Royalti bagi
Inventor, Kapan?
Medy P Sargo ; PNS - Perekayasa Madya - BPPT,
Dosen Hukum pada STIH IBLAM Jakarta
SUMBER : SUARA
KARYA, 16 Mei 2012
Lagi-lagi, di kalangan dunia kepenelitian, isu tentang royalti
(imbalan bagi hasil) bagi peneliti kembali menghangat setelah kontroversi isu
kesejahteraan peneliti mengemuka, khususnya di kalangan mereka yang telah
berhasil melahirkan invensi (penemuan teknologi baru) bernilai ekonomi.
Pasalnya, hingga beberapa waktu ke depan, royalti masih akan merupakan impian
berkepanjangan.
Sungguh pun inventor dapat memiliki hak royalti atau imbalan dari
pemanfaatan invensi secara komersial, namun pada praktiknya tidak serta-merta
dapat meraih impian tersebut. Dalam undang-undang yang mengatur tentang hak
kekayaan intelektual (HKI), seperti UU Paten atau UU Kak Cipta, terdapat
ketentuan yang mengatur tentang royalti. Pengaturan itu cukup jelas, misalnya,
Pasal 12 ayat (3) UU No 14 Tahun 2001 tentang Paten menyebutkan bahwa inventor
berhak mendapatkan imbalan yang layak dengan memperhatikan manfaat ekonomi yang
diperoleh dari invensi tersebut.
Jelas hak itu sudah dijamin dalam UU. Hanya saja bagi institusi
pemerintah, implementasinya memang tidak cukup hanya mendasarkan pada pasal UU
tersebut. Memang sulit dimengerti, kenapa hingga saat ini belum ada instrumen
hukum yang secara khusus bisa melandasi pelaksanaan pasal 12 tersebut.
Sebuah lembaga litbang milik pemerintah ataupun PTN tidak memiliki
kewenangan atas pengelolaan anggaran yang diterima dari publik. Dalam konteks
penerimaan royalti dari industri sebagai kompensasi atas pemanfaatan HKI hasil
litbang maka oleh UU No 20/1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP),
penerimaan royalti tersebut diperlakukan sebagai penerimaan negara bukan pajak
yang harus segera disetor ke kas negara.
Ketentuan yang demikian cukup masuk akal jika negara telah
mengeluarkan sekian banyak biaya penelitian, maka kemudian mengklaim
kepemilikan hasilnya sebagai aset negara. Namun, sepertinya mengabaikan moral
rights dan mungkin juga economic rights yang melekat pada seorang inventor,
yang secara nyata telah berkontribusi, khususnya melibatkan brainware dalam
kegiatan penelitian hingga menghasilkan teknologi bernilai ekonomi tinggi.
Walaupun dalam mekanisme usulan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran
(DIPA) memungkinkan diajukannya rencana penggunaan anggaran di tahun berikutnya
atas penerimaan yang telah disetorkan pada tahun berjalan, namun itu pun
terbatas pada biaya-biaya di luar royalti inventor.
Bila melihat betapa rumitnya sistem penganggaran bagi pelaksanaan
kegiatan penelitian yang belum mengakomodasi reward system secara memadai maka
dapat dipahami jika muncul anggapan bahwa pengaturan sistem keuangan negara
untuk kegiatan riset di bidang teknologi terkesan kaku. Padahal, negara bisa
saja menerbitkan peraturan yang memungkinkan penyetoran PNBP ke kas negara
dilakukan setelah kewajiban pajak dan pembayaran royalti inventor dilaksanakan.
Seorang inventor yang bekerja di sebuah lembaga riset di Battelle
Memorial Institute (BMI) Columbus, akan menerima royalti sebesar 10 persen dari
hasil penjualan paten yang dilakukan oleh institusinya. Angka sebesar itu
membebaskan inventor dari kewajiban mengelola paten selama masa perlindungannya
aktif. Ketentuan itu berlaku juga di sebuah industri pesawat terbang raksasa
Boeing yang berpusat di Seattle. Bahkan beberapa perusahaan dan PT di Jepang
dan Taiwan juga menerapkan kebijakan yang sama.
Pemberian penghargaan dalam bentuk royalti kepada inventor adalah
hal yang lumrah mengingat suatu karya intelektual lahir atas kerja keras
seorang atau sekelompok orang yang mengabdikan dirinya pada ilmu pengetahuan.
Terlepas apakah kemampuan yang dimiliki seorang inventor adalah berkat
pendidikan yang dibiayai oleh negara atau bukan, yang pasti hasil karya
penelitian dapat memberi manfaat bagi kehidupan dan bahkan sangat mungkin
menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat.
Namun tentu saja negara tidak dapat memperlakukan sama terhadap
hasil-hasil penelitian. Tidak semua hasil penelitian dapat menggandeng
inventornya meraih hak royalti. Royalti hanya patut diberikan kepada inventor
jika invensinya telah memberi manfaat ekonomi, dan untuk itu harus dapat
dimanfaatkan oleh industri. Persoalan akan muncul jika sebuah invensi tidak
dilindungi dalam sistem hak kekayaan intelektual, maka sebuah lembaga litbang
atau pun PT sebagai penghasil karya intelektual tidak serta-merta memiliki
kewenangan atas pemberian lisensi kepada pihak mana pun. Sebab, perjanjian
lisensi hanya mungkin dilakukan jika obyek lisensi adalah karya intelektual
yang telah mendapatkan perlindungan hukum dalam sistem HKI.
Tentu saja hasil-hasil penelitian yang tidak dilindungi secara
hukum belum bisa dikategorikan ke dalam HKI sehingga belum memperoleh legalitas
kepemilikan dari negara. Kendati, pendaftaran HKI pun sebenarnya baru merupakan
asumsi hukum atas legalitas kepemilikan hingga terbukti sebaliknya.
Namun demikianlah adanya perlakuan hukum atas sebuah karya
intelektual. Karena itu, obyek dalam perjanjian lisensi harus berstatus jelas
siapa pemilik asetnya. Dengan begitu, pemilik aset berwenang memberikan lisensi
dan berhak mendapatkan royalti bagi hasil hingga turunannya akan jatuh pula
kepada royalti inventor.
Sistem royalti akan lebih mendorong para peneliti atau perekayasa
fokus pada kegiatan penelitian yang bermanfaat bagi industri. Dengan demikian
sekaligus akan mendorong industri kreatif berkembang pesat, hingga mampu
meningkatkan pertumbuhan ekonomi lebih kuat.
Pemerintah seyogianya melihat prospek ini sebagai tantangan yang
menggairahkan sejalan dengan program pengembangan industri kreatif. Apalagi,
saat ini pemerintah sedang mengajukan perubahan UU No 20/1997. Adalah saat yang
tepat memasukkan isu royalti inventor dalam daftar inventarisasi masalah bagi
perubahan undang-undang PNBP tersebut. Jika tidak, kapan akan dimulai? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar