Rabu, 02 Mei 2012

Renungan tentang Buruh


Renungan tentang Buruh
Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo
SUMBER : KORAN TEMPO, 01 Mei 2012


Sejarah Indonesia tak utuh tanpa sejarah buruh. Penulisan sejarah buruh memang tak seramai sejarah politik, kendati perkara buruh tidak jauh dari dialektika politik, ekonomi, sosial, hukum, pendidikan, dan kultural. Pemakaian kata “buruh” saat ini memang lekas mencirikan pemahaman ideologis atau politis mengacu pada jejak-jejak sejarah kontroversial. Siapa mengenalkan istilah buruh? Pertanyaan ini susah mendapatkan jawab seperti kerepotan untuk menelusuri kelahiran dan terminologi koeli dengan latar zaman kolonial.

Tema sejarah buruh dan kuli memang masih jarang diurusi sebagai prosedur untuk mengungkap sejarah pertumbuhan kota, progresivitas industri, pembentukan masyarakat konsumen, atau mentalitas politik-kultural. Ikhtiar untuk menarasikan sejarah buruh dan kuli ini dalam masa Orde Baru tampak terpinggirkan karena sensitivitas politik. Diskursus dan gerakan buruh pada 1900-an pun sudah menjadi momok bagi pemerintah kolonial. Pembisuan ini mirip penciptaan stigma tentang tendensi ideologi kekirian atau subversi saat disorot dengan ketimpangan ekonomi-politik.

John Ingleson dalam Tangan dan Kaki Terikat (2004) menghadirkan narasi-narasi penting mengenai gerakan buruh terkait dengan dinamika kota, resistansi atas kolonialisme, laju modernitas, pergerakan politik, dan identitas kultural dengan latar Jawa. Pengisahan ini membuka kesadaran bahwa Jawa merupakan ruang kompleks dalam kisah pahit dan kecut kaum buruh dalam represi kolonialisme dan pemilik modal. Perlawanan dan pembelaan disemaikan, meski kerap kandas oleh ketidakberesan dan diskriminasi hukum-politik. Jawa adalah panggung sejarah buruh dalam kelam sejak awal abad XX sampai hari ini.

Ingleson mencatat pemogokan buruh kereta api di Jawa pada 9 Mei 1923 merupakan aksi terbesar dan terpenting dalam sejarah buruh. Pemogokan ini memberi efek besar dan lekas menyebar dalam gerakan-gerakan buruh di pelbagai kota. Tipologi gerakan buruh pada masa awal abad XX di Indonesia memang masih memerlukan studi intensif. Ingleson merasa sejarah perkotaan dan sejarah kemunculan kelas pekerja (buruh) di Indonesia masih disibukkan oleh pembacaan struktur dan aktivitas politik nasionalis, tapi kerap mengabaikan sekian latar di balik kebesaran serta kehancuran gerakan buruh. Penulisan sejarah buruh pun masih dibayangi oleh tema besar politik, karena pada abad XX gerakan buruh identik dengan pembesaran pergerakan atau partai politik.

Rekaman mengenai situasi gerakan buruh pada masa itu bisa dilacak melalui berita dan artikel penting di penerbitan media massa di Jawa. Pembacaan ini memungkinkan munculnya imaji dan tafsir multiperspektif. Data penting itu ada di Sinar Djawa, De Locomotief, Sinar Hindia, Soeara Kaoem Boeroeh, Hidoep, Proletar, Api, dan Njala. Seorang penulis dengan sebutan Saturnus menulis artikel “Kromo di Jawa” dalam terbitan Sinar Djawa edisi 20 Februari 1918. Artikel ini mengisahkan derita kaum buruh di hadapan pemerintah dan pemilik modal. Sebutan “kromo” mencirikan kelemahan kaum buruh dan kodrat wong cilik di Jawa. Kata “kromo” ini khas merepresentasikan manusia Jawa dalam kutukan kolonialisme dan kapitalisme.

Marco Kartodikromo, jurnalis dan pengarang kondang sejak 1910-an, juga menulis sekian artikel keras mengenai pembelaan kaum buruh. Marco, di Sinar Djawa edisi 11 April 1918, menguraikan bentuk-bentuk perlawanan dan pembentukan mentalitas kaum buruh untuk tidak dihancurkan oleh kolaborasi kolonialisme-kapitalisme. Marco mengingatkan gerakan buruh membutuhkan landasan: ngandel, kandel, bandel (percaya, tebal semangat, berani). Landasan ini mencirikan keberanian dan kesadaran atas kepentingan membela hak-hak kemanusiaan. Penindasan terhadap kaum buruh harus dilawan tanpa mengenal putus asa.

Sebuah berita panjang dengan judul “1 Mei 1924”, yang diterbitkan Si Tetap edisi April 1924, mencantumkan deskripsi ironis kalangan pekerja (buruh) karena perlakuan tak manusiawi: “Tertindas lagi terhina, terperas lagi terdesak, hidup dalam kesempatan tak mengenal apa yang dinamai kesenangan dan keadaban, dari kanak-kanak sehingga jadi orang tua, inilah nasib orang-orang yang hanya mempunyai tenaga buat bekerja.” Stereotipe ini memang memerlukan penyadaran untuk membuat kodrat bergerak dan lepas dari eksploitasi kolonialisme-kapitalisme.

Suara-suara keras di media massa itu merupakan penggalan sejarah buruh untuk ditafsirkan ulang ketika memandang nasib buruh saat ini. Perkara gaji, hak cuti, kerja kontrak, atau jam kerja selalu menjadi masalah yang tak pernah selesai, karena tidak ada konsensus memihak kepentingan kaum buruh dalam deraan kemiskinan dan keterbatasan. Kondisi ini terus terjadi dengan resistan, bahkan represi yang terus ingin menggugurkan tuntutan perubahan nasib oleh kaum buruh. Penjinakan justru dilakukan secara sistematis melalui pemberlakuan undang-undang, pembungkaman ekspresi politik, atau penekanan dalam kompensasi kerja.

Selebrasi 1 Mei sebagai Hari Buruh selalu sesak oleh refleksi getir tanpa ada pembukaan lorong optimisme untuk memberikan hak-hak kaum buruh. Dunia semakin berlari kencang. Negara tak sanggup memihak. Pasar selalu memberi ancaman. Buruh kelimpungan tanpa ada janji penyelamatan melalui partai politik, organisasi buruh, atau gerakan kultural. Menyuarakan kepentingan dan hak masih terus nyaring, tapi kerap disepikan atau disenyapkan oleh kebijakan represif oleh pemerintah dan pemilik modal.

Ratapan dan putus asa malah bisa menjerumuskan kaum buruh dalam derita panjang. Keinginan mengubah kondisi mesti dilakukan dengan pengolahan potensi secara sistematis dan strategis. Resistansi memang menghadapi risiko kalah atau menang, tapi tindakan itu telah memberi arti eksistensi buruh. Wiji Thukul melalui puisi Suti mengisahkan: Suti kusut-masai/di benaknya menggelegar suara mesin/kuyu matanya membayangkan/buruh-buruh yang berangkat pagi/pulang petang/hidup pas-pasan/gaji kurang/dicekik kebutuhan. Nasib Suti dan buruh-buruh lain adalah tanda seru dan tanda tanya atas arogansi kapitalisme serta kealpaan negara dalam memenuhi hak-hak rakyat untuk menikmati kesejahteraan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar