Kamis, 10 Mei 2012

Sudan Vs Sudan Selatan


Sudan Vs Sudan Selatan
Smith Alhadar; Penasihat pada The Indonesian Society for Middle East Studies
SUMBER :  REPUBLIKA, 10 Mei 2012


Khawatir konflik antara Sudan dan Sudan Selatan bereskalasi menjadi perang besar, pada 2 April lalu, 15 anggota Dewan Keamanan (DK) PBB dengan suara bulat mengeluarkan Resolusi No 2046 untuk memaksa kedua negara itu segera menghentikan perang. Keduanya diminta untuk meng akhiri permusuhan dan melakukan dialog untuk perdamaian.

Resolusi itu menegaskan, Sudan dan Sudan Selatan harus membuat komitmen tertulis untuk menghentikan permusuhan. Komitmen itu harus diserahkan kepada Uni Afrika (UA) dan DK PBB yang mengawasi proses gencatan senjata. DK PBB meminta kedua negara segera memulai pembicaraan damai dalam kurun dua minggu di bawah UA sebagai mediator.

Dalam Pasal 41 resolusi itu, kepada dua negara yang sedang bertikai itu juga diberikan peringatan tentang adanya “langkah-langkah tambahan” berupa sanksi nonmiliter jika keduanya tidak mau berdamai. “Konflik saat ini antara Sudan dan Sudan Selatan berada di ambang menuju skala penuh dan perang berkelanjutan,” kata Duta Besar AS untuk PBB Susan Rice di depan DK PBB.

Sehari sesudah Resolusi 2046 itu, Sudan secara tak terduga menyatakan ingin berdamai dengan Sudan Selatan dan berharap “negara kecil” yang belum setahun merdeka itu menanggapi dengan positif resolusi PBB. Hingga kini belum ada tanggapan dari Sudan Selatan, pa dahal sebelumnya negara tersebut menya takan ingin berunding dengan Sudan dengan mediasi internasional atau UA.

Jika perang berskala penuh terjadi, dikhawatirkan akan mengganggu stabilitas di negara-negara tetangga kedua negara. Liga Arab di mana Sudan adalah salah satu anggotanya, dalam waktu dekat ini akan melangsungkan KTT untuk membicarakan isu ini. Kiranya hasil KTT Liga Arab itu tak akan jauh berbeda dengan Resolusi DK PBB No 2046.

Konflik Sudan dan Sudan Selatan dimulai pada 10 April silam ketika tentara Sudan Selatan menyerbu dan menduduki Heglig, ladang minyak terbesar, yang masuk dalam negara bagian Kordofan Selatan, Sudan. Wilayah tersebut terletak di perbatasan kedua negara yang bertikai itu. Akibat hal ini, Khartoum naik pitam dan bersumpah akan merebutnya kembali.

Heglig sangat penting untuk mendukung perekonomian Sudan karena menghasilkan sekitar separuh dari output 115 ribu barel per hari setelah berpisah dengan Sudan Selatan pada 9 Juli 2011. Bagi Sudan Selatan yang miskin, Heglig sangat penting karena memberi masukan 98 persen dari pendapatan luar negerinya. Sudan pun mengerahkan Angkatan Darat dan Angkatan Udaranya untuk mengusir pasukan Sudan Selatan dari Heglig.

Sudan Selatan mengklaim bahwa Heglig adalah bagian dari teritorinya.
Untuk mendukung klaimnya, penguasa Sudan Selatan mengutip tapal batas internal yang dibuat pemerintah kolonial Inggris. Klaim Juba juga didasari bahwa daerah itu tidak didiami orang etnis Arab seperti yang mendominasi Sudan.
Sebaliknya, Khartoum mengutip keputusan Pengadilan Tetap Arbitrase di Den Haag pada 2009 yang menyatakan Heglig adalah bagian Sudan.

Ladang minyak Heglig dioperasikan oleh Greater Nile Petroleum Operating Co (GNOPC), konsorsium gabungan China, Malaysia, India, dan Sudan. Bulan lalu, GNOPC mengatakan, terus maju dengan rencana meningkatkan produksi menjadi 70 ribu barel per hari dari 60 ribu barel per hari sebelumnya.
 
Produksi di Heglig dikenal sebagai Greater Nile Oil Project (GNOP), dimulai pada 1996.
Proyek ini meliputi ladang minyak Heglig dan Unity, paling besar di kawasan itu. Sebuah pipa yang menyalurkan 450 ribu barel per hari minyak dari Heglig, Unity, dan daerah minyak lainnya membentang 1.000 mil dari Cekungan Muglad ke terminal ekspor di dekat pelabuhan Sudan. Jika Kordofan Selatan berada di wilayah Sudan, Unity adalah salah satu dari 10 negara bagian di Sudan Selatan. Unity selama ini juga disebut dengan nama Nil Atas Barat, juga berada di perbatasan Sudan dan Sudan Selatan.

Kendati Juba telah menarik mundur pasukannya dari Heglig, namun ia tetap mengklaim Heglig sebagai teritorinya. Penarikan mundur itu hanya untuk menurunkan ketegangan dan mengikuti seruan UA, UE, PBB, AS, dan Inggris. Karena itu, Sudan terus melakukan pem boman bukan saja di Heglig, tapi juga di ladang-ladang minyak lain di perbatasan, seperti Bahr el-Ghazal Ba rat, Bentiu, dan Panakuac yang merupakan bagian dari teritori Sudan Selatan.

Presiden Sudan Omar Hasan al-Ba shir mengatakan, pasukan Sudan tak boleh berhenti sampai di Heglig saja, tetapi harus terus maju sampai ke Juba, ibu kota Sudan Selatan, untuk menja tuhkan pemerintahan Presiden Salva Kiir.

Tentu saja itu hanya retorika belaka. Tak mudah menaklukkan Sudan Selatan. Kalau dulu saja Sudan tak berhasil menaklukkan gerilyawan Sudan Selatan yang ingin merdeka dari Sudan walau pun perang berlangsung sampai 40 tahun, bagaimana mungkin sekarang Sudan mampu menguasai Sudan Selatan kembali. Buktinya, setelah DK PBB me ngeluarkan Resolusi No 2046 yang menyerukan penghentian perang, Khartoum langsung menaatinya. Sementara Juba, yang tadinya meminta dialog de ngan Khartoum dengan mediasi UA, belum menanggapinya.

Apa pun, perang selalu menciptakan tragedi kemanusiaan. Selain lebih dari seribu orang tewas dari rakyat sipil mau pun militer kedua belah pihak, arus pengungsi kembali meningkat sejak pecah perang di Heglig, Kordofan Selatan, Bentiu, Panakuac, Laloba, Tashwin, dan adDamazin. Kamp Kakuma di Kenya sudah penuh dengan 100 ribu pengungsi. Jumlah pengungsi yang ditampung di tempattem pat relatif aman di Sudan dan Sudan Selatan jauh lebih besar lagi.

UNHCR memerincikan, hingga Januari 2012 jumlah pengungsi seluruhnya di dua negara sekitar 4,3 juta orang. Ka rena itu, Liga Arab, UA, UE, dan PBB harus bisa secepatnya mengakhiri pertumpahan darah ini.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar