Spektrum
Frekuensi Milik Siapa?
M Alwi Dahlan; Guru
Besar Emeritus Ilmu Komunikasi UI
SUMBER
: KOMPAS,
10 Mei 2012
Namanya sama sekali tidak seksi: spektrum
frekuensi radio (untuk ringkasnya kita sebut saja spektrum). Karena itu, tidak
heran mengapa ”dia” jarang disebut-sebut dalam pembicaraan orang ramai.
Meski sudah enam bulan ini ”dia” diperkarakan
di Mahkamah Konstitusi atas permohonan Koalisi Independen untuk Demokratisasi
Penyiaran, isu ini tetap tak menarik perhatian khalayak. Di layar televisi pun
soal ini jarang muncul, padahal spektrum adalah sumber alam pokok bagi
penyiaran televisi itu sendiri.
Perkara itu sendiri menggugat pemusatan
penguasaan spektrum di tangan pemilik besar industri penyiaran televisi yang
bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Jika
ketentuan UU itu diterapkan secara konsisten, mungkin banyak pemilik yang harus
melepaskan saluran yang selama ini dikuasai. Di sisi lain, pihak industri
merasa telah menanam modal besar membangun stasiun dan pemancar di seluruh
Indonesia serta telah mendapat izin spektrum dari instansi berwewenang.
Mengapa begitu? Siapa sebenarnya yang berhak
atas spektrum, sumber daya alam yang tidak punya bentuk fisik (nirwujud) dan
berada di mana-mana di udara sekeliling kita ini?
Pada abad ke-21 ini, ketika modal uang lebih
penting daripada modal kemerdekaan, orang sudah lupa peranan spektrum dalam
sejarah kita. Inilah sumber alam pertama yang direbut bangsa, yang memengaruhi
pembentukan negara. Selain mendorong percepatan proklamasi, juga modal
strategis yang ikut menentukan demokrasi Indonesia.
Spektrum selalu dijadikan alat perebutan
kekuasaan sejak era kolonial. Sewaktu Perang Pasifik, ketika Nusantara masih
Hindia Belanda ataupun setelah diduduki Jepang, spektrum ”disegel”. Alat
penerima sinyal pesawat radio diputus sebagian agar publik tidak dapat
mengakses informasi yang merugikan pemerintah.
Dengan menguasai spektrum, Jepang berhasil
memanipulasi informasi sehingga membentuk persepsi palsu tentang kenyataan.
Rakyat Indonesia tidak lagi mengetahui bagaimana jalannya peperangan yang
sebenarnya, termasuk di negeri sendiri. Waktu Sekutu menyerang Indonesia bagian
timur, menduduki Hollandia (sekarang Jayapura), Biak, dan Morotai, April 1944,
berita radio resmi tetap saja meyakinkan publik bahwa Jepang menang di semua
front.
Rekayasa persepsi ini mulai buyar ketika
penguasaan spektrum dihadapkan pada senjata spektrum pula. Sekelompok pemuda
pejuang, seperti Sjahrir, Chaerul Saleh, Subadio, Sukarni, dan Dr Muwardi,
menerobos dominasi komunikasi Jepang secara klandestin. Mereka mengetahui
Jepang sudah di ambang kekalahan akibat bom atom di Hiroshima pada 6 Agustus
1945.
Namun, pengaruh informasi Jepang sudah
berakar. Bung Karno tidak dapat diyakinkan bahwa perjuangan kemerdekaan perlu
memisahkan diri dari Jepang agar kelak tidak dituduh sebagai kolaborator.
Malahan sebaliknya, Soekarno, Hatta, dan Radjiman justru terbang ke Dalat,
Vietnam, untuk menerima janji kemerdekaan dari Jenderal Terauchi, panglima
tentara Jepang di kawasan Asia Tenggara, pada 9 Agustus 1945, hari jatuhnya bom
atom kedua di Nagasaki yang juga diblokir beritanya oleh Jepang.
Dominasi itu baru hancur melalui spektrum
pula. Untuk pertama kali dalam sejarah Jepang, Kaisar Tenno Heika berbicara di
corong radio di Tokyo, 15 Agustus, menyatakan menyerah tanpa syarat kepada
Sekutu. Kemerdekaan Indonesia yang direncanakan 24 Agustus batal dengan
sendirinya. Namun, Soekarno-Hatta mulanya tetap tak mau menyatakan kemerdekaan
secara unilateral sampai terjadi penculikan terhadap mereka oleh para pemuda.
Akhirnya kemerdekaan diumumkan lebih cepat
guna merebut momentum. Teks proklamasi ditulis singkat, meninggalkan konsep
Mukadimah UUD yang dirancang BPUPKI bentukan Jepang. Setelah dibacakan di rumah
Bung Karno, proklamasi segera disiarkan melalui radio ke seluruh Indonesia dan
dunia internasional meskipun itu secara ilegal karena aparatur Jepang yang
menguasai spektrum mulai saat itu tunduk kepada Sekutu.
Milik Anda
Kecenderungan untuk menguasai spektrum guna
mencapai tujuan yang lebih besar tak berhenti dengan tercapainya kemerdekaan.
Dorongan ke arah ini selalu muncul, seperti terlihat pada setiap perebutan
kekuasaan politik pada masa lalu. Misalnya, pada penyerbuan RRI Madiun untuk
menyiarkan pidato Bung Karno, ”pilih Soekarno-Hatta atau Musso”, sewaktu
pemberontakan FDR/PKI Musso September 1948. Juga perebutan RRI dan Gedung
Telekomunikasi di Gambir, Jakarta, sewaktu peristiwa G30S tahun 1965.
Pengalaman dari zaman Jepang menunjukkan,
pemusatan penguasaan spektrum pada satu kekuatan—apalagi sejumlah kecil
orang—sangat berbahaya bagi kepentingan orang banyak. Spektrum tak dapat
dibiarkan dikuasai penuh atau disalahgunakan oleh penguasaan yang berat sebelah
di tangan siapa pun.
Meski pelaku yang berkepentingan dapat
berganti-ganti, kecenderungan menguasai spektrum untuk kepentingan sendiri akan
tetap muncul. Seperti pada contoh kecil di awal tulisan ini: industri televisi
menghindari peliputan gugatan di MK—mengabaikan kewajiban yang melekat bersama
izin spektrum yang ia peroleh—karena dapat merugikan kepentingan sendiri.
Bagaimanapun, spektrum adalah sumber alam
milik bersama, termasuk Anda dan rakyat daerah Anda. Seperti di semua negara
demokratis, termasuk Amerika Serikat yang sangat kapitalis pun, spektrum hanya
dipinjamkan kepada pemakainya dengan aturan yang ketat yang harus ditegakkan
negara. Itu sebabnya UU Penyiaran menekankan pentingnya keanekaragaman, baik
dalam isi siaran maupun dalam kepemilikan izin. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar