Kamis, 17 Mei 2012

Ambang Batas Pilpres


Ambang Batas Pilpres
Firman Noor ;  Ph D Candidate dari University of Exeter, Bekerja pada Pusat Penelitian Politik LIPI dan Departemen Ilmu Politik, FISIP UI
SUMBER :  REPUBLIKA, 16 Mei 2012


Saat ini, suara partai-partai terbelah mulai dari yang mendukung ambang batas yang besar hingga yang mengusulkan ambang batas yang kecil bahkan ada pula yang menyatakan tidak diperlukannya ambang batas untuk pemilihan presiden. Persoalan ambang batas memang dilematis. Di satu sisi, ambang batas yang terlampau tinggi akan menyebab kan kemungkinan hadirnya figur alternatif dengan pikiran yang segar dan bernas segera terberangus.

Di sisi lain, ambang batas yang terlalu rendah atau tidak sama sekali akan memunculkan sosok presiden yang nantinya terasing dalam persaingan kekuasaan dengan badan legislatif. Di samping itu, persoalan yang sama sekali juga tidak boleh dilupakan adalah format sistem politik yang merupakan gabungan antara presidensialisme dan multipartai. Dibandingkan model sistem politik yang lain, kombinasi antara presidensialisme dan multipartai tidaklah menguntungkan.

Dalam skema ini, belajar dari penga laman negara-negara Amerika Latin, misalnya, pemerintahan berpotensi kerap terjebak pada situasi “diktatorial”, yang terjadi mana kala sosok presiden enggan mendengar legislatif dan biasanya juga karena didukung oleh kekuatan yang besar di parlemen. Di sisi lain, kerap pemerintahan pun terjebak dalam situasi dead lock, di mana eksekutif dan legislatif tidak dapat menemukan ka ta sepakat. Situasi ini terjadi karena kekuatan pendukung presiden merupa kan kelompok minoritas di parlemen.

Sayangnya, dalam situasi ini, baik presiden ataupun parlemen tidak mudah dijatuhkan atau dibubarkan kare na memang keberadaan mereka tidak saling bergantung. Sejauh ini, Indonesia terselamatkan dari dua kemungkin an itu karena meski didukung oleh kekuatan mayoritas, karakter presiden cenderung mengedepankan kompromi dan dialog.

Dengan melihat pengalaman yang sudah-sudah termasuk di era reformasi, salah satu persoalan yang penting bagi kehidupan pemerintahan adalah menciptakan sebuah pemerintahan yang stabil dan efektif. Hal ini menyaratkan tidak saja adanya sebuah postur eksekutif yang kuat, namun juga berdaya dan mampu mengimbangi kontrol legislatif.

Batas Pantas

Kebutuhan sedemikian sejatinya menyaratkan bahwa ambang batas pemilian presiden jelas tidak boleh terlalu rendah, apalagi tidak ada sama sekali, dan juga sebenarnya tidak boleh terlalu tinggi. Dalam situasi seperti ini, kisaran 15-20 persen masuk akal.

Ambang batas seperti itu akan menguntungkan setidaknya dalam beberapa hal. Pertama, kisaran itu akan tetap memberikan peluang bagi munculnya tokoh-tokoh alternatif yang diusung oleh partai-partai menengah dan kecil. Koalisi partai kecil dan menengah yang tidak melibatkan partai-partai besar tetap menarik dan penting untuk diperhatikan. Gejala kemenangan kandidat bukan dari partai-partai besar dan bahkan dari kalangan independen mencerminkan tetap penting dan signifikan.

Kedua, dengan kisaran tersebut juga terbuka peluang bagi koalisi pemerintahan yang lebih sederhana, yang memungkinkan terciptanya kerja sama yang lebih baik dan solid. Komunikasi politik akan lebih baik terbangun dan kepercayaan akan lebih terjaga.

Gerbong yang terlalu besar kerap menimbulkan friksi internal dan gesekan-gesekan yang tidak perlu, apalagi jika pemahaman dan tingkat kepercayaan peserta koalisi tidak seutuhnya seragam.

Ketiga, kisaran tersebut juga akan menghindari munculnya kandidat yang comes from nowhere. Dengan batas minimal 15 persen, sosok yang dihardikan sudah dalam batas nasional, baik dalam konteks potensi penerimaan ataupun kualitas yang dapat dilihat rekam jejaknya dengan baik. Hal ini juga akan memudahkan mesin partai itu sendiri untuk meraih dan menjaga potensi dukungan.

Kandidat yang datang dari dukungan yang teramat kecil berpotensi akan sulit mengembangkan jaringan kekuasaan dengan efektif. Belum lagi jika tentangan demikian besar dari kalangan legislatif ataupun pemilik modal yang berkoalisi dengan kalangan penentu kebijakan.

Keempat, di sisi lain kondisi ini tetap memungkinkan pemerintahan yang relatif kuat. Memang mungkin tidak sekuat jika dibandingan dengan kandidat dengan dukungan minimal 25 persen atau lebih. Namun, jelas lebih kuat ketimbang pemerintahan yang didukung oleh kekuatan yang kurang dari 15 per sen.

Perlu diingat bahwa keberhasilan pasangan SBY-JK (2004-2009) pada akhirnya juga turut ditentukan oleh kebehasilan JK menguasai Partai Golkar yang notabene adalah kekuatan mayo ritas di parlemen. Namun, perlu juga diingat bahwa di sisi lain, adanya keharusan mendapatkan ambang batas 25 persen juga berpotensi menciptakan sebuah skema koalisi yang dipaksakan, yang dapat memengaruhi kualitas pemerintahan. Di samping itu, pilihan kan didat presiden juga akan amat terbatasi.

Kelima, ambang batas seharusnya dapat membantu rasionalitas rakyat bekerja dalam menentukan pilihannya. Kandidat yang demikian membludak akan cenderung membingungkan dan mengacaukan rasionalitas itu sendiri mengingat demikian banyak pilihan. Di sisi lain, terlalu sedikitnya kandidat akan memenjarakan rasionalitas dan bahkan akan menumbuhkan antipati.

Tentu saja skema pembahasan mengenai ambang batas akan menjadi sebuah perdebatan yang demikian menarik dan akan sangat diperjuangkan oleh partai-partai. Masyarakat banyak berharap bahwa perjuangan itu dilandasi oleh semangat memperjuangkan kepentingan bangsa dan sikap kenegarawanan. Dalam situasi ini, politik hendaknya dimaknai sebagai seni menciptakan peluang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar