Senin, 14 Mei 2012

Solusi Pendidikan Inklusi


Solusi Pendidikan Inklusi
Ramadhani Ray ;  Penyandang Disabilitas Netra, Alumnus Universitas Padjadjaran, Bandung; Kini Aktif di Beberapa Organisasi Sosial Disabilitas
SUMBER :  KORAN TEMPO, 12 Mei 2012



Beberapa waktu terakhir mulai berkembang sistem pendidikan inklusi. Sekolah inklusi adalah sekolah reguler yang mengkoordinasi dan mengintegrasikan siswa reguler serta siswa penyandang disabilitas dalam program yang sama. Selama ini untuk anak-anak dengan disabilitas disediakan fasilitas khusus dalam mengenyam pendidikan, yakni melalui Sekolah Luar Biasa (SLB). Pendirian SLB adalah untuk memfasilitasi pemberian pendidikan dengan cara dan kurikulum yang disesuaikan dengan kondisi disabilitas seorang siswa. Akan tetapi, secara tidak disadari, sistem pendidikan SLB telah membangun tembok eksklusivisme bagi anak dengan disabilitas terhadap lingkungan pergaulan sosial. Akibatnya, dalam interaksi sosial, kelompok penyandang disabilitas menjadi kelompok yang termarginalkan dari dinamika sosial masyarakat. Masyarakat menjadi merasa asing dengan kehadiran penyandang disabilitas. Kaum disabilitas sendiri merasa bahwa diri mereka tidak menjadi bagian yang integral dalam kehidupan bermasyarakat.

Pendidikan Luar Biasa meyakini bahwa untuk mengajar anak penyandang disabilitas diperlukan metode khusus, peralatan khusus, serta lingkungan khusus. Padahal, dengan metode pengajaran berkualitas baik yang disesuaikan dengan kebutuhan anak, siswa penyandang disabilitas pun dapat mengikuti pelajaran seperti siswa pada umumnya. Siswa penyandang disabilitas bukanlah “siswa bermasalah“. Anak tanpa disabilitas sekalipun dapat mengalami kesulitan belajar. Banyak anak disabilitas yang tidak mengalami kesulitan belajar, hanya kesulitan dalam aksesnya. Karena itu, yang sebenarnya diperlukan oleh siswa disabilitas adalah fasilitas penunjang dan lingkungan yang memahami kebutuhannya. Pemisahan siswa dari lingkungan reguler seharusnya hanya dilakukan jika siswa mengalami tingkat kecacatan tertentu, sehingga pendidikan di sekolah reguler dengan alat bantu dan layanan khusus tidak dapat mencapai hasil maksimal.

Indonesia Menuju Pendidikan Inklusi secara formal dideklarasikan pada 11 Agustus 2004 di Bandung, dengan harapan dapat menggalang sekolah reguler untuk mempersiapkan pendidikan bagi semua anak, termasuk anak dengan disabilitas. Sejumlah peraturan perundangan pun telah dibuat untuk mendukung berjalannya pendidikan inklusi. Namun, pada prakteknya, pendidikan inklusi masih sulit diperoleh penyandang disabilitas. Penolakan kerap kali diterima calon siswa disabilitas yang mendaftar ke sekolah reguler. Padahal, jika siswa tersebut memiliki nilai yang cukup, seharusnya mereka berhak memilih dan mengikuti pendidikan di mana pun, sama dengan anak-anak nondisabilitas. Seperti yang dinyatakan dalam pasal 24 ayat 2 (a) pada Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas yang telah diratifikasi pada Oktober 2011, bahwa “Penyandang disabilitas tidak dikecualikan dari sistem pendidikan umum berdasarkan alasan disabilitas, dan bahwa penyandang disabilitas anak tidak dikecualikan dari pendidikan dasar wajib dan gratis atau dari pendidikan lanjutan berdasarkan alasan disabilitas“.

Penolakan-penolakan terhadap siswa dengan disabilitas mungkin diakibatkan minimnya pengetahuan masyarakat tentang penyandang disabilitas. Sekolah reguler enggan menerima siswa penyandang disabilitas, dengan alasan guru-guru tidak memiliki keterampilan untuk menghadapi siswa dengan disabilitas. Untuk itu, mulai banyak diadakan pelatihan bagi guru reguler dan guru SLB dalam menangani siswa penyandang disabilitas. Hal ini dapat menjadi langkah yang baik untuk mendorong pembentukan pendidikan inklusi. Bagaimanapun, peran sekolah dan keterampilan guru akan sangat membantu siswa disabilitas untuk dapat mengikuti pelajaran di sekolah regular.

Persepsi keliru dari orang tua siswa nondisabilitas juga masih banyak ditemui. Sebagian dari mereka sering kali mengajukan protes jika sekolah menerima siswa penyandang disabilitas karena berbagai alasan. Ada yang takut anaknya tertular kecacatan siswa disabilitas. Ada yang beranggapan bahwa, jika sekolah menerima siswa penyandang disabilitas, sekolah tersebut akan berubah menjadi SLB. Ada juga yang khawatir kehadiran siswa disabilitas akan mengganggu proses belajar.

Padahal banyak keuntungan yang dapat diperoleh dengan menjalankan sistem pendidikan inklusi. Kehadiran siswa disabilitas akan melatih siswa nondisabilitas agar dapat menghargai perbedaan. Selain itu, seorang anak akan lebih toleran terhadap orang lain setelah memahami kebutuhan temannya yang menyandang disabilitas. Rasa takut terhadap penyandang disabilitas juga akan hilang karena seringnya berinteraksi dengan kaum disabilitas. Siswa disabilitas sendiri dapat memiliki pergaulan yang lebih luas. Ketika mereka merasa dihargai, maka rasa percaya diri akan tumbuh, kemudian anak disabilitas pun dapat menjadi siswa berprestasi. Dengan kata lain, pendidikan inklusi tidak hanya melatih siswa untuk cerdas dalam aspek akademis, tetapi juga cerdas secara sosial. Hal ini dapat menjadi bekal yang baik untuk membentuk masyarakat inklusif yang demokratis di masa mendatang. Sedangkan bagi pemerintah, berjalannya sistem pendidikan inklusi dapat berarti efisiensi, karena dapat menekan biaya sistem pendidikan secara keseluruhan.

Ketidaksiapan pemerintah dalam menjalankan program pendidikan inklusi pun masih tampak. Pada ujian nasional SMA dan SMP akhir April lalu, siswa tunanetra yang bersekolah di sekolah inklusi tidak memperoleh soal dalam bentuk Braille. Keputusan tersebut diambil pemerintah dengan alasan daya serap dan kemampuan berpikir siswa disabilitas di sekolah inklusi sama dengan siswa lainnya. Tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa ketiadaan soal Braille menimbulkan beberapa kendala teknis. Pengawas yang bertugas membacakan soal menjadi kebingungan ketika harus mendeskripsikan soal berbentuk gambar seperti matematika. Daya tangkap siswa yang berbeda-beda juga terkadang membuat pengawas harus membacakan ulang satu butir soal lebih dari satu kali. Selain itu, siswa menjadi harus mengerjakan soal secara berurutan, tidak bisa memilih soal yang dianggap mudah terlebih dulu. Hal ini tentu saja menimbulkan rasa tidak nyaman, baik pada siswa maupun pengawas.

Pada tahun-tahun sebelumnya, soal Braille selalu disediakan. Ketiadaan soal Braille tahun ini berarti sebuah kemunduran untuk dunia pendidikan kita. Lemahnya sistem dari pemerintah pusat yang tidak secara cepat ditanggapi daerah akhirnya justru mengorbankan para siswa. Sebuah keadaan miris yang menunjukkan sangat kurangnya perhatian pemerintah pada siswa penyandang disabilitas. Jika hasil yang diperoleh tidak maksimal, tentu akan sangat merugikan siswa. Bagaimanapun, anak-anak dengan disabilitas juga merupakan bagian dari masa depan bangsa. Mereka berhak mendapatkan pelayanan pendidikan yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki dan difasilitasi oleh pihakpihak yang terkait.

Penulis berharap pemerintah dapat lebih memperhatikan layanan pendidikan bagi siswa dengan disabilitas. Semoga pemerintah lebih serius menangani anak-anak penyandang disabilitas. Bukan sekadar menciptakan peraturan perundangan saja, tetapi implementasinya segera terealisasi di tiap-tiap daerah dengan tenaga yang profesional. Keterampilan guru juga harus lebih ditingkatkan agar dapat membimbing siswa disabilitas. Pemahaman yang baik dari pihak sekolah akan dapat memberi pengertian kepada orang tua siswa nondisabilitas agar tidak enggan menyekolahkan anaknya bersama siswa disabilitas. Dengan meningkatnya kualitas dan kuantitas SDM pengajar di sekolah inklusi, pengkondisian tempat belajar yang aksesibel, persiapan fasilitas penunjang, serta pemahaman masyarakat terhadap anak dengan disabilitas, tentu kehidupan bermasyarakat yang inklusif dan ramah bagi setiap orang, akan dapat segera terwujud.

1 komentar:

  1. Assalamualaikum. boleh minta nomer kontaknya bang Ramadhani? Kirim ke 081218118244

    BalasHapus