Solusi
Pendidikan Inklusi
Ramadhani Ray ; Penyandang
Disabilitas Netra, Alumnus Universitas Padjadjaran, Bandung; Kini Aktif di
Beberapa Organisasi Sosial Disabilitas
SUMBER : KORAN
TEMPO, 12 Mei 2012
Beberapa
waktu terakhir mulai berkembang sistem pendidikan inklusi. Sekolah inklusi
adalah sekolah reguler yang mengkoordinasi dan mengintegrasikan siswa reguler
serta siswa penyandang disabilitas dalam program yang sama. Selama ini untuk
anak-anak dengan disabilitas disediakan fasilitas khusus dalam mengenyam
pendidikan, yakni melalui Sekolah Luar Biasa (SLB). Pendirian SLB adalah untuk
memfasilitasi pemberian pendidikan dengan cara dan kurikulum yang disesuaikan
dengan kondisi disabilitas seorang siswa. Akan tetapi, secara tidak disadari,
sistem pendidikan SLB telah membangun tembok eksklusivisme bagi anak dengan
disabilitas terhadap lingkungan pergaulan sosial. Akibatnya, dalam interaksi
sosial, kelompok penyandang disabilitas menjadi kelompok yang termarginalkan
dari dinamika sosial masyarakat. Masyarakat menjadi merasa asing dengan
kehadiran penyandang disabilitas. Kaum disabilitas sendiri merasa bahwa diri
mereka tidak menjadi bagian yang integral dalam kehidupan bermasyarakat.
Pendidikan
Luar Biasa meyakini bahwa untuk mengajar anak penyandang disabilitas diperlukan
metode khusus, peralatan khusus, serta lingkungan khusus. Padahal, dengan
metode pengajaran berkualitas baik yang disesuaikan dengan kebutuhan anak,
siswa penyandang disabilitas pun dapat mengikuti pelajaran seperti siswa pada
umumnya. Siswa penyandang disabilitas bukanlah “siswa bermasalah“. Anak tanpa
disabilitas sekalipun dapat mengalami kesulitan belajar. Banyak anak
disabilitas yang tidak mengalami kesulitan belajar, hanya kesulitan dalam
aksesnya. Karena itu, yang sebenarnya diperlukan oleh siswa disabilitas adalah
fasilitas penunjang dan lingkungan yang memahami kebutuhannya. Pemisahan siswa
dari lingkungan reguler seharusnya hanya dilakukan jika siswa mengalami tingkat
kecacatan tertentu, sehingga pendidikan di sekolah reguler dengan alat bantu
dan layanan khusus tidak dapat mencapai hasil maksimal.
Indonesia
Menuju Pendidikan Inklusi secara formal dideklarasikan pada 11 Agustus 2004 di
Bandung, dengan harapan dapat menggalang sekolah reguler untuk mempersiapkan
pendidikan bagi semua anak, termasuk anak dengan disabilitas. Sejumlah
peraturan perundangan pun telah dibuat untuk mendukung berjalannya pendidikan
inklusi. Namun, pada prakteknya, pendidikan inklusi masih sulit diperoleh
penyandang disabilitas. Penolakan kerap kali diterima calon siswa disabilitas
yang mendaftar ke sekolah reguler. Padahal, jika siswa tersebut memiliki nilai
yang cukup, seharusnya mereka berhak memilih dan mengikuti pendidikan di mana
pun, sama dengan anak-anak nondisabilitas. Seperti yang dinyatakan dalam pasal
24 ayat 2 (a) pada Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas yang telah
diratifikasi pada Oktober 2011, bahwa “Penyandang disabilitas tidak
dikecualikan dari sistem pendidikan umum berdasarkan alasan disabilitas, dan
bahwa penyandang disabilitas anak tidak dikecualikan dari pendidikan dasar
wajib dan gratis atau dari pendidikan lanjutan berdasarkan alasan disabilitas“.
Penolakan-penolakan
terhadap siswa dengan disabilitas mungkin diakibatkan minimnya pengetahuan
masyarakat tentang penyandang disabilitas. Sekolah reguler enggan menerima
siswa penyandang disabilitas, dengan alasan guru-guru tidak memiliki
keterampilan untuk menghadapi siswa dengan disabilitas. Untuk itu, mulai banyak
diadakan pelatihan bagi guru reguler dan guru SLB dalam menangani siswa
penyandang disabilitas. Hal ini dapat menjadi langkah yang baik untuk mendorong
pembentukan pendidikan inklusi. Bagaimanapun, peran sekolah dan keterampilan
guru akan sangat membantu siswa disabilitas untuk dapat mengikuti pelajaran di
sekolah regular.
Persepsi
keliru dari orang tua siswa nondisabilitas juga masih banyak ditemui. Sebagian
dari mereka sering kali mengajukan protes jika sekolah menerima siswa
penyandang disabilitas karena berbagai alasan. Ada yang takut anaknya tertular
kecacatan siswa disabilitas. Ada yang beranggapan bahwa, jika sekolah menerima
siswa penyandang disabilitas, sekolah tersebut akan berubah menjadi SLB. Ada
juga yang khawatir kehadiran siswa disabilitas akan mengganggu proses belajar.
Padahal
banyak keuntungan yang dapat diperoleh dengan menjalankan sistem pendidikan
inklusi. Kehadiran siswa disabilitas akan melatih siswa nondisabilitas agar
dapat menghargai perbedaan. Selain itu, seorang anak akan lebih toleran
terhadap orang lain setelah memahami kebutuhan temannya yang menyandang
disabilitas. Rasa takut terhadap penyandang disabilitas juga akan hilang karena
seringnya berinteraksi dengan kaum disabilitas. Siswa disabilitas sendiri dapat
memiliki pergaulan yang lebih luas. Ketika mereka merasa dihargai, maka rasa
percaya diri akan tumbuh, kemudian anak disabilitas pun dapat menjadi siswa
berprestasi. Dengan kata lain, pendidikan inklusi tidak hanya melatih siswa
untuk cerdas dalam aspek akademis, tetapi juga cerdas secara sosial. Hal ini
dapat menjadi bekal yang baik untuk membentuk masyarakat inklusif yang
demokratis di masa mendatang. Sedangkan bagi pemerintah, berjalannya sistem
pendidikan inklusi dapat berarti efisiensi, karena dapat menekan biaya sistem
pendidikan secara keseluruhan.
Ketidaksiapan
pemerintah dalam menjalankan program pendidikan inklusi pun masih tampak. Pada
ujian nasional SMA dan SMP akhir April lalu, siswa tunanetra yang bersekolah di
sekolah inklusi tidak memperoleh soal dalam bentuk Braille. Keputusan tersebut
diambil pemerintah dengan alasan daya serap dan kemampuan berpikir siswa
disabilitas di sekolah inklusi sama dengan siswa lainnya. Tetapi kenyataan di
lapangan menunjukkan bahwa ketiadaan soal Braille menimbulkan beberapa kendala
teknis. Pengawas yang bertugas membacakan soal menjadi kebingungan ketika harus
mendeskripsikan soal berbentuk gambar seperti matematika. Daya tangkap siswa
yang berbeda-beda juga terkadang membuat pengawas harus membacakan ulang satu
butir soal lebih dari satu kali. Selain itu, siswa menjadi harus mengerjakan
soal secara berurutan, tidak bisa memilih soal yang dianggap mudah terlebih
dulu. Hal ini tentu saja menimbulkan rasa tidak nyaman, baik pada siswa maupun
pengawas.
Pada
tahun-tahun sebelumnya, soal Braille selalu disediakan. Ketiadaan soal Braille
tahun ini berarti sebuah kemunduran untuk dunia pendidikan kita. Lemahnya
sistem dari pemerintah pusat yang tidak secara cepat ditanggapi daerah akhirnya
justru mengorbankan para siswa. Sebuah keadaan miris yang menunjukkan sangat
kurangnya perhatian pemerintah pada siswa penyandang disabilitas. Jika hasil
yang diperoleh tidak maksimal, tentu akan sangat merugikan siswa. Bagaimanapun,
anak-anak dengan disabilitas juga merupakan bagian dari masa depan bangsa.
Mereka berhak mendapatkan pelayanan pendidikan yang sesuai dengan kemampuan
yang dimiliki dan difasilitasi oleh pihakpihak yang terkait.
Penulis
berharap pemerintah dapat lebih memperhatikan layanan pendidikan bagi siswa
dengan disabilitas. Semoga pemerintah lebih serius menangani anak-anak
penyandang disabilitas. Bukan sekadar menciptakan peraturan perundangan saja,
tetapi implementasinya segera terealisasi di tiap-tiap daerah dengan tenaga
yang profesional. Keterampilan guru juga harus lebih ditingkatkan agar dapat
membimbing siswa disabilitas. Pemahaman yang baik dari pihak sekolah akan dapat
memberi pengertian kepada orang tua siswa nondisabilitas agar tidak enggan
menyekolahkan anaknya bersama siswa disabilitas. Dengan meningkatnya kualitas
dan kuantitas SDM pengajar di sekolah inklusi, pengkondisian tempat belajar
yang aksesibel, persiapan fasilitas penunjang, serta pemahaman masyarakat terhadap
anak dengan disabilitas, tentu kehidupan bermasyarakat yang inklusif dan ramah
bagi setiap orang, akan dapat segera terwujud. ●
Assalamualaikum. boleh minta nomer kontaknya bang Ramadhani? Kirim ke 081218118244
BalasHapus