Kamis, 10 Mei 2012

Kritik Hilal Normatif


Kritik Hilal Normatif
Muh Hadi Bashori; Praktisi Falak pada Pusat Kajian dan Layanan Falakiyah
IAIN Walisongo Semarang
SUMBER :  REPUBLIKA, 10 Mei 2012


Perbedaan pendapat tentang hilal serta implikasinya telah menyita banyak energi umat Islam. Persoalan ijtihadiyah ini sangat berpotensi merusak ukhuwah Islamiah. Padahal, tidak ada kebenaran mutlak atas pendapat ijtihadiyah. Sifatnya kadang sangat temporal dan situasional.

Secara normatif, perbincangan mengenai perbedaan sifat ijtihadiyah penentuan awal bulan Qamariah sebenarnya telah selesai. Artinya, jika masing-masing ormas masih kukuh mempertahankan kriteria masing-masing maka potensi terjadinya perbedaan dalam menentukan waktu ibadah selamanya akan terjadi. Sementara, kriteria atau metode tersebut dalam nilai normatif disiplin hisab rukyat tak bisa dipersalahkan karena memiliki landasan dasar berupa dalil dan dalih masing-masing.

Dari nilai sosiologis inilah, perbincangan menggagas penyatuan kriteria bisa menemui titik temu. Karena, jika dilihat dari aspek normatif selama ini mustahil akan menemui titik temu. Masing-masing mazhab mempunyai kriteria dan ego masing-masing seperti yang terjadi pada penentuan 1 Syawal 1432 H.

Di Indonesia, perbedaan penentuan awal bulan akhirnya membuat disharmonisasi di kalangan umat Islam. Penulis sepakat bahwa perbedaan ijtihadiyah dalam menentukan awal bulan Qamariah dilandasi pada sikap kehati-hatian karena hilal terkait dengan pelaksanaan ibadah mahdhah yang terkait dalam di mensi ruang dan waktu. Sehingga, tidak mungkin bagi seseorang tidak mung kin masih harus menjalani ibadah puasa ketika hilal sudah diyakini telah masuk bulan baru Syawal.

Perbedaan Definisi Hilal

Dalam gambaran umum, hilal Indonesia berada dalam kondisi “aman” jika berdasarkan hasil hisab hakiki kontemporer. Pertama, hilal positif di atas ufuk dengan ketinggian hilal yang relatif tinggi. Misalnya, h’c = 4 o 36’ 55” sehingga sangat besar kemungkinan hari esok disepakati sudah masuk hari pertama bulan berikutnya. Kedua, hilal dinyata kan negatif di bawah ufuk, misalnya, h’c = -0 o 20’ 28.87” maka dipastikan bah wa hari besok diistikmalkan bilang an bulan menjadi 30 hari.

Namun, hilal Indonesia akan berada pada kondisi “rawan” apabila hilal positif di atas ufuk dengan ketinggian yang relatif rendah berkisar antara nol hingga dua derajat. Dengan ketinggian tersebut maka sangat besar terjadi berbedaan dalam menentukan awal dan akhir bulan, seperti yang terjadi pada awal Syawal 1432 H. Bahkan, diprediksi, tiga Ramadhan ke depan akan terjadi kemungkinan perbedaan hari memulai puasa.

Perselisihan penentuan hari dalam satu wilayah administratif selama ini akibat perbincangan hanya pada tataran pemahaman perbedaan ijtihadiyah. Selain itu, juga belum adanya upaya konkret penyelesaian dalam tataran normatif dan strategis, baik dalam ranah teknis maupun ideo-sosiologis.

Perbedaan dalam menentukan awal bulan Qamariah terjadi karena perbedaan dalam mendefinisikan hilal. Belum ada kesepakatan membentuk satu definisi tunggal hilal. Secara harfiah, hilal di maksudkan sebagai awal penampakan bulan dalam fase sabit setelah terjadinya ijtimak yang sangat tipis di ufuk barat setelah matahari terbenam sebagai pelaksanaan observasi atau penentuan. Namun, secara teknis, belum ada rumusan baku tentang bagaimana posisi bulan yang berposisi sebagai hilal.

Perumusan teknis hilal memang ti dak mudah, terutama menyangkut visibilitas hilal. Setidaknya, ada tiga para meter yang perlu menjadi pertimbangan, yaitu posisi Bulan dan Matahari, sifat optis atmosfer Bumi, dan terbatasnya resolusi mata manusia.

Penulis sepakat demi kebenaran empirik perlu dilakukan pengkajian dan penelitian lebih lanjut untuk mencari kebenaran hilal hakiki sebagaimana yang tersurat dalam Alquran sebagai penanda masuknya bulan baru Islam.

Karena itu, perlu ada komunikasi intensif antara para fukaha dan para ahli untuk terus melakukan upaya mencari kebenaran definisi hilal melalui berbagai observasi dan penelitian berkelanjutan. Apakah memang angka nol merupakan penanda fundamental atas eksistensi segala sesuatu bilangan?

Namun, penelitian demikian memang tidak cukup dilakukan hanya dalam waktu singkat. Perlu ada sinkronisasi pengamatan secara berulang setiap bulannya hingga bertahun-tahun. Sehingga, melihat potensi perbedaan dalam penentuan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah tahun-tahun mendatang sambil menunggu hasil verifikasi uji kebenaran hilal perlu ada upaya lain untuk mencoba menyeragamkan hilal dan penentuan awal bulan.

Dengan kata lain, mengalah bukan berarti salah, tidak mengalah bukan berati menghindar dari kesalahan. Jika melihat aspek persatuan ibadah umat dalam satu wilayah administratif, untuk menjaga persatuan kaum Muslimin maka cara terbaik dalam menentukan awal bulan adalah dengan mengikuti keputusan pemerintah.

Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, Idul Fitri ditetapkan tatkala mayoritas kalian berIdul fitri, dan Idul Adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian ber-Idul Adha.” (HR Tirmidzi, hasan ghorib).

Bukankah cara ini yang terbaik dan dapat dibenarkan berdasarkan dalil naqli demi persatuan umat Muslimin dengan kemantapan dan kesempurnaan ibadah? Wallahu a’lam. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar