Mawas Diri dan Hidup Harmoni
Bhikkhu Nyanasuryanadi Mahathera; Ketua
Umum Sangha Agung Indonesia
SUMBER : KOMPAS, 05 Mei 2012
Waisak 2012 merupakan momentum penting untuk
mawas diri dan hidup harmonis. Pelanggaran susila dan kejahatan, seperti pencurian,
penipuan, kekerasan, kebencian, dan kekejaman, dapat muncul dari kemelaratan.
Secara historis, peringatan Waisak ditujukan
untuk mengenang tiga peristiwa penting. Pertama, Pangeran Sidharta Gautama
lahir di Taman Lumbini pada 623 SM. Kedua, petapa Sidharta Gautama mencapai
pencerahan sempurna di Buddhagaya pada 588 SM. Ketiga, sang Buddha wafat di
hutan Sala milik suku Malla di Kusinara, 543 SM.
Buddha Gautama mampu menggunakan waktu hidup
dengan sempurna, terdorong oleh semangat altruistik berupa dorongan kasih
terhadap derita makhluk-makhluk dan derita kerusakan dunia. Ia tak pernah
berhenti berkarya, berbagi, mengajar hingga akhir hidup-Nya.
Melalui bimbingan yang dilakukan dengan penuh
kasih dan kebijaksanaan, tak terhitung jumlah makhluk yang mengalami
transformasi dari hidup gelap menuju kecerahan, kebahagiaan, dan pembebasan.
Terinspirasi ajaran Buddha, banyak peradaban luhur yang muncul dan berkembang
di seluruh dunia sampai sekarang. Semua menekankan pada dua aspek utama ajaran
Buddha: kasih atau kepedulian dan kebijaksanaan.
Pencapaian Buddha bukanlah suatu kebetulan
atau sebuah misteri. Buddha berarti insan yang telah bangkit, mengetahui, dan
memahami. Kapasitas untuk bangkit, memahami, dan mengasihi adalah hakikat
Kebuddhaan.
Beberapa teks kitab suci agama Buddha
menjelaskan, seseorang yang mampu mendisiplinkan diri, menata moralitas, dan
mengoptimalkan potensi mental dengan cara benar akan mampu mengalami
kebahagiaan dari pencerahan. Apabila kita berlatih dengan cara benar,
memelihara perhatian penuh (eling)
mengikuti metode seperti telah dipraktikkan Sidharta Gautama, dalam periode
waktu tertentu manusia akan mengalami kebahagiaan tertinggi dari pencerahan.
Cara berlatihnya dengan menggunakan perangkat indera, tubuh, dan batin yang dimiliki
manusia. Sangat manusiawi dan jauh dari jebakan spekulatif.
Jalan Buddha adalah jalan berlatih,
berkontribusi; bukan berpasrah. Karena itu, yang dibutuhkan adalah pemahaman
dan pengertian yang benar mengenai latihan. Latihan yang ditekankan Buddha
adalah latihan perhatian atau sadar penuh akan keberlangsungan batin dan
jasmani atau latihan mawas diri dan kasih atau hidup harmoni.
Saling Terkait
Sesungguhnya hidup harmoni dengan sesama dan
dengan alam semesta butuh latihan mawas diri. Latihan ini gerbang menuju
pemahaman jernih bahwa alam semesta dengan segala isinya memiliki hubungan erat
dan saling membutuhkan.
Tidak ada manusia yang mampu hidup sendiri.
Hal ini membuktikan kebenaran Buddha bahwa segala sesuatu saling terkait. Apa
yang disebut diri sesungguhnya tak ada karena hanya ciptaan kumpulan bukan
diri. Pengertian mendalam ini mengantarkan manusia pada pemahaman
kesalingterkaitan sehingga dengan sendirinya akan menghargai sesama dan alam
semesta.
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan
bernegara, mawas diri dan hidup harmoni menjadi semakin relevan. Indonesia
sebagai sebuah mozaik kehidupan yang jamak dengan kekayaan suku, agama, ras,
dan budaya sangat membutuhkan ajaran mawas diri dan hidup harmoni. Segenap umat
Buddha Indonesia selayaknya mendedikasikan diri untuk mempraktikkan jalan ini
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Meski Buddha telah meninggalkan urusan
duniawi, Buddha tetap memberikan nasihat tentang pemerintahan yang baik. Buddha
mendorong semangat konsultasi dan proses demokrasi. Pendekatannya moralitas dan
menggunakan kekuasaan rakyat secara bertanggung jawab.
Buddha mendiskusikan pentingnya prasyarat
pemerintahan yang baik. Buddha menunjukkan bagaimana negara dapat menjadi
korup, memburuk, dan tidak bahagia jika kepala pemerintahan korup dan tidak
adil. Ia berbicara menentang korupsi dan bagaimana pemerintah harus bertindak
berdasarkan prinsip kemanusiaan.
Buddha menjelaskan bahwa pelanggaran susila
dan kejahatan, seperti pencurian, penipuan, kekerasan, kebencian, dan
kekejaman, dapat muncul dari kemelaratan. Para raja dan pemerintah mungkin coba
menekan kejahatan melalui hukuman, tetapi memberantasnya dengan kekerasan
adalah sia-sia. Buddha menyarankan pengembangan ekonomi sebagai pengganti
kekerasan untuk mengurangi kejahatan.
Dalam dunia saat ini ada cukup kekayaan
materi dan perkembangan intelektual. Akan tetapi, itu saja tidak cukup. Ada
sesuatu yang kurang, cinta kasih di antara umat manusia. Cinta kasih dan belas
kasih memurnikan pikiran dan pikiran menjadi penuh daya pancar bagi
kesejahteraan orang lain. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar