Kamis, 17 Mei 2012

Royalti bagi Inventor, Kapan?


Royalti bagi Inventor, Kapan?
Medy P Sargo ;  PNS - Perekayasa Madya - BPPT,
Dosen Hukum pada STIH IBLAM Jakarta
SUMBER :  SUARA KARYA, 16 Mei 2012


Lagi-lagi, di kalangan dunia kepenelitian, isu tentang royalti (imbalan bagi hasil) bagi peneliti kembali menghangat setelah kontroversi isu kesejahteraan peneliti mengemuka, khususnya di kalangan mereka yang telah berhasil melahirkan invensi (penemuan teknologi baru) bernilai ekonomi. Pasalnya, hingga beberapa waktu ke depan, royalti masih akan merupakan impian berkepanjangan.

Sungguh pun inventor dapat memiliki hak royalti atau imbalan dari pemanfaatan invensi secara komersial, namun pada praktiknya tidak serta-merta dapat meraih impian tersebut. Dalam undang-undang yang mengatur tentang hak kekayaan intelektual (HKI), seperti UU Paten atau UU Kak Cipta, terdapat ketentuan yang mengatur tentang royalti. Pengaturan itu cukup jelas, misalnya, Pasal 12 ayat (3) UU No 14 Tahun 2001 tentang Paten menyebutkan bahwa inventor berhak mendapatkan imbalan yang layak dengan memperhatikan manfaat ekonomi yang diperoleh dari invensi tersebut.

Jelas hak itu sudah dijamin dalam UU. Hanya saja bagi institusi pemerintah, implementasinya memang tidak cukup hanya mendasarkan pada pasal UU tersebut. Memang sulit dimengerti, kenapa hingga saat ini belum ada instrumen hukum yang secara khusus bisa melandasi pelaksanaan pasal 12 tersebut.

Sebuah lembaga litbang milik pemerintah ataupun PTN tidak memiliki kewenangan atas pengelolaan anggaran yang diterima dari publik. Dalam konteks penerimaan royalti dari industri sebagai kompensasi atas pemanfaatan HKI hasil litbang maka oleh UU No 20/1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), penerimaan royalti tersebut diperlakukan sebagai penerimaan negara bukan pajak yang harus segera disetor ke kas negara.

Ketentuan yang demikian cukup masuk akal jika negara telah mengeluarkan sekian banyak biaya penelitian, maka kemudian mengklaim kepemilikan hasilnya sebagai aset negara. Namun, sepertinya mengabaikan moral rights dan mungkin juga economic rights yang melekat pada seorang inventor, yang secara nyata telah berkontribusi, khususnya melibatkan brainware dalam kegiatan penelitian hingga menghasilkan teknologi bernilai ekonomi tinggi.

Walaupun dalam mekanisme usulan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) memungkinkan diajukannya rencana penggunaan anggaran di tahun berikutnya atas penerimaan yang telah disetorkan pada tahun berjalan, namun itu pun terbatas pada biaya-biaya di luar royalti inventor.

Bila melihat betapa rumitnya sistem penganggaran bagi pelaksanaan kegiatan penelitian yang belum mengakomodasi reward system secara memadai maka dapat dipahami jika muncul anggapan bahwa pengaturan sistem keuangan negara untuk kegiatan riset di bidang teknologi terkesan kaku. Padahal, negara bisa saja menerbitkan peraturan yang memungkinkan penyetoran PNBP ke kas negara dilakukan setelah kewajiban pajak dan pembayaran royalti inventor dilaksanakan.

Seorang inventor yang bekerja di sebuah lembaga riset di Battelle Memorial Institute (BMI) Columbus, akan menerima royalti sebesar 10 persen dari hasil penjualan paten yang dilakukan oleh institusinya. Angka sebesar itu membebaskan inventor dari kewajiban mengelola paten selama masa perlindungannya aktif. Ketentuan itu berlaku juga di sebuah industri pesawat terbang raksasa Boeing yang berpusat di Seattle. Bahkan beberapa perusahaan dan PT di Jepang dan Taiwan juga menerapkan kebijakan yang sama.

Pemberian penghargaan dalam bentuk royalti kepada inventor adalah hal yang lumrah mengingat suatu karya intelektual lahir atas kerja keras seorang atau sekelompok orang yang mengabdikan dirinya pada ilmu pengetahuan. Terlepas apakah kemampuan yang dimiliki seorang inventor adalah berkat pendidikan yang dibiayai oleh negara atau bukan, yang pasti hasil karya penelitian dapat memberi manfaat bagi kehidupan dan bahkan sangat mungkin menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat.

Namun tentu saja negara tidak dapat memperlakukan sama terhadap hasil-hasil penelitian. Tidak semua hasil penelitian dapat menggandeng inventornya meraih hak royalti. Royalti hanya patut diberikan kepada inventor jika invensinya telah memberi manfaat ekonomi, dan untuk itu harus dapat dimanfaatkan oleh industri. Persoalan akan muncul jika sebuah invensi tidak dilindungi dalam sistem hak kekayaan intelektual, maka sebuah lembaga litbang atau pun PT sebagai penghasil karya intelektual tidak serta-merta memiliki kewenangan atas pemberian lisensi kepada pihak mana pun. Sebab, perjanjian lisensi hanya mungkin dilakukan jika obyek lisensi adalah karya intelektual yang telah mendapatkan perlindungan hukum dalam sistem HKI.

Tentu saja hasil-hasil penelitian yang tidak dilindungi secara hukum belum bisa dikategorikan ke dalam HKI sehingga belum memperoleh legalitas kepemilikan dari negara. Kendati, pendaftaran HKI pun sebenarnya baru merupakan asumsi hukum atas legalitas kepemilikan hingga terbukti sebaliknya.

Namun demikianlah adanya perlakuan hukum atas sebuah karya intelektual. Karena itu, obyek dalam perjanjian lisensi harus berstatus jelas siapa pemilik asetnya. Dengan begitu, pemilik aset berwenang memberikan lisensi dan berhak mendapatkan royalti bagi hasil hingga turunannya akan jatuh pula kepada royalti inventor.

Sistem royalti akan lebih mendorong para peneliti atau perekayasa fokus pada kegiatan penelitian yang bermanfaat bagi industri. Dengan demikian sekaligus akan mendorong industri kreatif berkembang pesat, hingga mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi lebih kuat.

Pemerintah seyogianya melihat prospek ini sebagai tantangan yang menggairahkan sejalan dengan program pengembangan industri kreatif. Apalagi, saat ini pemerintah sedang mengajukan perubahan UU No 20/1997. Adalah saat yang tepat memasukkan isu royalti inventor dalam daftar inventarisasi masalah bagi perubahan undang-undang PNBP tersebut. Jika tidak, kapan akan dimulai?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar