Senjata, Kekerasan, dan Perilaku Masyarakat
Tb Ronny Nitibaskara; Ketua Program Pengkajian Ketahanan Nasional
Pascasarjana UI;
Rektor Universitas Budi
Luhur
SUMBER : KOMPAS, 08
Mei 2012
Beberapa waktu lalu dunia maya dihebohkan
video aparat yang bertindak arogan terhadap seorang pengendara sepeda motor.
Dari pelat nomor mobilnya terlihat oknum berseragam sipil tersebut berasal dari
instansi militer.
Bersikap agresif kepada si pengendara motor,
seperti memukul, menendang, dan meletuskan pistolnya ke atas, menurut versi
pengunduh video ke internet, disebabkan pengendara motor menyerempet mobil sang
petugas militer berpangkat kapten tersebut. Namun, menurut pihak TNI, perilaku
tidak patut itu dipicu tindakan pengendara motor yang mengetuk kaca, memaki,
dan menendang bagian mobil.
Apa pun alasannya, tindakan arogan menenteng
senjata api kepada rakyat sipil yang belum tentu bersalah—apalagi meletuskannya
ke atas—merupakan perilaku yang sangat tidak simpatik. Sebagaimana dapat
dilihat semenjak disebarluaskan melalui internet, dalam sekejap rekaman
berjudul ”Koboi Palmerah” itu menyita perhatian publik serta menuai kontroversi
dan berbagai kecaman negatif.
Alat Kekuasaan
Sejatinya, senjata api merupakan sarana paksa
yang dipakai negara untuk menjalankan kekuasaannya melalui instansi militer dan
kepolisian. Oleh karena itu, penggunaan senjata api pada prinsipnya monopoli
negara.
Mengingat pentingnya kedudukan senjata api
sebagai bagian dari wibawa negara, seyogianya diingat bahwa dalam pemberian
izin penggunaan senjata api juga terkandung nilai pemberian atribut kekuasaan.
Suatu kenyataan yang tak dapat dipungkiri,
menyandang senjata adalah identik dengan bangkitnya kepercayaan diri dan
”status tersendiri” yang sewaktu-waktu dapat berubah menjadi arogansi. Tingkah
laku demikian akan mengarahkan dirinya berperilaku lebih agresif mengingat
adanya atribut kekuasaan berupa senjata api pada dirinya. Agar sikap batin ini
tidak berbuah tindakan yang tidak diinginkan, perlu adanya mekanisme kontrol
yang dinamis.
Tingkatan laku agresif dibedakan menjadi dua,
yaitu tingkatan laku agresif yang mengandung kebencian dan tingkatan laku
agresif yang memberikan kepuasan tertentu. Tingkah laku mengandung kebencian
ditandai oleh kepuasan yang diperoleh karena lawan menderita, luka, atau sakit.
Adapun tingkah laku yang memberikan kepuasan ditandai oleh kepuasan yang
diperoleh karena lawan gagal mencapai obyek yang diinginkan.
Selain adanya faktor pencetus berupa hak
untuk memiliki dan menggunakan senjata api, pemicu perilaku agresif juga dapat
diakibatkan beberapa hal yang memiliki keterkaitan secara psikologis dan
emosional. Sebagaimana halnya polisi, tentara biasanya berani bertindak
menggunakan senjata api karena ada tindakan dari luar, mulai dari merasa
dilukai kehormatannya, diancam keselamatan jiwanya, hingga dirampas
haknya secara paksa.
Ketiga hal di atas akan mengusik dasar
terdalam wilayah aparat yang dijunjung oleh korps-nya. Apabila ketiga hal itu
disentuh, boleh jadi senjata akan menyalak meski pada akhirnya harus ditebus
dengan harga yang mahal.
Siapa pun—baik tentara, polisi, maupun
sipil—pasti akan bereaksi terhadap setiap tindakan yang dianggap bersentuhan
dengan ketiga faktor di atas. Reaksi tersebut dapat berbentuk tindakan agresif
ataupun non-agresif.
Jangan Lukai Rakyat
Pada prinsipnya, orang berbeda-beda dalam
melihat ancaman. Dalam hal ini, Abraham Maslow menyatakan bahwa the feeling of threat to be in it self
dynamic stimulation to other reaction (Maslow: 1970). Maka, insting agresif
merupakan naluri alamiah yang terdapat pada semua manusia. Tanpa memandang
asal, pangkat, dan latar belakangnya, siapa pun pasti akan memberikan reaksi
berbeda terhadap setiap tindakan negatif yang ditujukan kepada dirinya.
Kecenderungan defensif ini dapat memicu penyimpangan apabila terdapat
kewenangan memiliki senjata api pada dirinya.
Dengan demikian, bercermin pada pendapat
Maslow di atas, reaksi individu terhadap tindakan negatif yang ditujukan kepada
dirinya itu bersifat dinamis, bergantung pada sikap batin seseorang dalam menyikapinya.
Oleh karena itu, apa pun alasan yang melatarbelakangi oknum militer di atas
berperilaku arogan, ia tetap harus dikenai sanksi karena perbuatannya
bertentangan dengan sumpah prajurit dan melukai perasaan rakyat.
Sebagai penutup, patut direnungkan pesan
Panglima Besar Jenderal Sudirman agar militer dapat lebih mengendalikan diri
dan emosinya. Katanya, ”Kita adalah
tentara pejuang yang berasal dari rakyat dan berjuang untuk Negara Kesatuan
Republik Indonesia, maka jangan sekali-kali kalian melukai rakyat yang telah
membesarkan kita.” ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar