Wakil Rektor II Unissula Semarang
SUARA MERDEKA, 17 Januari 2013



Berikan kepada saya hakim dan jaksa yang baik maka dengan undang-undang yang buruk sekalipun, saya bisa hadirkan keputusan yang baik  (Taverne)
"Yang kita butuhkan, bukan hanya seberapa banyak pasal dan perundang-undangan yang melarang korupsi"

PUTUS sudah drama pengadilan yang paling ditunggu banyak orang. Pengadilan Tipikor menyatakan Angelina Sondakh, mantan puteri Indonesia, yang dianggap mata rantai megakorupsi Hambalang dan proyek di beberapa perguruan tinggi, bersalah dan mengganjarnya dengan vonis 4 tahun 6 bulan.

Terdakwa mungkin ”mensyukuri” vonis itu karena amat jauh dari tuntutan jaksa 12 tahun penjara. Publik pun menganggap vonis ini mencederai rasa keadilan masyarakat. Menurut mereka, bagaimana mungkin kejahatan korupsi yang begitu besar hanya mendapat ganjaran hukuman 4 tahun 6 bulan.  Majelis hakim dalam amar putusannya menyampaikan hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa. Yang memberatkan adalah pertama; tindakan terdakwa dianggap membuka pintu bagi terjadinya tindakan korupsi berikutnya, yaitu menggiring anggaran ke dalam DIPA.

Kedua; anggaran yang disahkan tidak sepenuhnya untuk kepentingan masyarakat. Ketiga; terdakwa tidak mengakui tindakan yang dilakukan. Adapun hal-hal yang meringankan, terdakwa merupakan orang tua tunggal bagi anak-anaknya, berprestasi di berbagai kegiatan mewakili negara, belum pernah dihukum, dan tidak melakukan tindakan yang mengganggu persidangan.

Secara formal material, hakim memutus terdakwa menggunakan Pasal 11 UU Tipikor. Berdasarkan pasal tersebut, memang hukuman maksimal 5 tahun. Adapun jaksa menuntut dengan Pasal 12 dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara. Selain itu, jaksa menuntut dengan Pasal 5 Ayat 2 jo Pasal 5 Ayat 1 (a) jo Pasal 18 dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun, serta Pasal 11 jo Pasal 18 dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun.

Mengurai Persidangan

Sebenarnya kasus ini dapat dipandang dalam tiga perspektif. Pertama; ada ketidakcermatan jaksa dalam melakukan tuntutan. Mereka mengajukan tiga pasal itu secara opsional untuk menjerat terdakwa. Ada kesan jaksa tak begitu yakin dengan tuntutannya sehingga perlu mengajukan tiga pasal. Celakanya, hakim memutus dengan hukuman terendah, yakni berdasarkan Pasal 11, dan memutuskan tak perlu ada denda karena menganggap tidak merugikan keuangan negara.

Kedua; dengan ketidakcermatan itu, jaksa tidak hanya gagal menggiring terdakwa dengan hukuman tinggi, tetapi juga gagal total menuntut terdakwa dalam kasus Hambalang. Pasalnya, yang dibuktikan oleh jaksa, terdakwa hanya terbukti menerima suap terkait penggiringan anggaran dari Kemendikbud.

Ketiga; ada kesan kurang tepat dalam pertimbangan hakim menempatkan klausul yang meringankan terdakwa. Seharusnya, sebagai pejabat publik yang digaji dengan uang rakyat, terdakwa wajib memberi contoh dan menjaga integritas dalam membawa amanah rakyat. Faktor ini sebenarnya bisa menjadi pemberat sehingga hukuman 4 tahun 6 bulan itu terasa sangat jauh dari kerangka ideal hukum substantif.

Apalagi terdakwa tidak mengakui dan selalu mengelak dari fakta-fakta yang begitu sahih seperti percakapan dan penerimaan uang suap. Keberadaan terdakwa merupakan pintu masuk menguak berbagai kalangan yang terlibat. Dengan aksinya yang berkesan menutupi maka agenda pemberantasan korupsi untuk menjerat pelaku lain menjadi terhambat. Mestinya, hakim memberi putusan lebih berat dengan asumsi yang bersangkutan tidak kooperatif mengungkap masalah.

Perlu Radikalisasi

Jika kita setuju bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa, sesungguhnya yang ditunjukkan oleh pengadilan tipikor itu tak mencerminkan komitmen tegas dalam memberantas korupsi. Alih-alih menimbulkan banyak kecurigaan terhadap kualitas dan integritas hakim yang sejatinya diharapkan menjadi benteng pemberantasan korupsi.

Yang kita butuhkan, bukan hanya seberapa banyak pasal dan perundang-undangan yang melarang korupsi melainkan bagaimana sikap dan tindakan kita untuk mencegah korupsi. Jika ini bisa kita lakukan maka ketukan palu sang pengadil akan terdengar merdu mementaskan orkestrasi keadilan dalam irama kepercayaan dan dukungan publik. Di sinilah penegak hukum mempertaruhkan posisi yang begitu krusial dan fundamental sebagaimana diungkapkan Taverne. Pasalnya, di tangan sang pengadillah keadilan ditegakkan.

Berlandaskan pada Taverne, agenda penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi harus menggunakan tiga optik. Pertama; semangat yang menjiwai hukum tersebut. Semangat ini begitu jelas bahwa kelahiran UU Antikorupsi merupakan ikhtiar pemberantasan dan pencegahan korupsi. Karena itu, aparat penegak hukum harus maksimal menggunakan ayat dan pasal sesuai spirit yang melandasi. Kedua; spirit dan nilai-nilai sosial yang berkembang di tengah masyarakat sebagai bentuk aspirasi atau kehendak sosial yang terus hidup bergelora. Nilai-nilai tersebut harus menjadi dasar dalam melihat, mengukur, dan memutuskan sehingga tercipta rasa keadilan sosial di tengah masyarakat.

Ketiga; kepentingan bangsa dan negara menjadi pijakan utama. Masalahnya, eksistensi hukum merupakan pengejawantahan dari kepentingan memelihara dan menjaga keberadaan bangsa dan negara. Jika korupsi merupakan ancaman terhadap eksistensi bangsa maka tindakan hukumnya pun harus maksimal sebagai bagian dari upaya menjaga keberlangsungan bangsa dan negara. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar