Ambang Batas
Pilpres
Firman Noor ; Ph D
Candidate
dari University of Exeter, Bekerja pada Pusat Penelitian Politik LIPI dan
Departemen Ilmu Politik, FISIP UI
SUMBER : REPUBLIKA,
16 Mei 2012
Saat
ini, suara partai-partai terbelah mulai dari yang mendukung ambang batas yang
besar hingga yang mengusulkan ambang batas yang kecil bahkan ada pula yang
menyatakan tidak diperlukannya ambang batas untuk pemilihan presiden. Persoalan
ambang batas memang dilematis. Di satu sisi, ambang batas yang terlampau tinggi
akan menyebab kan kemungkinan hadirnya figur alternatif dengan pikiran yang
segar dan bernas segera terberangus.
Di
sisi lain, ambang batas yang terlalu rendah atau tidak sama sekali akan
memunculkan sosok presiden yang nantinya terasing dalam persaingan kekuasaan
dengan badan legislatif. Di samping itu, persoalan yang sama sekali juga tidak
boleh dilupakan adalah format sistem politik yang merupakan gabungan antara
presidensialisme dan multipartai. Dibandingkan model sistem politik yang lain,
kombinasi antara presidensialisme dan multipartai tidaklah menguntungkan.
Dalam
skema ini, belajar dari penga laman negara-negara Amerika Latin, misalnya,
pemerintahan berpotensi kerap terjebak pada situasi “diktatorial”, yang terjadi
mana kala sosok presiden enggan mendengar legislatif dan biasanya juga karena
didukung oleh kekuatan yang besar di parlemen. Di sisi lain, kerap pemerintahan
pun terjebak dalam situasi dead lock,
di mana eksekutif dan legislatif tidak dapat menemukan ka ta sepakat. Situasi
ini terjadi karena kekuatan pendukung presiden merupa kan kelompok minoritas di
parlemen.
Sayangnya,
dalam situasi ini, baik presiden ataupun parlemen tidak mudah dijatuhkan atau
dibubarkan kare na memang keberadaan mereka tidak saling bergantung. Sejauh
ini, Indonesia terselamatkan dari dua kemungkin an itu karena meski didukung
oleh kekuatan mayoritas, karakter presiden cenderung mengedepankan kompromi dan
dialog.
Dengan
melihat pengalaman yang sudah-sudah termasuk di era reformasi, salah satu
persoalan yang penting bagi kehidupan pemerintahan adalah menciptakan sebuah
pemerintahan yang stabil dan efektif. Hal ini menyaratkan tidak saja adanya
sebuah postur eksekutif yang kuat, namun juga berdaya dan mampu mengimbangi
kontrol legislatif.
Batas Pantas
Kebutuhan
sedemikian sejatinya menyaratkan bahwa ambang batas pemilian presiden jelas
tidak boleh terlalu rendah, apalagi tidak ada sama sekali, dan juga sebenarnya
tidak boleh terlalu tinggi. Dalam situasi seperti ini, kisaran 15-20 persen
masuk akal.
Ambang
batas seperti itu akan menguntungkan setidaknya dalam beberapa hal. Pertama,
kisaran itu akan tetap memberikan peluang bagi munculnya tokoh-tokoh alternatif
yang diusung oleh partai-partai menengah dan kecil. Koalisi partai kecil dan
menengah yang tidak melibatkan partai-partai besar tetap menarik dan penting
untuk diperhatikan. Gejala kemenangan kandidat bukan dari partai-partai besar
dan bahkan dari kalangan independen mencerminkan tetap penting dan signifikan.
Kedua,
dengan kisaran tersebut juga terbuka peluang bagi koalisi pemerintahan yang
lebih sederhana, yang memungkinkan terciptanya kerja sama yang lebih baik dan
solid. Komunikasi politik akan lebih baik terbangun dan kepercayaan akan lebih
terjaga.
Gerbong
yang terlalu besar kerap menimbulkan friksi internal dan gesekan-gesekan yang
tidak perlu, apalagi jika pemahaman dan tingkat kepercayaan peserta koalisi
tidak seutuhnya seragam.
Ketiga,
kisaran tersebut juga akan menghindari munculnya kandidat yang comes from nowhere. Dengan batas minimal
15 persen, sosok yang dihardikan sudah dalam batas nasional, baik dalam konteks
potensi penerimaan ataupun kualitas yang dapat dilihat rekam jejaknya dengan
baik. Hal ini juga akan memudahkan mesin partai itu sendiri untuk meraih dan
menjaga potensi dukungan.
Kandidat
yang datang dari dukungan yang teramat kecil berpotensi akan sulit
mengembangkan jaringan kekuasaan dengan efektif. Belum lagi jika tentangan
demikian besar dari kalangan legislatif ataupun pemilik modal yang berkoalisi
dengan kalangan penentu kebijakan.
Keempat,
di sisi lain kondisi ini tetap memungkinkan pemerintahan yang relatif kuat.
Memang mungkin tidak sekuat jika dibandingan dengan kandidat dengan dukungan
minimal 25 persen atau lebih. Namun, jelas lebih kuat ketimbang pemerintahan
yang didukung oleh kekuatan yang kurang dari 15 per sen.
Perlu
diingat bahwa keberhasilan pasangan SBY-JK (2004-2009) pada akhirnya juga turut
ditentukan oleh kebehasilan JK menguasai Partai Golkar yang notabene adalah
kekuatan mayo ritas di parlemen. Namun, perlu juga diingat bahwa di sisi lain,
adanya keharusan mendapatkan ambang batas 25 persen juga berpotensi menciptakan
sebuah skema koalisi yang dipaksakan, yang dapat memengaruhi kualitas
pemerintahan. Di samping itu, pilihan kan didat presiden juga akan amat terbatasi.
Kelima,
ambang batas seharusnya dapat membantu rasionalitas rakyat bekerja dalam
menentukan pilihannya. Kandidat yang demikian membludak akan cenderung
membingungkan dan mengacaukan rasionalitas itu sendiri mengingat demikian
banyak pilihan. Di sisi lain, terlalu sedikitnya kandidat akan memenjarakan
rasionalitas dan bahkan akan menumbuhkan antipati.
Tentu
saja skema pembahasan mengenai ambang batas akan menjadi sebuah perdebatan yang
demikian menarik dan akan sangat diperjuangkan oleh partai-partai. Masyarakat
banyak berharap bahwa perjuangan itu dilandasi oleh semangat memperjuangkan
kepentingan bangsa dan sikap kenegarawanan. Dalam situasi ini, politik
hendaknya dimaknai sebagai seni menciptakan peluang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar