TRADISI
KEPEMIMPINAN PEREMPUAN
Menimbang
“Ani” dan “Ani”
Tri
Marhaeni PA ; Guru Besar Jurusan Sosiologi dan
Antropologi
Fakultas
Ilmu Sosial (FIS) Unnes
SUMBER
: SUARA
MERDEKA, 24 Mei 2012
DALAM bagian pertama kemarin, penulis
menguraikan gambaran mengenai perempuan pemimpin politik di Asia Selatan dan
Asia Tenggara. Indonesia tak jauh berbeda dari negara tetangga lainnya. Naiknya
perempuan ke tampuk kepemimpinan diwarnai pro-kontra karena nilai-nilai sosial,
budaya, dan justifikasi ajaran agama.
Hubungan perempuan dan politik tidak lepas
dari image dan konstruksi sosial perempuan dalam relasi masyarakat. Image yang
selama ini muncul di benak masyarakat adalah perempuan tidak layak masuk ke
dunia politik karena politik itu kejam, keras, dan penuh debat, yang hal itu
hanya layak dan bisa dipenuhi oleh laki-laki.
Stereotipe bahwa terjun ke dunia politik
membutuhkan kecerdasan dan kepintaran “bermanuver” menjadi semangat yang kuat
sehingga menghegemoni: stereotipe itu hanya dimiliki oleh laki-laki. Perempuan
tidak pantas berpolitik karena ia adalah “penghuni” dapur/ urusan domestik,
tidak bisa berpikir rasional, dan kurang berani mengambil risiko. Semuanya itu
menjadi konstruksi sosial yang menguasai pikiran masyarakat.
Seperti di kawasan Asia Selatan dan Asia
Tenggara pada umumnya, Indonesia mengalami kendala yang sama dalam hal naiknya
perempuan sebagai pemimpin politik. Kendala utama adalah budaya patriarki. Hal
ini langsung atau tidak langsung membatasi kiprah perempuan. Struktur dan
sistem politik, termasuk sistem pemilihan, sengaja atau tidak diciptakan oleh
laki-laki untuk laki-laki.
Kecenderungan dalam budaya patriarki adalah
tokoh politik perempuan (yang berkiprah di dunia publik) juga harus dapat
mempertahankan keharmonisan rumah tangganya. Peran politik diperbolehkan sejauh
fungsi rumah tangga tetap bisa berjalan seperti biasa. Hal ini pula yang
mendorong Benazir Bhutto menerima perjodohan dan perkawinan yang telah diatur
oleh keluarganya, meskipun ia alumnus jurusan politik dari universitas ternama,
Oxford dan Harvard.
Selain budaya patriarki, pertalian keluarga,
martyrdom, kelas sosial, gaya hidup, konteks sejarah, pengalaman penjara, dan
sistem pemilu yang memengaruhi naiknya perempuan ke tampuk pimpinan nasional di
Asia Selatan dan Asia Tenggara seperti tesis Linda K Richter (1990), agaknya di
Indonesia bertambah satu faktor lagi, yakni “romantisme dan nostalgia” nama
besar ayah atau anggota keluarga laki-laki lainnya yang telah menjadi tokoh
pilitik atau pemimpin.
Pemunculan Megawati Soekarnoputri didukung
oleh sebagian besar generasi tua dan generasi muda yang merindukan romantisme
gaya kepemimpinan Bung Karno.
Bahkan andai nanti tokoh-tokoh perempuan masa
depan muncul pun, tak jauh dari warna sebelumnya. Misalnya Yenny Wahid atau
Puan Maharani.
Demikian pula dengan berkembangnya tarik ulur
penjajakan nama Ani Yudhoyono sebagai calon presiden. Kalaupun tidak bisa
dibilang sama, pemunculan itu mirip dengan naiknya Corry Aquino. Alasannya, Ani
SBY dikenal luas dan dianggap bisa mempersatukan kalangan ibu-ibu.
“Ani”
dan “Ani”
Ditilik dari silsilah keluarga, Ani adalah
putri Jenderal Sarwo Edhie Wibowo yang sangat terkenal pada masanya, dan karena
dinamika pasang-surut sejarah politiklah Sarwo Edie terpinggirkan. Kemudian
sejarah mencatat Ani menjadi istri Presiden SBY, lalu muncul ide dari sejumlah
orang untuk mencalonkannya sebagai capres. Mau tidak mau, ini tentu mengikuti
tradisi keluarga seperti pemimpin politik lain, Benazir Bhutto dan Corry Aquino
—meskipun tidak sama persis— , karena setahu saya sebelum menjadi istri
Presiden, Ani bukan tokoh politik yang populer.
Tentu menarik pula disimak kemunculan “Ani”
lainnya, yakni Sri Mulyani Indrawati. Dia bukan dari kalangan politikus. Dia
anak begawan pendidikan. Ke-dua orang tuanya guru besar Pendidikan Unnes yang
jauh dari hiruk-pikuk politik. Ani Satmoko bersentuhan dengan politik
ketika menjadi menteri keuangan, berkiprah dalam kebijakan-kebijakan
pembangunan nasional dan keuangan negara, termasuk diakui secara internasional
sebagai pejabat IMF dan World Bank. Tak ada satu pun keluarganya yang menjadi
pemimpin nasional. Karenanya, andai Ani Satmoko dicalonkan sebagai presiden,
itu bukan karena tradisi keluarga, melainkan murni karena reputasi dan dukungan
publik.
Terlepas dari semua itu, marilah kita tunggu
apakah Indonesia akan dipimpin oleh perempuan yang muncul karena tradisi
keluarga, atau tokoh perempuan yang mencuat benar-benar karena kekuatan
eksistensinya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar