Kabar Buku di
Media Massa
Agus M Irkham ; Kepala
Departemen Penelitian dan Pengembangan Pengurus Pusat Forum Taman Bacaan
Masyarakat
SUMBER : KORAN
TEMPO, 16 Mei 2012
Si Fulan digigit anjing, itu bukan berita. Si
Fulan menggigit anjing, ini baru berita. Seloroh tentang sesuatu yang ditimbang
memiliki nilai berita (value of news) tinggi itu, dalam prakteknya,
sering bersulih lema menjadi: kredo penulisan berita. Sebatas amatan saya,
kredo itu tidak hanya menyentuh fakta-fakta yang berkaitan dengan "hal-hal
besar", seperti persoalan politik, ekonomi, dan pertahanan-keamanan, tapi
menyisir pula fakta-fakta yang tengah berlangsung di ranah (yang sering
dipandang) "remeh- temeh", yaitu dunia perbukuan.
Sebagai fundamentalis pendaras berita di
media massa, jarang sekali saya mendapati berita-berita yang diturunkan
bertalian dengan buku, atau lebih luas lagi, tentang perkembangan budaya
membaca dan menulis di Indonesia. Kalaupun ada, buku hampir selalu dihadirkan
dari sisi kontroversinya, mulai segi industri, proses kreatif penulisan,
gerakan membaca, helatan peluncuran dan diskusi, maupun adab pembacanya.
Buku lebih kerap dihadirkan dari sisi pias
wajah antagonisnya. Bukan dari sisi kemuliaannya (noble), melainkan dari
sisi kehinaannya (humility). Mulai drama praktek kurang ajar (korupsi)
buku ajar, pelarangan gelaran diskusi dan penyebaran/distribusi buku kiri jauh
(komunisme-marxisme) serta kanan jauh (fundamentalisme agama), pembredelan
buku, kasus bom buku, isi buku Lembar Kerja Siswa sekolah dasar yang memuat
frasa "istri simpanan", keriuhan soal ditemukannya buku-buku anggitan
Presiden SBY dalam paket buku bantuan, perbantahan di sekitar penerbitan buku Gurita
Cikeas, hingga yang baru berlangsung awal Mei ini: pelarangan dan
pembubaran diskusi buku Irshad Manji: Allah, Liberty, and Love.
Termasuk peliputan berita tentang seorang
guru sekolah menengah pertama negeri di Purworejo dan Jakarta, yang ditugaskan
di perpustakaan (tempat buku terhimpun) sekolah lantaran menganiaya siswa.
Dengan demikian, muncul kesan perpustakaan adalah tempat pembuangan pegawai
bermasalah.
Pun isi berita tentang perkembangan budaya
baca, yang sering saya baca adalah sederet data statistik yang semakin
mengukuhkan simpulan bahwa budaya baca masyarakat kita rendah. Lengkap dengan
beragam alasan, dari harga buku mahal, akses masyarakat terhadap buku yang
sulit, jumlah judul buku baru per kapita yang masih rendah, hingga dominannya
budaya berbicara dan menonton.
Dalam konteks memberikan keadilan bagi publik
untuk mendapatkan informasi yang sebenarnya, tentu saja fakta-fakta tersebut
harus diungkap. Hanya, jika yang terus berlangsung adalah penyajian berderet
wajah tidak ramah dunia perbukuan, lambat laun--disadari atau tidak, disengaja
atau tidak--berjejer frame teks berita dunia buku dan baca itu akan
dipandang sebagai bentuk kampanye anti-(membaca) buku. Yang berlangsung
kemudian, saat kita berbicara tentang buku dan budaya baca bangsa Indonesia,
yang tebersit dalam ingatan adalah frasa-frasa bermakna suram: generasi nol
buku; bangsa rabun membaca-lumpuh menulis; minat baca rendah; dan frasa gelap
lainnya.
"Jangan berbicara tentang kekalahan,
tapi berbicaralah tentang harapan, keyakinan, kepercayaan, dan
kemenangan," seru Norman Vincent Peale (1898-1993). Kaitannya dengan buku
dan masa depan budaya baca (dan menulis) kita, petitih penulis buku The
Power of Positive Thinking yang selama 186 minggu berturut-turut menjadi
buku paling laris versi New York Times itu merekomendasikan kepada
kita--terutama media massa dan pegiat literasi--agar mulai lebih banyak
menghadirkan perkembangan dunia perbukuan serta gerakan minat baca di Indonesia
dari sisi protagonisnya, dari segi harapan dan kemenangannya.
Misalnya, dari jumlah judul buku baru yang
terus bertambah. Kini tak kurang dari 2.000 judul buku baru tiap bulan terbit
(Trim, 2011). Artinya, rerata per tahun sekitar 24 ribu judul buku baru. Jumlah
buku yang beredar lebih dari 175 juta eksemplar. Maka tiap satu meter persegi
ruang di toko buku diperebutkan oleh 250 eksemplar buku--dengan asumsi 90 juta
eksemplar didistribusikan melalui toko buku. Jumlah pembaca buku nonfiksi yang
berusia 14-24 tahun (usia pencarian dan pembentukan identitas diri) mencapai 46
persen dari total pembaca buku gagrak tersebut.
Para penulis muda, yang rata-rata berusia di
bawah 35 tahun, juga terus bermunculan, baik yang meniti karier melalui jalur
personal maupun komunal. Tak jarang buku mereka ada yang menembus angka penjualan
puluhan ribu, bahkan ratusan ribu, eksemplar--mega-bestseller. Toko buku
juga tidak melulu berjualan, tapi juga menghelat acara perbukuan, mulai
peluncuran buku baru, jumpa pengarang, hingga bedah buku. Di banyak kabupaten,
kota, dan ibu kota provinsi, pameran buku secara rutin digelar. Setahun bisa
lebih dari tiga kali pameran.
Para pencinta buku pun kini tidak lagi asyik
dengan dirinya masing-masing, sebaliknya mereka berhimpun dalam suatu
komunitas. Tidak sedikit pula dari mereka yang mendirikan taman
bacaan/perpustakaan komunitas. Untuk membuka sekaligus memperluas akses
masyarakat terhadap buku, pemerintah melalui Perpustakaan Nasional dan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan secara bertahap juga tengah berikhtiar
merevitalisasi kembali perpustakaan desa dan taman bacaan masyarakat (TBM).
Sampai Oktober 2011, tak kurang dari 19 ribu perpustakaan desa dan 6.000-an TBM
sudah berdiri.
Beberan temuan tentang terangnya masa depan
dunia buku dan budaya baca di Indonesia tersebut dapat saya perpanjang lagi.
Namun, terlepas dari itu semua, ada yang tidak boleh luput dari perhatian para
pegiat literasi dan stakeholder budaya baca pada umumnya, terutama para
pengelola TBM dan perpustakaan serta para pekerja buku. Mereka harus mulai
ambil bagian untuk juga menentukan isi (konten) media.
Caranya dengan menulis kondisi, temuan,
kegiatan, dan pencapaian yang telah diperoleh, termasuk visi terjauh yang
hendak diwujudkan. Tidak hanya diam, dan menyerahkan sepenuhnya deskripsi atas
kondisi, cita-cita, dan ekspektasi masing-masing diri dan lembaga pada persepsi
pihak luar. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar