Senin, 14 Mei 2012

Meragukan Integritas Mendagri


Meragukan Integritas Mendagri
Victor Silaen ;  Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan
SUMBER :  SINAR HARAPAN, 12 Mei 2012



Berita berjudul “DPR Tagih Janji Mendagri” di harian ini, edisi 9 Mei lalu, menarik untuk dicermati. Saya langsung berpikir, kalau DPR sampai menagih janji Mendagri, berarti ada yang patut diragukan dari integritas Gamawan Fauzi selaku seorang pejabat tinggi negara.

Pertanyaannya, benarkah Mendagri Gamawan Fauzi pernah berjanji? Kalau benar, apakah isi janji tersebut? Pada 11 Februari lalu, ia mengatakan telah mengeluarkan teguran kedua kepada organisasi kemasyarakatan (ormas) Front Pembela Islam (FPI) terkait tindakan anarkistis mereka yang memecahkan kaca kantor Kementerian Dalam Negeri, di Jakarta, 12 Januari lalu.

Menurut Gamawan, langkah berikutnya, kalau FPI masih melakukan hal yang sama, terus-menerus mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat, pihaknya akan mengambil tindakan pembekuan ormas itu. Jika setelah dibekukan ternyata masih juga melakukan pelanggaran, tindakan selanjutnya adalah pembubaran ormas.

Sekarang, apa lagi yang masih ditunggu Gamawan? Bukankah setelah teguran kedua itu FPI kembali beberapa kali berbuat kekerasan? Di Bekasi, Minggu (6/5), misalnya, FPI dilaporkan ke polisi karena berbuat kekerasan terhadap aktivis cum wartawan dari Serikat Jurnalis untuk Keberagamaan (Sejuk) ketika meliput aksi pelarangan ibadah jemaat HKBP Filadelfia.

Sebelumnya, Jumat (4/5), FPI membubarkan paksa acara diskusi peluncuran buku karya Irshad Manji berjudul Allah, Liberty, and Love di Teater Salihara, Pasar Minggu, Jakarta. Di sisi lain ormas ini juga telah berkali-kali melancarkan kekerasan nonfisik, misalnya mengancam akan menciptakan kekacauan jika konser penyanyi Lady Gaga tetap digelar.

Jika Gamawan konsisten dengan ucapannya, dalam waktu dekat niscaya FPI dibekukan. Setelah itu, kalau masih belum kapok juga, FPI mestinya dibubarkan. Tapi, itu kalau Gamawan Fauzi betul-betul seorang pemimpin yang berintegritas: yang selalu selaras antara ucapan dan tindakan. Kita buktikan saja: selalu selaraskah ia di dalam kedua hal itu?

Mampunya Mengancam

Akhir Maret lalu, Gamawan marah kepada setidaknya 21 kepala daerah yang ikut berdemo menolak rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Saat itu ia bahkan berkata akan memberi sanksi tegas kepada para pemimpin daerah yang mbalelo itu. Alasannya? “Mereka melanggar etika penyelenggara pemerintahan sebab kepala daerah adalah subsistem dari pemerintah pusat,” katanya (29/3).

Gamawan benar. Kepala daerah merupakan subsistem dari pemerintahan pusat sehingga para bupati/wali kota/gubernur yang menolak rencana kenaikan harga BBM itu layak ditegur oleh Mendagri.

Apalagi Indonesia adalah negara kesatuan, sehingga daerah-daerah itu (kabupaten, kota madya, dan provinsi) harus “tunduk” kepada negara yang dalam konteks ini direpresentasikan oleh pemerintah/kabinet. Jika tidak begitu, berarti daerah telah menjadi “negara di dalam negara”.

Sampai di sini sudah klir. Tapi, ada data bahwa ternyata dulu (2005), saat menjadi Gubernur Sumatera Barat, Gamawan pernah menolak rencana pemerintah menaikkan harga BBM.

Dalam konteks lain, dalam kapasitasnya sebagai pembantu presiden yang menangani urusan pemerintahan dalam negeri, mengapa Gamawan tidak marah kepada Wali Kota Bogor Diani Budiarto yang sudah membangkang Mahkamah Agung (MA) dan melecehkan Ombudsman RI terkait Izin Mendirikan Bangunan (IMB) GKI Yasmin yang dibatalkan Pemkot Bogor tahun 2008 itu? Bukankah tindakan mal-administratif dan pembangkangan hukum Wali Kota Bogor itu seharusnya membuat Gamawan Fauzi selaku Menteri Dalam Negeri malu karena hal itu memperlihatkan buruknya tata kelola pemerintahan?

Tapi, apa yang sudah diperbuat Gamawan terhadap Diani Budiarto hingga kini? Alih-alih memberi sanksi tegas kepada kepala daerah yang mbalelo itu, Gamawan justru mendorong agar GKI Yasmin bersedia direlokasi dari lahan dan gedungnya yang sah. Bukankah itu berarti Gamawan secara tak langsung ikut merestui agar GKI Yasmin mengabaikan hukum?

Kembali pada FPI. Tak dapat disangkal bahwa selama ini sudah banyak pihak dan kalangan yang merasa prihatin atas tindak-tanduk FPI yang kerap menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Tak heran jika sudah berulang-ulang pelbagai pihak dan kalangan itu mempertanyakan: mengapa FPI dibiarkan berbuat demikian?

Inilah sikap setengah hati para penyelenggara negara dalam mengatasi masalah yang jelas-jelas sudah menghabiskan banyak energi kita. Kita prihatin karena para penyelenggara negara kerap berdalih terhalang oleh peraturan perundang-undangan yang ada, seolah Indonesia sebentuk negara hukum yang miskin hukum atau hukumnya usang.

Kalau polisi lalu lintas saja bisa membuat kebijakan darurat (diskresi), misalnya membuat contra flow di sejumlah jalan raya yang padat kendaraan, mengapa Kemendagri begitu sulit membekukan atau membubarkan ormas-ormas yang anarkistis?

Pada 17 Februari lalu, Jubir Polri Saud Usman Nasution secara tegas menyatakan bahwa FPI paling banyak melakukan aksi anarkistis selama dua tahun terakhir. Aksi anarkistis yang mengatasnamakan FPI tahun 2010 tercatat 29 kasus dan 2011 sebanyak lima kasus.

Di sisi lain, Ketua Umum FPI Habib Rizieq sudah melempar “tantangan”, bahwa FPI siap dibekukan jika memang terbukti melakukan tindakan yang dianggap anarkistis dan kerap meresahkan. ”Kami tidak merasa kebal dengan hukum. Jika kami bersalah, kami siap menerima teguran, dibekukan, bahkan dibubarkan,” kata Rizieq dalam pertemuannya dengan Menteri Agama Suryadharma Ali di Kantor Kementerian Agama, Jakarta, 17 Februari lalu.

Sangat mengherankan, alih-alih pemerintah dan aparat penegak hukum yang tegas, kok malah ormas yang kerap melakukan aksi anarkistis itu yang bersikap tegas? Di manakah sense of crisis pemerintah?

Dalam perspektif politik, salah satu fungsi negara adalah melaksanakan tertib hukum (law and order). Karenanya, negara memiliki kewenangan untuk memaksa, juga memonopoli penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah (Weber, 1958).

Itu berarti, jika dalam realitasnya negara tidak mencegah aksi anarkistis terhadap ormas-ormas, sesungguhnya negara telah berbuat kejahatan. Itulah yang disebut kejahatan melalui tindakan pembiaran (crime by omission). ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar