Rekonstruksi
Sistem Pilkada
I Gusti Putu Artha; Anggota
KPU 2007-2012
SUMBER : KOMPAS, 10
Mei 2012
Berita utama Kompas (17/4) melansir bahwa
sepanjang 2004-2012, 173 kepala daerah menjalani pemeriksaan dengan status
saksi, tersangka, dan terdakwa dalam kasus korupsi.
Sekitar 70 persen telah divonis dan
berkekuatan hukum tetap. Menurut Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, dari 2004
hingga 2011 tercatat 155 kepala daerah tersangkut kasus korupsi: 17 di
antaranya gubernur. Angka 173 itu sama dengan 32,6 persen dari 530 gubernur,
bupati, dan wali kota se-Indonesia.
Jika angka itu terus naik, niscaya
pemerintahan di daerah terancam lumpuh. Roda pemerintahan dan pembangunan pun
tak bergerak. Ujung-ujungnya rakyat sejahtera makin jauh dari harapan. Persoalannya:
betulkah sistem pemilihan umum kepala daerah (pilkada) secara langsung dalam UU
No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah sumber penyebabnya? Lantas konstruksi
sistem pilkada seperti apa yang lebih ideal?
Liberalisasi Demokrasi
Pengalaman penulis hampir 10 tahun menjadi
penyelenggara pemilihan umum, termasuk pilkada, memberi satu simpulan awal:
ruang-ruang politik kita memang memasuki proses liberalisasi besar-besaran.
Sebagaimana halnya liberalisasi dalam ekonomi, dalam liberalisasi politik pun,
pasarlah penentu. Pasar politik-parpol, tim kampanye, dan pemilih telah membuat
nilai hajatan pilkada menjadi komoditas politik yang harganya bergantung pada
permintaan dan penawaran.
Komodifikasi politik itu amat ditentukan oleh
potensi sumber daya alam yang dimiliki sebuah daerah yang menggelar pilkada.
Daerah yang tergolong kaya sumber alam niscaya bernilai komoditas politik
tinggi.
Dalam bentuk apa saja, komo- difikasi politik
itu terjadi dan membuat ongkos politik pilkada menjadi mahal? Pertama, harga
tiket sebuah parpol mengusung sepasang kandidat. Berdasarkan pengalaman penulis
menyelesaikan kasus-kasus perselisihan dukungan ganda parpol ke kandidat,
pemerasan terhadap kandidat dimulai dari tahap ini.
Pengurus parpol di tingkat pusat akan
memasang tarif tertentu. Angkanya untuk parpol-parpol besar adalah miliaran
rupiah, sedangkan untuk parpol gurem puluhan hingga ratusan juta rupiah. Tak
cuma di tingkat pusat, pengurus di tingkat provinsi dan kabupaten/kota pun
minta bagian.
Bagaimana dengan calon perseorangan? Sama
saja. Dalam banyak kasus terungkap, mobilisasi dukungan dalam bentuk kartu
tanda penduduk pun tidak gratis. Saat pengumpulan dukungan dengan KTP,
diperlukan biaya per KTP. Saat verifikasi, kandidat mesti menyiapkan dana tak
sedikit guna memastikan pendu- kung mengaku bahwa memang mereka memberi
dukungan.
Kedua, demokrasi prabayar. Sebelum pemilu
digelar, rakyat ”memeras” kandidat dengan sumbangan jutaan rupiah: entah atas
nama pribadi, entah kelompok. Entah untuk perbaikan tempat ibadah, pembangunan
sekolah, atau perbaikan jalan. Belum lagi biaya politik untuk berbagai
kepentingan sosialisasi calon.
Jadi, sebelum ada hasil pene- tapan pasangan
calon pilkada, calon telah mengeluarkan ratusan juta hingga miliaran rupiah
untuk menaikkan elektabilitasnya. Realitas demokrasi prabayar ini dengan
gamblang terungkap dalam sidang perselisihan hasil pilkada di Mahkamah
Konstitusi.
Ketiga, biaya kampanye dan pemenangan
kandidat. Inilah mungkin yang disebut biaya resmi yang dikeluarkan kandidat.
Bentuknya macam-macam, dari biaya honor saksi per TPS, biaya bimbingan teknis
saksi dan tim kampanye, logistik kampanye pemilu (pembuatan iklan di TV,
baliho, poster, spanduk, pamflet), hingga serangan fajar per orang Rp 50.000
hingga Rp 100.000.
Harus diakui, pilkada memerlukan biaya amat
tinggi. Skor tertinggi agaknya masih dipegang pilkada Jawa Timur 2008 dengan
pemungutan suara ulang mendekati Rp 800 miliar. Saat ini Provinsi Papua
mencanangkan biaya mendekati Rp 500 miliar.
Biaya pelaksanaan pilkada dari sisi penyelenggara
dan kandidat dapat digambarkan melalui asumsi hitungan berikut ini. Yang
dikeluarkan: biaya pelaksanaan oleh KPU, biaya panwas pilkada, biaya pengamanan
oleh kepolisian, biaya kampanye oleh tim kampanye, biaya konsolidasi oleh
pasangan calon, dan kontribusi biaya secara sukarela oleh para pendukung.
Jika diasumsikan bahwa angka terendah
(berdasarkan pengalaman) untuk pilkada kabupaten/kota Rp 21 miliar dan untuk
pilkada provinsi Rp 130 miliar, total biaya yang dikeluarkan selama lima tahun
penyelenggaraan pilkada di 497 kabupaten/kota dan 33 provinsi: Rp 11,307
triliun. Belum masuk di sini biaya prabayar dan pascabayar yang juga yang
dikeluarkan calon, pendukung, dan simpatisan secara swadaya.
Jika 173 kepala daerah saat ini tersangka
dalam kasus korupsi, patut diduga itu merupakan implikasi perilaku korupsi yang
ia lakukan untuk mengembalikan modal pada pemilu sebelumnya.
Rekonstruksi Pilkada
Rekonstruksi sistem pilkada seyogianya segera
dilakukan. Apalagi, saat ini pemerintah tengah menggodok RUU pilkada. Dalam
bocoran RUU yang sempat beredar, pemerintah tetap fokus pada pilkada
kabupaten/kota secara langsung, sedangkan pilkada provinsi dipilih oleh DPRD.
Jika konsep ini dipertahankan tanpa perbaikan
sistem secara signifikan, niscaya tak akan berakhir masalah betapa liberalisasi
politik itu telah mendorong terjadinya kapitalisme demokrasi. Korupsi masih
akan terjadi!
Sempat mengemuka gagasan pemilu nasional dan
pemilu lokal. Pemilu legislatif dan pemilihan presiden dilaksanakan satu paket
pada hari yang sama, sesudahnya (dua tahun kemudian) pemilu lokal serentak
memilih kepala daerah dan parlemen lokal di provinsi, kabupaten, dan kota.
Gagasan ini menarik untuk melahirkan
pemerintahan efektif, tetapi tetap kurang mampu mengurangi biaya tinggi pilkada.
Pasalnya, kandidat masih bertarung secara personal dan butuh biaya besar pula.
Biaya penyelenggaraan saja yang dihemat.
Gagasan kedua: menyatukan pemilu eksekutif
(pemilihan presiden dan pilkada provinsi dan kabupaten/kota) serentak pada hari
yang sama dan dilaksanakan setelah pemilu legislatif (pemilu DPR, DPD, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota) serentak digelar.
Pemilu eksekutif satu paket untuk Pemilu
2014: awal tahapan dimulai pada Februari 2014, pemungutan suara putaran I pada
Juli 2014, dan pemungutan suara tahap II pada September 2014. Substansi
prosedur dan mekanisme pelaksanaan pilkada sama seperti sekarang: dilakukan
langsung seperti diatur dalam UU No 12/2008.
Apa sisi positifnya? Pertama, seluruh biaya
pilkada yang ada sekarang tak diperlukan lagi karena pemilu eksekutif dibiayai
APBN yang mendompleng pada biaya pemilu presiden. Tambahan biaya hanya pada
pengadaan surat suara pilkada.
Kedua, ongkos politik yang dikeluarkan
kandidat presiden, gubernur, bupati/wali kota patut diduga akan jauh berkurang.
Jika diasumsikan terbangun koalisi kandidat presiden, gubernur, dan bupati/wali
kota untuk mengampanyekan diri bersama-sama, biaya kampanye 100 persen akan
dibagi secara patungan bertiga. Calon gubernur, calon bupati, dan calon wali
kota hanya mengeluarkan 33,3 persen biaya kampanye dari yang dikeluarkan
sekarang jika kampanye tidak satu paket dengan pemilihan presiden dan pemilihan
gubernur. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar