Tersambung ke
Masa Depan
Shashi Tharoor ; Mantan
Menteri Negara Urusan Luar Negeri India;
Wakil
Sekretaris Jenderal PBB, Pengarang Buku India From Midnight to The
Millennium dan Nehru: The Invention of India
SUMBER : KORAN
TEMPO, 16 Mei 2012
Salah satu foto favorit saya menggambarkan
seorang sadhu Hindu, dengan dada telanjang, berewok, rambut dipintal
panjang, dahi berlumur abu, dan kalung rudraksha-mala melilit leher,
serta mengoceh di telepon seluler di tangannya.... Kontras gambaran ini berbicara
banyak mengenai paradoks yang terdapat di India hari ini-–negeri yang, seperti
saya tulis beberapa tahun lalu, berhasil hidup dalam beberapa abad pada waktu
yang sama.
Ada sesuatu yang khas mengenai sadhu
dan ponsel di tangannya itu, karena di bidang komunikasi inilah terjadi
transformasi yang paling dramatis di India pada tahun-tahun terakhir ini.
Ketika saya meninggalkan India pada 1975 untuk mengikuti program pascasarjana
di Amerika Serikat, mungkin ada 600 juta rakyat India dan cuma 2 juta sambungan
telepon. Memiliki telepon merupakan privilese yang langka: jika Anda bukan
seorang pegawai pemerintah yang penting, seorang dokter, atau seorang wartawan,
Anda mungkin masuk dalam daftar tunggu yang panjang dan tidak juga mendapatkan
telepon yang diidam-idamkan. Anggota parlemen punya hak, di antara privilese
yang mereka miliki, mengalokasikan 15 sambungan telepon kepada siapa saja yang
mereka anggap layak memperolehnya.
Lagi pula, telepon, jikapun Anda memiliki,
bukan merupakan sesuatu yang harus disyukuri. Saya menghabiskan masa sekolah
menengah saya di Kalkuta, dan saya ingat benar bahwa jika Anda mengangkat
telepon, tidak ada jaminan Anda akan mendengar nada sambung, dan tidak ada
jaminan Anda akan tersambung dengan nomor yang Anda putar. Anda bakal lebih
sering mendengar suara kesal yang mengatakan "salah sambung" daripada
suara merdu "halo".
Jika Anda ingin menelepon ke luar kota,
katakan Delhi, Anda harus booking dulu interlokal dan kemudian duduk
sepanjang hari di samping telepon menunggu tersambung ke nomor yang Anda minta.
Atau Anda bisa membayar delapan kali dari tarif biasa untuk "telepon
kilat"-–tapi bahkan telepon kilat ini pun lambat tersambung di India pada
waktu itu. Telepon kilat ini mungkin makan waktu setengah jam, bukan tiga atau
empat jam seperti dengan telepon biasa.
Sampai akhir 1984, ketika seorang anggota
parlemen memprotes sering putusnya telepon dan buruknya sektor yang dimonopoli
pemerintah ini, Menteri Komunikasi India saat itu menjawab dengan nada angkuh.
Dalam suatu negara berkembang, demikian katanya, telepon itu merupakan
kemewahan, bukan hak; pemerintah tidak punya kewajiban memberikan layanan yang
lebih baik; dan siapa saja yang tidak puas terhadap layanan ini boleh
mengembalikan teleponnya, karena banyak yang menunggu selama bertahun-tahun
untuk mendapatkan telepon.
Kembali ke masa sekarang. Dalam edisi pertama
buku saya, The Elephant, the Tiger and the Cellphone, saya menulis bahwa
pada April 2007, India mencatat rekor dunia yang baru dengan penjualan sebanyak
8 juta telepon pada bulan itu, lebih banyak sambungan telepon daripada yang
pernah dicapai oleh negara mana pun dalam waktu sebulan. Ketika buku tersebut
dicetak, dan diedarkan ke toko-toko buku, angka itu sudah ketinggalan kereta.
Pada 2010, di India terjual 20 juta ponsel dalam tiga bulan berturut-turut.
India sekarang sudah mengalahkan Amerika
sebagai pasar telepon terbesar kedua di dunia dengan mencatat 857 juta kartu
SIM yang beredar dan 600 juta individu pengguna. Cina mencatat lebih banyak,
tapi dalam kepemilikan ponsel, India per kapita lebih unggul dan diperkirakan
bakal mengalahkan Cina sebelum akhir 2012.
Saya tidak cuma merayakan kemenangan yang
dibawakan kapitalis-kapitalis pemodal di India. Yang indah tentang keajaiban
yang melenggang (mobile miracle) ini (saya tidak malu-malu mengatakannya
begitu) adalah bahwa ia telah menghasilkan sesuatu yang tidak dapat diwujudkan
oleh kebijakan-kebijakan sosialis pemerintah di masa lalu-–ia telah
memberdayakan mereka yang kurang beruntung. Pemetik manfaatnya bukan cuma
orang-orang kaya, tapi juga orang-orang yang di masa lalu bahkan tidak
memimpikan ikut dalam daftar tunggu yang panjang itu.
Merupakan kebahagiaan tersendiri bagi saya
menyaksikan ponsel di tangan orang-orang yang dulu tidak terbayangkan di India:
sopir taksi, paan wallah (penjual sirih), petani, dan nelayan. Jika Anda
mengunjungi seorang teman di luar kota Delhi, Anda akan melihat di
pinggir-pinggir jalan istri wallah, tukang cuci pakaian dengan kereta
kayu yang tampaknya seperti dirancang pada abad ke-19, menggunakan setrika
arang yang tampaknya merupakan penemuan pada abad ke-16, dan melicinkan pakaian
para pelanggan di sekitar kampungnya. Tapi sekarang mereka punya alat
komunikasi abad ke-21 di kantong. Di India, penerima telepon tidak dikenai biaya.
Jadi ia tidak mengeluarkan biaya sepeser pun untuk mengetahui di mana jasanya
dibutuhkan saat itu.
Baru-baru ini saya berkunjung ke rumah
seorang teman di sebuah desa di Kerala. Ia bertanya apakah saya mau air kelapa
segar. Saya katakan ya, lalu ia mengeluarkan ponsel dari kantongnya dan
menelepon seorang pemanjat pohon kelapa. Dari seberang telepon terdengar
sahutan, "Ya, saya bersedia." Dalam sekejap, kami lihat ia sudah
berada di puncak pohon kelapa di dekat rumah, dengan celana hunggi-nya
terlipat sampai ke dengkul, parang di satu tangan, dan ponsel di tangan
lainnya.
Nelayan India yang melaut membawa ponsel dan
dalam perjalanan pulang menelepon pasar-pasar di kota pesisir untuk mengetahui
mana yang menawarkan harga paling tinggi untuk ikan tangkapan mereka. Dulu,
para petani di India biasanya menyuruh seorang anggota keluarga yang kuat
fisiknya-–mungkin seorang anak lelaki berusia 10 tahun-–pergi ke kota dengan
berjalan kaki di bawah terik matahari untuk mengetahui apakah pasar buka hari
itu, apakah panen bisa dijual, dan dengan harga berapa. Sekarang, untuk semua
ini, mereka tidak perlu menghabiskan waktu setengah hari, tapi cukup dengan
waktu dua menit lewat telepon di tangannya.
Ponsel telah memungkinkan kelas bawah di
India diberdayakan melalui sesuatu yang selama 45 tahun tidak terwujudkan di
bawah sosialisme. Di India hari ini, komunikasi sudah menjadi pemerata yang
luar biasa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar