Meragukan
Integritas Mendagri
Victor Silaen ; Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan
SUMBER : SINAR
HARAPAN, 12 Mei 2012
Berita berjudul “DPR Tagih Janji Mendagri” di
harian ini, edisi 9 Mei lalu, menarik untuk dicermati. Saya langsung berpikir, kalau
DPR sampai menagih janji Mendagri, berarti ada yang patut diragukan dari
integritas Gamawan Fauzi selaku seorang pejabat tinggi negara.
Pertanyaannya, benarkah Mendagri Gamawan
Fauzi pernah berjanji? Kalau benar, apakah isi janji tersebut? Pada 11 Februari
lalu, ia mengatakan telah mengeluarkan teguran kedua kepada organisasi
kemasyarakatan (ormas) Front Pembela Islam (FPI) terkait tindakan anarkistis
mereka yang memecahkan kaca kantor Kementerian Dalam Negeri, di Jakarta, 12
Januari lalu.
Menurut Gamawan, langkah berikutnya, kalau
FPI masih melakukan hal yang sama, terus-menerus mengganggu keamanan dan
ketertiban masyarakat, pihaknya akan mengambil tindakan pembekuan ormas itu.
Jika setelah dibekukan ternyata masih juga melakukan pelanggaran, tindakan
selanjutnya adalah pembubaran ormas.
Sekarang, apa lagi yang masih ditunggu
Gamawan? Bukankah setelah teguran kedua itu FPI kembali beberapa kali berbuat
kekerasan? Di Bekasi, Minggu (6/5), misalnya, FPI dilaporkan ke polisi karena
berbuat kekerasan terhadap aktivis cum wartawan dari Serikat Jurnalis untuk
Keberagamaan (Sejuk) ketika meliput aksi pelarangan ibadah jemaat HKBP
Filadelfia.
Sebelumnya, Jumat (4/5), FPI membubarkan
paksa acara diskusi peluncuran buku karya Irshad Manji berjudul Allah, Liberty, and Love di Teater
Salihara, Pasar Minggu, Jakarta. Di sisi lain ormas ini juga telah berkali-kali
melancarkan kekerasan nonfisik, misalnya mengancam akan menciptakan kekacauan
jika konser penyanyi Lady Gaga tetap digelar.
Jika Gamawan konsisten dengan ucapannya,
dalam waktu dekat niscaya FPI dibekukan. Setelah itu, kalau masih belum kapok
juga, FPI mestinya dibubarkan. Tapi, itu kalau Gamawan Fauzi betul-betul
seorang pemimpin yang berintegritas: yang selalu selaras antara ucapan dan
tindakan. Kita buktikan saja: selalu selaraskah ia di dalam kedua hal itu?
Mampunya Mengancam
Akhir Maret lalu, Gamawan marah kepada
setidaknya 21 kepala daerah yang ikut berdemo menolak rencana kenaikan harga
bahan bakar minyak (BBM). Saat itu ia bahkan berkata akan memberi sanksi tegas
kepada para pemimpin daerah yang mbalelo itu. Alasannya? “Mereka melanggar
etika penyelenggara pemerintahan sebab kepala daerah adalah subsistem dari
pemerintah pusat,” katanya (29/3).
Gamawan benar. Kepala daerah merupakan
subsistem dari pemerintahan pusat sehingga para bupati/wali kota/gubernur yang
menolak rencana kenaikan harga BBM itu layak ditegur oleh Mendagri.
Apalagi Indonesia adalah negara kesatuan,
sehingga daerah-daerah itu (kabupaten, kota madya, dan provinsi) harus “tunduk”
kepada negara yang dalam konteks ini direpresentasikan oleh pemerintah/kabinet.
Jika tidak begitu, berarti daerah telah menjadi “negara di dalam negara”.
Sampai di sini sudah klir. Tapi, ada data
bahwa ternyata dulu (2005), saat menjadi Gubernur Sumatera Barat, Gamawan
pernah menolak rencana pemerintah menaikkan harga BBM.
Dalam konteks lain, dalam kapasitasnya
sebagai pembantu presiden yang menangani urusan pemerintahan dalam negeri,
mengapa Gamawan tidak marah kepada Wali Kota Bogor Diani Budiarto yang sudah
membangkang Mahkamah Agung (MA) dan melecehkan Ombudsman RI terkait Izin
Mendirikan Bangunan (IMB) GKI Yasmin yang dibatalkan Pemkot Bogor tahun 2008
itu? Bukankah tindakan mal-administratif dan pembangkangan hukum Wali Kota
Bogor itu seharusnya membuat Gamawan Fauzi selaku Menteri Dalam Negeri malu
karena hal itu memperlihatkan buruknya tata kelola pemerintahan?
Tapi, apa yang sudah diperbuat Gamawan
terhadap Diani Budiarto hingga kini? Alih-alih memberi sanksi tegas kepada
kepala daerah yang mbalelo itu, Gamawan justru mendorong agar GKI Yasmin
bersedia direlokasi dari lahan dan gedungnya yang sah. Bukankah itu berarti
Gamawan secara tak langsung ikut merestui agar GKI Yasmin mengabaikan hukum?
Kembali pada FPI. Tak dapat disangkal bahwa
selama ini sudah banyak pihak dan kalangan yang merasa prihatin atas
tindak-tanduk FPI yang kerap menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Tak
heran jika sudah berulang-ulang pelbagai pihak dan kalangan itu mempertanyakan:
mengapa FPI dibiarkan berbuat demikian?
Inilah sikap setengah hati para penyelenggara
negara dalam mengatasi masalah yang jelas-jelas sudah menghabiskan banyak
energi kita. Kita prihatin karena para penyelenggara negara kerap berdalih
terhalang oleh peraturan perundang-undangan yang ada, seolah Indonesia sebentuk
negara hukum yang miskin hukum atau hukumnya usang.
Kalau polisi lalu lintas saja bisa membuat
kebijakan darurat (diskresi), misalnya membuat contra flow di sejumlah jalan raya yang padat kendaraan, mengapa
Kemendagri begitu sulit membekukan atau membubarkan ormas-ormas yang
anarkistis?
Pada 17 Februari lalu, Jubir Polri Saud Usman
Nasution secara tegas menyatakan bahwa FPI paling banyak melakukan aksi
anarkistis selama dua tahun terakhir. Aksi anarkistis yang mengatasnamakan FPI
tahun 2010 tercatat 29 kasus dan 2011 sebanyak lima kasus.
Di sisi lain, Ketua Umum FPI Habib Rizieq
sudah melempar “tantangan”, bahwa FPI siap dibekukan jika memang terbukti
melakukan tindakan yang dianggap anarkistis dan kerap meresahkan. ”Kami tidak merasa
kebal dengan hukum. Jika kami bersalah, kami siap menerima teguran, dibekukan,
bahkan dibubarkan,” kata Rizieq dalam pertemuannya dengan Menteri Agama
Suryadharma Ali di Kantor Kementerian Agama, Jakarta, 17 Februari lalu.
Sangat mengherankan, alih-alih pemerintah dan
aparat penegak hukum yang tegas, kok malah ormas yang kerap melakukan aksi
anarkistis itu yang bersikap tegas? Di manakah sense of crisis pemerintah?
Dalam perspektif politik, salah satu fungsi
negara adalah melaksanakan tertib hukum (law
and order). Karenanya, negara memiliki kewenangan untuk memaksa, juga
memonopoli penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah (Weber,
1958).
Itu berarti, jika dalam realitasnya negara
tidak mencegah aksi anarkistis terhadap ormas-ormas, sesungguhnya negara telah
berbuat kejahatan. Itulah yang disebut kejahatan melalui tindakan pembiaran (crime by omission). ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar