Renungan tentang Buruh
Bandung Mawardi, Pengelola
Jagat Abjad Solo
SUMBER
: KORAN TEMPO, 01 Mei 2012
Sejarah Indonesia tak utuh tanpa sejarah
buruh. Penulisan sejarah buruh memang tak seramai sejarah politik, kendati
perkara buruh tidak jauh dari dialektika politik, ekonomi, sosial, hukum,
pendidikan, dan kultural. Pemakaian kata “buruh” saat ini memang lekas
mencirikan pemahaman ideologis atau politis mengacu pada jejak-jejak sejarah
kontroversial. Siapa mengenalkan istilah buruh? Pertanyaan ini susah
mendapatkan jawab seperti kerepotan untuk menelusuri kelahiran dan terminologi koeli
dengan latar zaman kolonial.
Tema sejarah buruh dan kuli memang masih
jarang diurusi sebagai prosedur untuk mengungkap sejarah pertumbuhan kota,
progresivitas industri, pembentukan masyarakat konsumen, atau mentalitas
politik-kultural. Ikhtiar untuk menarasikan sejarah buruh dan kuli ini dalam
masa Orde Baru tampak terpinggirkan karena sensitivitas politik. Diskursus dan
gerakan buruh pada 1900-an pun sudah menjadi momok bagi pemerintah kolonial.
Pembisuan ini mirip penciptaan stigma tentang tendensi ideologi kekirian atau subversi
saat disorot dengan ketimpangan ekonomi-politik.
John Ingleson dalam Tangan dan Kaki
Terikat (2004) menghadirkan narasi-narasi penting mengenai gerakan buruh
terkait dengan dinamika kota, resistansi atas kolonialisme, laju modernitas,
pergerakan politik, dan identitas kultural dengan latar Jawa. Pengisahan ini
membuka kesadaran bahwa Jawa merupakan ruang kompleks dalam kisah pahit dan
kecut kaum buruh dalam represi kolonialisme dan pemilik modal. Perlawanan dan
pembelaan disemaikan, meski kerap kandas oleh ketidakberesan dan diskriminasi
hukum-politik. Jawa adalah panggung sejarah buruh dalam kelam sejak awal abad
XX sampai hari ini.
Ingleson mencatat pemogokan buruh kereta api
di Jawa pada 9 Mei 1923 merupakan aksi terbesar dan terpenting dalam sejarah
buruh. Pemogokan ini memberi efek besar dan lekas menyebar dalam
gerakan-gerakan buruh di pelbagai kota. Tipologi gerakan buruh pada masa awal
abad XX di Indonesia memang masih memerlukan studi intensif. Ingleson merasa
sejarah perkotaan dan sejarah kemunculan kelas pekerja (buruh) di Indonesia
masih disibukkan oleh pembacaan struktur dan aktivitas politik nasionalis, tapi
kerap mengabaikan sekian latar di balik kebesaran serta kehancuran gerakan
buruh. Penulisan sejarah buruh pun masih dibayangi oleh tema besar politik,
karena pada abad XX gerakan buruh identik dengan pembesaran pergerakan atau
partai politik.
Rekaman mengenai situasi gerakan buruh pada
masa itu bisa dilacak melalui berita dan artikel penting di penerbitan media
massa di Jawa. Pembacaan ini memungkinkan munculnya imaji dan tafsir
multiperspektif. Data penting itu ada di Sinar Djawa, De Locomotief, Sinar
Hindia, Soeara Kaoem Boeroeh, Hidoep, Proletar, Api, dan Njala.
Seorang penulis dengan sebutan Saturnus menulis artikel “Kromo di Jawa” dalam
terbitan Sinar Djawa edisi 20 Februari 1918. Artikel ini mengisahkan
derita kaum buruh di hadapan pemerintah dan pemilik modal. Sebutan “kromo”
mencirikan kelemahan kaum buruh dan kodrat wong cilik di Jawa. Kata
“kromo” ini khas merepresentasikan manusia Jawa dalam kutukan kolonialisme dan
kapitalisme.
Marco Kartodikromo, jurnalis dan pengarang
kondang sejak 1910-an, juga menulis sekian artikel keras mengenai pembelaan
kaum buruh. Marco, di Sinar Djawa edisi 11 April 1918, menguraikan
bentuk-bentuk perlawanan dan pembentukan mentalitas kaum buruh untuk tidak
dihancurkan oleh kolaborasi kolonialisme-kapitalisme. Marco mengingatkan
gerakan buruh membutuhkan landasan: ngandel, kandel, bandel (percaya,
tebal semangat, berani). Landasan ini mencirikan keberanian dan kesadaran atas
kepentingan membela hak-hak kemanusiaan. Penindasan terhadap kaum buruh harus
dilawan tanpa mengenal putus asa.
Sebuah berita panjang dengan judul “1 Mei
1924”, yang diterbitkan Si Tetap edisi April 1924, mencantumkan
deskripsi ironis kalangan pekerja (buruh) karena perlakuan tak manusiawi:
“Tertindas lagi terhina, terperas lagi terdesak, hidup dalam kesempatan tak
mengenal apa yang dinamai kesenangan dan keadaban, dari kanak-kanak sehingga
jadi orang tua, inilah nasib orang-orang yang hanya mempunyai tenaga buat
bekerja.” Stereotipe ini memang memerlukan penyadaran untuk membuat kodrat
bergerak dan lepas dari eksploitasi kolonialisme-kapitalisme.
Suara-suara keras di media massa itu
merupakan penggalan sejarah buruh untuk ditafsirkan ulang ketika memandang
nasib buruh saat ini. Perkara gaji, hak cuti, kerja kontrak, atau jam kerja
selalu menjadi masalah yang tak pernah selesai, karena tidak ada konsensus
memihak kepentingan kaum buruh dalam deraan kemiskinan dan keterbatasan.
Kondisi ini terus terjadi dengan resistan, bahkan represi yang terus ingin
menggugurkan tuntutan perubahan nasib oleh kaum buruh. Penjinakan justru
dilakukan secara sistematis melalui pemberlakuan undang-undang, pembungkaman
ekspresi politik, atau penekanan dalam kompensasi kerja.
Selebrasi 1 Mei sebagai Hari Buruh selalu
sesak oleh refleksi getir tanpa ada pembukaan lorong optimisme untuk memberikan
hak-hak kaum buruh. Dunia semakin berlari kencang. Negara tak sanggup memihak.
Pasar selalu memberi ancaman. Buruh kelimpungan tanpa ada janji penyelamatan
melalui partai politik, organisasi buruh, atau gerakan kultural. Menyuarakan
kepentingan dan hak masih terus nyaring, tapi kerap disepikan atau disenyapkan
oleh kebijakan represif oleh pemerintah dan pemilik modal.
Ratapan dan putus asa malah bisa
menjerumuskan kaum buruh dalam derita panjang. Keinginan mengubah kondisi mesti
dilakukan dengan pengolahan potensi secara sistematis dan strategis. Resistansi
memang menghadapi risiko kalah atau menang, tapi tindakan itu telah memberi
arti eksistensi buruh. Wiji Thukul melalui puisi Suti mengisahkan: Suti
kusut-masai/di benaknya menggelegar suara mesin/kuyu matanya
membayangkan/buruh-buruh yang berangkat pagi/pulang petang/hidup pas-pasan/gaji
kurang/dicekik kebutuhan. Nasib Suti dan buruh-buruh lain adalah tanda seru
dan tanda tanya atas arogansi kapitalisme serta kealpaan negara dalam memenuhi
hak-hak rakyat untuk menikmati kesejahteraan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar