Kamis, 17 Mei 2012

Tersambung ke Masa Depan


Tersambung ke Masa Depan
Shashi Tharoor ;  Mantan Menteri Negara Urusan Luar Negeri India;
Wakil Sekretaris Jenderal PBB, Pengarang Buku India From Midnight to The Millennium dan Nehru: The Invention of India
SUMBER :  KORAN TEMPO, 16 Mei 2012


Salah satu foto favorit saya menggambarkan seorang sadhu Hindu, dengan dada telanjang, berewok, rambut dipintal panjang, dahi berlumur abu, dan kalung rudraksha-mala melilit leher, serta mengoceh di telepon seluler di tangannya.... Kontras gambaran ini berbicara banyak mengenai paradoks yang terdapat di India hari ini-–negeri yang, seperti saya tulis beberapa tahun lalu, berhasil hidup dalam beberapa abad pada waktu yang sama.

Ada sesuatu yang khas mengenai sadhu dan ponsel di tangannya itu, karena di bidang komunikasi inilah terjadi transformasi yang paling dramatis di India pada tahun-tahun terakhir ini. Ketika saya meninggalkan India pada 1975 untuk mengikuti program pascasarjana di Amerika Serikat, mungkin ada 600 juta rakyat India dan cuma 2 juta sambungan telepon. Memiliki telepon merupakan privilese yang langka: jika Anda bukan seorang pegawai pemerintah yang penting, seorang dokter, atau seorang wartawan, Anda mungkin masuk dalam daftar tunggu yang panjang dan tidak juga mendapatkan telepon yang diidam-idamkan. Anggota parlemen punya hak, di antara privilese yang mereka miliki, mengalokasikan 15 sambungan telepon kepada siapa saja yang mereka anggap layak memperolehnya.

Lagi pula, telepon, jikapun Anda memiliki, bukan merupakan sesuatu yang harus disyukuri. Saya menghabiskan masa sekolah menengah saya di Kalkuta, dan saya ingat benar bahwa jika Anda mengangkat telepon, tidak ada jaminan Anda akan mendengar nada sambung, dan tidak ada jaminan Anda akan tersambung dengan nomor yang Anda putar. Anda bakal lebih sering mendengar suara kesal yang mengatakan "salah sambung" daripada suara merdu "halo".

Jika Anda ingin menelepon ke luar kota, katakan Delhi, Anda harus booking dulu interlokal dan kemudian duduk sepanjang hari di samping telepon menunggu tersambung ke nomor yang Anda minta. Atau Anda bisa membayar delapan kali dari tarif biasa untuk "telepon kilat"-–tapi bahkan telepon kilat ini pun lambat tersambung di India pada waktu itu. Telepon kilat ini mungkin makan waktu setengah jam, bukan tiga atau empat jam seperti dengan telepon biasa.

Sampai akhir 1984, ketika seorang anggota parlemen memprotes sering putusnya telepon dan buruknya sektor yang dimonopoli pemerintah ini, Menteri Komunikasi India saat itu menjawab dengan nada angkuh. Dalam suatu negara berkembang, demikian katanya, telepon itu merupakan kemewahan, bukan hak; pemerintah tidak punya kewajiban memberikan layanan yang lebih baik; dan siapa saja yang tidak puas terhadap layanan ini boleh mengembalikan teleponnya, karena banyak yang menunggu selama bertahun-tahun untuk mendapatkan telepon.

Kembali ke masa sekarang. Dalam edisi pertama buku saya, The Elephant, the Tiger and the Cellphone, saya menulis bahwa pada April 2007, India mencatat rekor dunia yang baru dengan penjualan sebanyak 8 juta telepon pada bulan itu, lebih banyak sambungan telepon daripada yang pernah dicapai oleh negara mana pun dalam waktu sebulan. Ketika buku tersebut dicetak, dan diedarkan ke toko-toko buku, angka itu sudah ketinggalan kereta. Pada 2010, di India terjual 20 juta ponsel dalam tiga bulan berturut-turut.

India sekarang sudah mengalahkan Amerika sebagai pasar telepon terbesar kedua di dunia dengan mencatat 857 juta kartu SIM yang beredar dan 600 juta individu pengguna. Cina mencatat lebih banyak, tapi dalam kepemilikan ponsel, India per kapita lebih unggul dan diperkirakan bakal mengalahkan Cina sebelum akhir 2012.

Saya tidak cuma merayakan kemenangan yang dibawakan kapitalis-kapitalis pemodal di India. Yang indah tentang keajaiban yang melenggang (mobile miracle) ini (saya tidak malu-malu mengatakannya begitu) adalah bahwa ia telah menghasilkan sesuatu yang tidak dapat diwujudkan oleh kebijakan-kebijakan sosialis pemerintah di masa lalu-–ia telah memberdayakan mereka yang kurang beruntung. Pemetik manfaatnya bukan cuma orang-orang kaya, tapi juga orang-orang yang di masa lalu bahkan tidak memimpikan ikut dalam daftar tunggu yang panjang itu.

Merupakan kebahagiaan tersendiri bagi saya menyaksikan ponsel di tangan orang-orang yang dulu tidak terbayangkan di India: sopir taksi, paan wallah (penjual sirih), petani, dan nelayan. Jika Anda mengunjungi seorang teman di luar kota Delhi, Anda akan melihat di pinggir-pinggir jalan istri wallah, tukang cuci pakaian dengan kereta kayu yang tampaknya seperti dirancang pada abad ke-19, menggunakan setrika arang yang tampaknya merupakan penemuan pada abad ke-16, dan melicinkan pakaian para pelanggan di sekitar kampungnya. Tapi sekarang mereka punya alat komunikasi abad ke-21 di kantong. Di India, penerima telepon tidak dikenai biaya. Jadi ia tidak mengeluarkan biaya sepeser pun untuk mengetahui di mana jasanya dibutuhkan saat itu.

Baru-baru ini saya berkunjung ke rumah seorang teman di sebuah desa di Kerala. Ia bertanya apakah saya mau air kelapa segar. Saya katakan ya, lalu ia mengeluarkan ponsel dari kantongnya dan menelepon seorang pemanjat pohon kelapa. Dari seberang telepon terdengar sahutan, "Ya, saya bersedia." Dalam sekejap, kami lihat ia sudah berada di puncak pohon kelapa di dekat rumah, dengan celana hunggi-nya terlipat sampai ke dengkul, parang di satu tangan, dan ponsel di tangan lainnya.

Nelayan India yang melaut membawa ponsel dan dalam perjalanan pulang menelepon pasar-pasar di kota pesisir untuk mengetahui mana yang menawarkan harga paling tinggi untuk ikan tangkapan mereka. Dulu, para petani di India biasanya menyuruh seorang anggota keluarga yang kuat fisiknya-–mungkin seorang anak lelaki berusia 10 tahun-–pergi ke kota dengan berjalan kaki di bawah terik matahari untuk mengetahui apakah pasar buka hari itu, apakah panen bisa dijual, dan dengan harga berapa. Sekarang, untuk semua ini, mereka tidak perlu menghabiskan waktu setengah hari, tapi cukup dengan waktu dua menit lewat telepon di tangannya.

Ponsel telah memungkinkan kelas bawah di India diberdayakan melalui sesuatu yang selama 45 tahun tidak terwujudkan di bawah sosialisme. Di India hari ini, komunikasi sudah menjadi pemerata yang luar biasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar